Mohon tunggu...
Dali Budaya
Dali Budaya Mohon Tunggu... Lainnya - Bocah Ngawur dengan Tulisan Babak Belur

Seranting ringkih tak benalu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pitang Pelitung

29 Oktober 2024   15:22 Diperbarui: 29 Oktober 2024   15:51 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alamak, panas bedengkang! 

Rabu petang memang tenarlah dengan mataharinya yang bertingkah, persis bocah tengil tiada akhlak. Dengan sembrononya, ia menjerang hidup-hidup orang di atas aspal. Belum lagi, asap knalpot menyesaki dada orang-orang ‘malang’ yang tak punya cukup duit untuk dapat berlindung di balik kaca mobil. Uih, bertambah beranglah pengendara motor. Tapi, kalau mereka memang bukan hamba yang kurang ajar terhadap Tuhan, seharusnya mereka punya cukup rasa syukur untuk tidak bernasib sama macam bocah itu.

Seorang bocah kerempeng penuh daki tengah mengocok kaleng berisi kerikil. Marakas, katanya. Dengan senyum merekah, ia asyik mengocok-ngocok marakas.

Krakcekrak, krak-krakcekrak, krakcekrak, krak-krakcekrak.

Bisingkah bunyinya? Iya, kalau dia bermain tepat di depan telingamu. Jalan raya itu cerita lain, sebab belum sempat marakas bernyanyi, ia tercekik dihimpit ribut klakson yang saling beradu muncung. Bocah itu terlalu asyik mengocok, tanpa mengetahui bahwa suara marakasnya terlanjur ditelan huru-hara jalan raya.

Tidak ada yang peduli dengan bocah gelandangan.

“Dinas sosial akan memungutnya nanti,” pikir seorang pengemudi dengan plat putih.

“Hmm, ya, keluarganya akan menemukannya kelak,” pikir seorang lain dengan plat merah.

Atau mungkin juga ada yang (sedikit) peduli. Misalnya, seorang ibu-ibu disana yang tengah menurunkan kaca mobil. “Nak, sini!” Si bocah kerempeng langsung berlari sumringah, untuk kemudian mengetahui bahwa ia hanya menyusul seplastik sisa remahan peyek. Bocah itu masih tahan memamerkan gigi kuningnya, seolah berkata: “Tak apa, aku suka segala macam remahan keripik.”

Tak lama, kaca di bangku belakang ikut turun. Nongol muka seorang nenek yang bertampang kecut, tampak merasa tak enak sebab anaknya telah kurang ajar memberi gelandangan makanan sisa. Ia memalingkan wajah ke si bocah. Ajaib, keras wajahnya melunak, menjelma paras sesosok malaikat yang benar welas asih. Ia kemudian mengaduk-ngaduk tas miliknya. Oh! Sebuah dompet. Seonggok kertas wangi tampak tersusun rapi di dalamnya. Ia menyisir sebagian dan mengeluarkan selembar uang ungu, diberikannyalah pada si bocah malang dengan senyum tulus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun