“Bapak ngomong sama siapa?” tanya Simbok dan membuat Wanto lekas mengganti baju untuk kemudian langsung membungkus tubuh dengan sarung.
“Wanto hujan-hujanan.”
“Anaknya kemana?”
“Langsung ke kamar. Disuruh mandi mah langsung ke kamar. Cuma iya-iya saja.”
“Le, mandi terus makan.” Ucap Simbok dari luar kamarnya Wanto.
“Nanti, Mbok.” Suara Wanto bergetar, menahan kesedihan dan keinginan untuk mengeluh.
Suara Wanto dapat Simbok terka, kalau anak lanangnya baru memiliki masalah. “Kamu belum makan seharian, to, le?”
“Iya, Mbok, nanti saja.” sahut Wanto dengan suara yang sama.
Simbok pun langsung membuka pintu, punggung Wanto yang berbungkus sarung. Simbok tersenyum lalu duduk di amben di belakang Wanto. Dengan lembut, Simbok berusaha membalikkan tubuh anaknya. Namun tidak seperti biasa yang menurut, Wanto bersikeras untuk terus menghadap tembok dan memberi Simboknya punggung yang membungkuk.
“Ada apa, Le? Apa Simbok tidak lagi bisa diajak cerita.” Tanya Simbok yang tidak lama terdengar napas Wanto yang berat, ingus yang terhirup kasar, namun Wanto masih bersikukuh dan menghadap dinding.
“Kamu punya keinginan lagi, Le? Kalau Simbok bisa, pasti Simbok usahakan. Tapi ya itu tadi, Simbok Cuma bisa bantu membujuk bapakmu.” Ucap Simbok lagi untuk mendapat perhatian Wanto.