Adzan maghrib sudah hampir berkumandang sewaktu Pitung berjalan menuju kolong jembatan. Menuju rumah. Ia menengok ke atas, “Gelap. Mendung.” Angin menguara ngalir lewati bajunya yang bolong. Itu membuat bajunya bersenggolan dengan kulit punggungnya yang masih terasa perih, dan kepalanya semakin lama semakin benjol, persis ikan lohan.
Jalanan semakin ramai disesaki orang-orang yang rindu kasur. Pitung menyebrang super hati-hati. Sewaktu itulah ia berselisih dengan beberapa kawan lama. Rupanya mereka masih juga berkomplotan dengan Ci Bening: bos para gelandangan yang memberi mereka kerja dengan menjual koran, tisu, juga minuman kaleng. Pitung tersenyum canggung, begitu pula mereka.
Ci Bening, juga para bos lainnya, akan duduk di sudut jalan manapun yang ia suka, tampak kabur di antara bayang-bayang kendaraan yang sibuk mondar-mandir. Ia tampak macam orang biasa yang duduk manis menunggu jemputan, atau sekedar orang gabut yang memilih melamun di pinggir jalan, padahal ekor matanya tengah sibuk menjilati nyali para budak. Duit hasil jualan diserahkan penuh kepadanya, dan ia akan berterima kasih kepada mereka, dengan memberikan sebagian keuntungan yang setara remahan peyek.
“Andai saja aku bisa ngubah nasib hidup, mereka adalah orang pertama yang kelak kutemui,” Pitung membatin sewaktu rintik air perlahan tumpah dari langit.
***
“Sinting!”
Bibirnya gemetar. Dengan baju basah kuyub, Pitung duduk terkulai usai mendapati rumahnya semakin dibanjiri sampah busuk. Kolong jembatan itu memang selalu jadi tempat singgah orang untuk buang sampah. Pecahan beling, plastik, daging busuk, juga popok yang lengkap dengan seisi-isinya tak pernah absen di setiap sudut.
Tapi malam ini, sampah betul-betul menggunung tak masuk akal! Tampak macam seluruh orang di kota telah menumpahkan sampah disitu. Atau, barangkali memang banjirlah yang sudah membawa seluruh sampah di kota dan menumpuknya disitu. “Tapi, kenapa harus di rumahku? Banjir biadab!”
Ia berang. Ia mengamuk. Ia mau teriak. Ia mau mengacak-ngacak semua sampah ini dan menyerakkannya, menyorokkannya ke dalam mobil si nenek pelit, melemparkannya ke rumah-rumah. Oh, ia mau seluruh kota bergelimangan sampah berlumpur. Ia mau mengadu, tapi pada siapa ia hendak mengadu? Alhasil ia cuma boleh mengeluh-eluh dan terduduk lesu, membiarkan celananya terserap basah lumpur. Pitung habis dirundung. Pitung tak mampu membendung. Pitung sudah buntung.
Di saat-saat genting macam itulah, anugrah datang. Setangkai bunga randa tapak terbawa arus banjir dan menabrak lututnya. Ia menoleh, lalu memungut randa tapak itu. Pitung jadi teringat, dengan ceramah yang samar-samar pernah ia dengar sewaktu ‘meminjam’ sendal di mushola: “Sesungguhnya, benih adalah awal dari kehidupan.”
Uh, Pitung mendapat semacam sengatan motivasi. Itu pedas dan penuh gairah! Ia mengenggam erat tangkai bunga dan penuh antusias memanjat bukit sampah. Bocah malang, ia tak tahu apa bedanya benih dengan batang.