Mohon tunggu...
M.D. Atmaja
M.D. Atmaja Mohon Tunggu... lainnya -

Teguh untuk terus menabur dan menuai. Petani.\r\n\r\neMail: md.atmaja@yahoo.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tikungan Pasar Kliwon

24 Desember 2013   21:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:31 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Menerobos hujan hanya dengan pelepah pisang, bapaknya Wanto menuju ke rumah Abah Soleh. Di depan ada tikungan terakhir jalan di Pasar Kliwon. Sebelah tikungan itu adalah rumah milik Abah Soleh, berikut toko-toko yang berderet sepanjang jalan –juga milik Abah Soleh. Ia ingin mencari penjelasan sebab musabab anaknya harus menerima ajaran. Ia kini tidak perduli, kemarahan Abah Soleh akan membuatnya kehilangan pekerjaan bersebab Abab Soleh menarik becak yang bapaknya Wanto operasikan. Ia pergi hanya untuk meminta penjelasan bukan untuk alasan lain.

Abah Soleh masih berada di teras. Ia memang sedang menunggu orang tua Wanto yang dia perkirakan pasti datang. Sambi mengusap jenggotnya yang mulai kering, Abah Soleh sudah menantang bapaknya Wanto yang baru memasuki halaman. Tubuh yang besar dengan jenggot lebat dari pelipis sampai janggut sedikit menggetarkan hati. keberanian bapaknya Wanto agak memudar namun tetap melangkah demi anak lanang istrinya.

“Assalamu’alaikum, Bah!” ucapnya sebelum naik ke teras.

“Wa’alaikum salam!” sahut Abah Soleh dingin sambil menjulurkan tangannya untuk mendapat cium penghormatan dari babu yang sekaligus santrinya.

“Saya, sowan ke sini, Bah untuk,”

“Aku tahu!” potong Abah Soleh, “Kamu mau tanya kenapa anakmu aku hajar?” ucap Abah Soleh dengan nada penuh wibawa yang menyulut kemarahan bapaknya Wanto yang berusaha sabar sambil menatap tikungan Pasar Kliwon di sana tempat anaknya mendapat siksaan.

“Benar, Bah. Kalau Wanto salah, saya mohon maaf.”

“Anakmu salah. Sudah aku bilang, becak jangan dijadikan mainan. Tapi dasar anakmu itu, bahlul, kelakuannya seperti setan, tidak mau mendengar. Malah ngajak Mail hujan-hujanan mainan becak. Becakku bukan buat mainan. Kalau nanti rusak bagaimana? Kalau Ismail sampai sakit bagaimana? Kamu mau tanggung jawab?”

Bapaknya Wanto menunduk. Dia tahu dirinya sedang dihina. “Tapi apa benar langsung dipukul, Bah?”

“Kamu mengajari aku?”

“Tidak, Bah, tapi,”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun