Mohon tunggu...
M.D. Atmaja
M.D. Atmaja Mohon Tunggu... lainnya -

Teguh untuk terus menabur dan menuai. Petani.\r\n\r\neMail: md.atmaja@yahoo.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tikungan Pasar Kliwon

24 Desember 2013   21:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:31 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Simbok jangan bilang Bapak.” Ucap Wanto dan simboknya mengangguk setuju. “Aku tidak berkelahi, Mbok, tapi dipukuli orang.”

“Kamu salah apa?” tanya Simbok dan Wanto menggeleng.

“Tidak tahu, Mbok.”

“Tidak tahu?” Simbok bingung, bagaimana bisa tidak tahu, “Siapa, Le?”

Wanto berpikir sejenak. Menatap simboknya mencari pijakan untuknya berani menyebut nama. “Tapi Simbok jangan bilang Bapak. Abah Soleh, Mbok. Tadi, waktu aku main becak sama Ismail, tiba-tiba Abah Soleh teriak dari teras rumah. Abah Soleh langsung datang dan memukuli Wanto.” Wanto termenung membayangkan bagaimana Abah Soleh mengamuk. “Abah Soleh tidak bilang apa pun, Mbok, cuma menendang sambil teriak bahlul, anak setan.”

Semakin erat Simbok memeluk Wanto. Air matanya menetes, membayangkan nasib anak malang. Simbok juga menghadapi bagaimana rasa sakitnya orang tua saat tidak mampu membela anaknya. Simbok Wanto marah namun menahan marah untuk dirinya sendiri. “Sabar, Le, itu yang terbaik buat kamu.” Ucap Simbok saat tidak mampu menahan kesedihannya.

“Iya, Mbok!”

“Meski Abah Soleh yang seringkali bilang kalau sabar itu lebih baik, kitalah sekarang yang saatnya harus sabar. Kita terima saja, Le, semoga Gusti Allah menguatkan kita.” Simbok berusaha tidak menangis lagi.

Bapak ada di belakang pintu, mendengar seluruh pembicaraan istri dan anaknya. Terbayang saat Wanto menghadapi Abah Soleh. Tubuh anaknya yang kecil dipaksa menerima srudukan tubuh Abah Sholeh –majikannya yang bertubuh besar. Ia sedih melihat anaknya menghadapi penderitaan yang berat dan lagi sebagai bapak, tidak memiliki keberanian untuk membela anak. Abah Soleh baginya tidak sekedar majikan, namun juga guru ngaji yang terus menerus mengisi hidupnya dengan petuah kebaikan hidup. Meski terkadang, ia sering menemukan ketidak-cocokan antara apa yang Abah Soleh ucapkan dengan perbuatan.

Seperti kejadian yang menimpa Wanto. Ia tahu Wanto pasti memiliki kesalahan meski pun itu kecil. Salah tetap salah. Ia menjadi ingat bagaimana Abah Soleh sering bilang kalau menjadi manusia utama adalah manusia yang sabar dan berani dengan dada terbuka memaafkan kesalahan orang lain. Dengan memaafkan orang lain, semoga saja Tuhan juga akan memaafkan kesalahan manusia itu kelak di hari perhitungan. Namun itu sebatas kata-kata Abah Soleh yang nyatanya tidak memaafkan kesalahan Wanto. Bapaknya Wanto terdiam.

* * *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun