Mohon tunggu...
M.D. Atmaja
M.D. Atmaja Mohon Tunggu... lainnya -

Teguh untuk terus menabur dan menuai. Petani.\r\n\r\neMail: md.atmaja@yahoo.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tikungan Pasar Kliwon

24 Desember 2013   21:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:31 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cerpen M.D. Atmaja

Gemiris cukup rapat saat anak lelaki mengkerutkan tubuhnya di atas jalan. Pipi kanan mengencang, tertahan aspal yang tergenang air. Mengalir seperti sungai bersama darah yang menetas dari mulut dan hidungnya. Ia memejamkan mata, serapat gerimis yang tidak juga usai meski anak itu terus berdoa agar hujan berhenti. Mulutnya terbungkam, sedang gigi gemeratak. Menahan dingin dan sakit. Ia memegangi perut dengan dua lengannya yang kurus, erat dia merasakan lambung berikut usus-ususnya pecah. Terlalu perih untuk dia rasakan saat air dingin terus menusuki tubuhnya. Wanto –anak kecil yang terus bertahan menahan sakit dan amarahnya.

“Bahlul!” teriak lelaki besar dan gagah bernama Abah Soleh sambil terus mengumpat bersamaan napasnya yang terengah-engah. Kemarahan seolah telah menyumbat dadanya. Ia menopangkan tubuh ke tiang teras rumah, sambil memandang ke depan. Tikungan di mana anak lelaki masih melingkarkan tubuh di atas aspal. Tubuhnya gemetar menahan kemarahan yang belum habis meski sudah ditumpahkan.

Wanto memandang aspal yang hitam lagi dingin. Kekotoran yang mengair di depannya, mengingatkan akan sampah hidupnya sendiri. Ia merasakan seluruh ototnya mengencang, mual pada perut serta perih pada kulitnya menerima hujan seperti siraman air garam. Ia tetap bertahan untuk tetap sadar, agar dapat berdiri mempertahankan kelelakian. Perlahan dengan susah payah, Wanto berhasil mendorong tubuh dengan tangan kanan menumpu aspal. Dia melihat wajah penduduk yang menatapnya sedih namun tetap beku di bawah genteng. Mereka hanya berdiri memandang dirinya, memandang dengan rasa iba karena hanya memandang itu yang dapat mereka lakukan. Wanto tersenyum kecil, menguatkan diri.

Wanto berdiri dengan sombong untuk mengkukuhkan harga diri. Ia masih lelaki meski sudah dihajar habis-habisan. Menerima setiap hantaman tanpa memiliki kesempatan untuk membela diri atau melawan.  Ia melangkah sambil menepis rasa sakit, dengan susah payah menerobos hujan untuk pulang ke rumah.
Abah Soleh memandang tajam. Sisa-sisa air hujan yang membasahi rambutnya terus menetes, menelusuri wajah lalu bergelayutan pada jenggot tebal lagi panjang. Abah Soleh mengurutnya, mengeringkan jenggot dengan perasan kuat. Ia masih masih marah dan bersiap menunggu kalau nanti Wanto mengadu ke orang tuanya. Abah Soleh tidak takut. Dia kini menyiapkan amarah kalau nanti bapak orang tua Wanto datang.

* * *
Wanto pulang dengan berat. Ia takut kalau sampai orang tuanya tahu dengan apa yang baru saja dia alami. Wanto tidak mau ketahuan. Karenanya saat sampai depan rumah, dia tidak langsung masuk. Berdiri di samping rumah di bawah pohon pisang. Ia menggeleng, tidak ada kesempatan untuk menyembunyikan dirinya. Bapak dan Simboknya, ada di ruang depan. Wanto berpikir sejenak, sambil berteduh ia mencari-cari alasan. Wanto mengangguk, ia akan bilang kalau habis berkelahi dengan temannya sekolah di Pasar Kliwon.  Meski Bapaknya akan marah besar, namun menurut Wanto itu lebih baik daripada mereka tahu kebenarannya.

Berkelahi dengan orang lain lebih aman bagi Bapak dan semua orang di keluarganya, daripada ketahuan habis dipukuli Abah Soleh. Sebab Abah Soleh adalah juragan dan Bapaknya Wanto hanya salah satu orang yang bekerja padanya. Wanto masuk ke menyelinap di hujan untuk masuk ke dalam rumah. Bapaknya sedang minum kopi dan melinting rokok, Simboknya tidak ada di sana namun ada di dapur.

“Jangan hujan-hujanan nanti sakit.” Ucap Bapaknya saat melihat Wanto basah kuyup, dengan akting kedinginan untuk menggantikan rasa sakit.

“Iya, Pak.” sahut Wanto tanpa melihat Bapaknya.

“Mandi lalu makan.”

“Iya, Pak.” Wanto langsung masuk ke kamar, tidak segera mandi seperti yang disuruhkan Bapaknya. Ia menunggu Simboknya keluar dari dapur sebab untuk ke kamar mandi harus melewati dapur dulu. Dan Simbok lebih cermat melihat apa yang Wanto sembunyikan.

“Bapak ngomong sama siapa?” tanya Simbok dan membuat Wanto lekas mengganti baju untuk kemudian langsung membungkus tubuh dengan sarung.

“Wanto hujan-hujanan.”

“Anaknya kemana?”

“Langsung ke kamar. Disuruh mandi mah langsung ke kamar. Cuma iya-iya saja.”

“Le, mandi terus makan.” Ucap Simbok dari luar kamarnya Wanto.

“Nanti, Mbok.” Suara Wanto bergetar, menahan kesedihan dan keinginan untuk mengeluh.

Suara Wanto dapat Simbok terka, kalau anak lanangnya baru memiliki masalah. “Kamu belum makan seharian, to, le?”

“Iya, Mbok, nanti saja.” sahut Wanto dengan suara yang sama.

Simbok pun langsung membuka pintu, punggung Wanto yang berbungkus sarung. Simbok tersenyum lalu duduk di amben di belakang Wanto. Dengan lembut, Simbok berusaha membalikkan tubuh anaknya. Namun tidak seperti biasa yang menurut, Wanto bersikeras untuk terus menghadap tembok dan memberi Simboknya punggung yang membungkuk.

“Ada apa, Le? Apa Simbok tidak lagi bisa diajak cerita.” Tanya Simbok yang tidak lama terdengar napas Wanto yang berat, ingus yang terhirup kasar, namun Wanto masih bersikukuh dan menghadap dinding.

 “Kamu punya keinginan lagi, Le? Kalau Simbok bisa, pasti Simbok usahakan. Tapi ya itu tadi, Simbok Cuma bisa bantu membujuk bapakmu.” Ucap Simbok lagi untuk mendapat perhatian Wanto.

“Tidak, Mbok!” Wanto semakin terserang oleh kesedihan. Selama ini Simboknya selalu berusaha untuk mengerti apa pun yang Wanto inginkan. Tidak sekalipun Wanto merasa dikecewakan, dan karenanya tidak ada apa pun yang dapat Wanto sembunyikan. Tapi masalah ini, Wanto tidak ingin orang tuanya tahu, bahkan oleh Simboknya. Wanto tidak mau Simboknya sedih, bagaimana perasaan seorang simbok yang tahu kalau anaknya dipukuli oleh majikan suaminya.

“Simbok tidak akan bilang bapakmu, kalau kamu bilang.” Ucap Simbok yang masih berusaha membujuk Wanto, “Itu kalau kamu takut sama Bapakmu.”

“Tidak, Mbok.”

“Kalau tidak ya, Simbok jangan Cuma dikasih punggung. Sini biar Simbok lihat anak lanang simbok.” Perlahan, Simbok berusaha membalikkan tubuh Wanto yang kali ini menurut. “Inalillahi,” terkejut melihat wajah Wanto memar, “Kamu kenapa, Le?”

Simbok mengusap wajah Wanto yang babak belur, sedang Wanto tidak menjawab. Anak lelaki itu seoalah kehilangan rasa kelelakiannya saat berhadapan dengan biyungnya sendiri. Wanto justru menangis sambil berusaha mencari cerita untuk menjelaskan apa yang sudah terjadi dengan dirinya. Tidak! Tetap dia besikukuh, kalau orang tuanya tidak boleh tahu apa yang terjadi sebenarnya. Wanto tidak takut pada Abah Soleh atau berusaha melindungi dari kemarahan orang tuanya, terlebih
Bapaknya. Tapi Wanto ingin melindungi orang tuanya sendiri, dari kekecewaan.

“Siapa yang memukuli kamu, Le?” tanya Simbok menahan sedih sekaligus marah yang terpendam. “Kamu berkelahi? Simbok sudah bilang, lebih baik mengalah, sabar. Jangan mudah terpancing emosi. Apa kamu tidak mendengarkan Simbok, Le?”

“Ngapunten, Mbok. Aku tidak ingat pesan simbok. Tadi berkelahi dengan anak tetangga desa.”

 “Owalah, Le, kok bisa-bisanya kamu membuat Simbok kecewa. Kamu masih anak lanang Simbok bukan?” Simbok pun menangis sambil memeluk Wanto.
Membuat Simbok kecewa, terlintas di pikiran Wanto. Tidak pernah Wanto mendengar ucapan simboknya yang seperti itu. Pengakuan simboknya lebih membuat Wanto sakit daripada pukulan dan tendangan Abah Soleh. Lebih menyakitkan mengetahui telah membuat kecewa orang yang paling Wanto cintai. Wanto menggeleng, ia tidak mau simboknya merasa kehilangan anak lanang. Tapi Wanto juga tidak mau kalau orang tuanya tahu dengan kejadian yang sebenarnya. Itu membuat Wanto masuk ke persimpangan. Mana yang terpenting untuknya saat ini.

Dalam pelukan simboknya, Wanto berpikir. Menimbang untuk mengetahui kadar berat dari dua pilihan itu. Ia tidak mau simboknya kecewa dan juga tidak mau keluarganya mendapat masalah dengan Abah Soleh. Namun Wanto juga sadar, kejadian tadi tidak mungkin dia tutupi untuk waktu yang lama. Apa yang sudah dilakukan Abah Soleh padanya, dilihat banyak orang. Hampir semua orang di pinggir jalan depan rumah Abah Soleh mengetahuinya. Menyaksikan dengan mata kepala mereka sendiri, bagaimana Wanto dibuat K.O oleh Abah Soleh. Dan tidak ada yang membantu Wanto atau sekedar menahan tangan dan kaki Abah Soleh untuk terus menubruki tubuh Wanto.

Wanto memutuskan, rasa hati simboknya lebih penting ketimbang apa pun. “Wanto tidak berkelahi, Mbok.” Ucapnya dengan sedikit ragu dan takut.

“Jangan bohong, Le.”

“Simbok jangan bilang Bapak.” Ucap Wanto dan simboknya mengangguk setuju. “Aku tidak berkelahi, Mbok, tapi dipukuli orang.”

“Kamu salah apa?” tanya Simbok dan Wanto menggeleng.

“Tidak tahu, Mbok.”

“Tidak tahu?” Simbok bingung, bagaimana bisa tidak tahu, “Siapa, Le?”

Wanto berpikir sejenak. Menatap simboknya mencari pijakan untuknya berani menyebut nama. “Tapi Simbok jangan bilang Bapak. Abah Soleh, Mbok. Tadi, waktu aku main becak sama Ismail, tiba-tiba Abah Soleh teriak dari teras rumah. Abah Soleh langsung datang dan memukuli Wanto.” Wanto termenung membayangkan bagaimana Abah Soleh mengamuk. “Abah Soleh tidak bilang apa pun, Mbok, cuma menendang sambil teriak bahlul, anak setan.”

Semakin erat Simbok memeluk Wanto. Air matanya menetes, membayangkan nasib anak malang. Simbok juga menghadapi bagaimana rasa sakitnya orang tua saat tidak mampu membela anaknya. Simbok Wanto marah namun menahan marah untuk dirinya sendiri. “Sabar, Le, itu yang terbaik buat kamu.” Ucap Simbok saat tidak mampu menahan kesedihannya.

“Iya, Mbok!”

“Meski Abah Soleh yang seringkali bilang kalau sabar itu lebih baik, kitalah sekarang yang saatnya harus sabar. Kita terima saja, Le, semoga Gusti Allah menguatkan kita.” Simbok berusaha tidak menangis lagi.

Bapak ada di belakang pintu, mendengar seluruh pembicaraan istri dan anaknya. Terbayang saat Wanto menghadapi Abah Soleh. Tubuh anaknya yang kecil dipaksa menerima srudukan tubuh Abah Sholeh –majikannya yang bertubuh besar. Ia sedih melihat anaknya menghadapi penderitaan yang berat dan lagi sebagai bapak, tidak memiliki keberanian untuk membela anak. Abah Soleh baginya tidak sekedar majikan, namun juga guru ngaji yang terus menerus mengisi hidupnya dengan petuah kebaikan hidup. Meski terkadang, ia sering menemukan ketidak-cocokan antara apa yang Abah Soleh ucapkan dengan perbuatan.

Seperti kejadian yang menimpa Wanto. Ia tahu Wanto pasti memiliki kesalahan meski pun itu kecil. Salah tetap salah. Ia menjadi ingat bagaimana Abah Soleh sering bilang kalau menjadi manusia utama adalah manusia yang sabar dan berani dengan dada terbuka memaafkan kesalahan orang lain. Dengan memaafkan orang lain, semoga saja Tuhan juga akan memaafkan kesalahan manusia itu kelak di hari perhitungan. Namun itu sebatas kata-kata Abah Soleh yang nyatanya tidak memaafkan kesalahan Wanto. Bapaknya Wanto terdiam.

* * *

 Menerobos hujan hanya dengan pelepah pisang, bapaknya Wanto menuju ke rumah Abah Soleh. Di depan ada tikungan terakhir jalan di Pasar Kliwon. Sebelah tikungan itu adalah rumah milik Abah Soleh, berikut toko-toko yang berderet sepanjang jalan –juga milik Abah Soleh. Ia ingin mencari penjelasan sebab musabab anaknya harus menerima ajaran. Ia kini tidak perduli, kemarahan Abah Soleh akan membuatnya kehilangan pekerjaan bersebab Abab Soleh menarik becak yang bapaknya Wanto operasikan. Ia pergi hanya untuk meminta penjelasan bukan untuk alasan lain.

Abah Soleh masih berada di teras. Ia memang sedang menunggu orang tua Wanto yang dia perkirakan pasti datang. Sambi mengusap jenggotnya yang mulai kering, Abah Soleh sudah menantang bapaknya Wanto yang baru memasuki halaman. Tubuh yang besar dengan jenggot lebat dari pelipis sampai janggut sedikit menggetarkan hati. keberanian bapaknya Wanto agak memudar namun tetap melangkah demi anak lanang istrinya.

“Assalamu’alaikum, Bah!” ucapnya sebelum naik ke teras.

“Wa’alaikum salam!” sahut Abah Soleh dingin sambil menjulurkan tangannya untuk mendapat cium penghormatan dari babu yang sekaligus santrinya.

“Saya, sowan ke sini, Bah untuk,”

“Aku tahu!” potong Abah Soleh, “Kamu mau tanya kenapa anakmu aku hajar?” ucap Abah Soleh dengan nada penuh wibawa yang menyulut kemarahan bapaknya Wanto yang berusaha sabar sambil menatap tikungan Pasar Kliwon di sana tempat anaknya mendapat siksaan.

“Benar, Bah. Kalau Wanto salah, saya mohon maaf.”

“Anakmu salah. Sudah aku bilang, becak jangan dijadikan mainan. Tapi dasar anakmu itu, bahlul, kelakuannya seperti setan, tidak mau mendengar. Malah ngajak Mail hujan-hujanan mainan becak. Becakku bukan buat mainan. Kalau nanti rusak bagaimana? Kalau Ismail sampai sakit bagaimana? Kamu mau tanggung jawab?”

Bapaknya Wanto menunduk. Dia tahu dirinya sedang dihina. “Tapi apa benar langsung dipukul, Bah?”

“Kamu mengajari aku?”

“Tidak, Bah, tapi,”

“Sudah! Kalau kamu tidak terima sana lapor polisi. Besok kamu cari becak lain saja. Tidak perlu bawa becakku lagi. Banyak yang mau bawa selain kamu.”

Benar, ia kehilangan pekerjaannya. Bapaknya Wanto undur diri dengan sopan. Dia tidak masalah kehilangan pekerjaan, dia juga tidak mau menuntut Abah Soleh. Karena Abah Soleh tidak sekedar majikan, tapi juga guru yang ditunggu sawab berkahnya. Bapaknya Wanto masuk ke dalam hujan, dia melewati tikungan Pasar Kliwon dan menuju pulang. Di tengah jalan, ketemu Ismail, anak mantan majikannya. Ismail minta maaf, kalau sebenarnya dirinya yang salah. Ismail yang mengajak Wanto bermain becak-becakan.

Bapaknya Wanto ingat inti pengajian beberapa waktu lalu. Muslim itu memaafkan kesalahan sesama muslim dan diantara muslim saling berkasih sayang. Karenanya dia memaafkan Ismail dengan ringan. Dia juga meminta doa pada Ismail semoga Wanto lekas sembuh. Bapaknya Wanto berlalu dengan membawa senyuman, menghadapi hidupnya sebagai buruh yang tercampakkan.

Banjarnegara, 10 November 2013
*) [Program Parallel Events Bienalle Jogja XII dengan tema “Arabian Pasar Kliwon” project Kelompok seni Deka-exi(s) yang di selenggarakan di Situs Kandang Menjangan Krapyak,Yogyakarta pada tanggal 17 – 30 November 2013.]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun