Mohon tunggu...
Suci Ayu Latifah
Suci Ayu Latifah Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Satu Tekad Satu Tujuan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Resolusi Dekadensi Moral

16 April 2020   14:10 Diperbarui: 16 April 2020   14:14 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
medanbisnisdaily.com

Ketika dunia kesehatan sibuk membahas virus baru, dunia pendidikan pun tidak kalah sibuk. Pasalnya, menjelang ujian nasional kita disambut oleh kekerasan yang kembali berulah. Nampaknya, masalah ini sudah mengakar dan perlu resolusi andal untuk menumpas.

Sekolah, semestinya menjadi rumah kerinduan para manusia yang haus terhadap kasih sayang, kenyamanan, dan rasa saling memiliki satu sama lain. Tiada kekerasan hingga mengakibatkan ketidaknyamanan penghuninya. K

arenanya, menyikapi kekerasan di lingkungan sekolah penting dicari resolusi sebagai jembatan penyelesai. Baik dari sudut pihak pelajar, guru, hingga orang tua.

Kekerasan membuat pemerintah mengingatkan kembali pentingnya sekolah membentuk tim pencegahan kekerasan. Pasalnya, kekerasan yang terjadi di lembaga pendidikan tanah air sesungguhnya adalah petanda kurang fokusnya sekolah dalam rangka menumbuhkan budi pekerti generasi bangsa.

Sebagaimana dilontarkan staf ahli Mendikbud Bidang Regulasi, Chatarina M. Girsang, perihal kasus kekerasan di sekolah disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, anggapan bahwa kekerasan bukan masalah serius. 

Kedua, sekolah belum membentuk tim secara matang dalam rangka pencegahan kekerasan. Ketiga, peran orang tua dalam membentuk budi pekerti anak. Tiga faktor utama ini, penting direnungkan mengingat kekerasan berpengaruh besar terhadap psikologis anak.

Berbicara tentang kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah, kita patut bersedih mendengarnya. Pasalnya, begitu ekspresif generasi Indonesia---pelaku dunia pendidikan dalam menyalurkan kesangarannya dalam berinteraksi sosial. 

Dalam konteks ini, sejenak mengingat beberapa kasus kekerasan yang sempat viral. Pertama, terjadi di Maumere, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, 19 Februari 2020 bulan lalu. Siswa senior meminta juniornya untuk menjilat tinja alias kotoran manusia.

Kedua, ulah ketidakmanusiawi tiga siswa tingkat pertama di Purworejo menjadi tersangka perundungan terhadap teman sejawatnya. Dan, ketiga, kasus meluapnya emosi seorang guru terhadap siswanya di Bekasi. Guru tingkat menengah atas ini memukul siswanya hingga viral di media sosial.

Berkaca dari ketiga kasus kekerasan di lingkungan sekolah merupakan tamparan hebat bagi dunia pendidikan tanah air. Bahwasanya kasus kekerasan tidak saja dilakukan atas keekspresian seorang murid, melainkan guru sebagai tenaga pendidik. 

Sungguh, kejadian tersebut setidaknya dijadikan pelajaran bersama. Terlebih, setelah terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.

Menyoal kekerasan, sebenarnya bentuk perilaku yang dilakukan seseorang dengan melibatkan kekuatan fisik untuk merusak, melukai, menyakiti, bahkan membunuh seseorang atau sekelompok orang. 

Jika menilik dari hukum kausalitas tentu kekerasan yang terjadi selalu diikuti sebabnya---ceritanya, sehingga seseorang katakanlah merasa tersinggung atau tidak terima sampai hati menyakiti orang lain. 

Karenanya, kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah dapat dikatakan akibat dari lepas kontrol dalam mengelola emosi dan keekspresian pelajar dalam bermain. 

Dari kekerasan, yang disayangkan sebenarnya adalah dampak psikis korban. Buruknya, kekerasan di masa kecil akan berdampak besar pada masa depannya---seseorang bisa mengalami trauma akut.

Untuk itulah, beberapa hal yang penting untuk direnungkan sebagai upaya pencegahan kekerasan, khususnya di lingkungan sekolah. Pertama, sekolah menerapkan nilai-nilai kedamaian. 

Di antaranya menurut Erik Lincoln dan Irfan Amalee dalam buku Peace Generation (2007:5-200), terdapat 12 nilai dasar, yaitu menerima diri, prasangka, perbedaan etnis,  perbedaan agama, perbedaan jenis kelamin, perbedaan status ekonomi, perbedaan kelompok atau geng, keanekaragaman, konflik, menolak kekerasan, mengakui kesalahan, dan memberi maaf.

Keterbukaan dan komunikasi dalam penciptaan kedamaian ini perlu ditanamkan pada siapa saja. Keterbukaan yang dimaksud adalah kesungguhan menerima kritik dan masukan terhadap segala hal. 

Berikut mencangkup masalah yang terjadi---dapat disampaikan dan dijadikan pelajaran bersama. Komunikasi, maksudnya timbul interaksi sosial yang baik. 

Adalah sebuah komunikasi yang senantiasa condong pada nilai kebenaran dan kemanusiaan. Kebenaran dalam dunia pendidikan, bermukim pada loyalitas pendidikan di sekolah. Dan, kemanusiaan berpandangan pada harkat dan martabat manusia, serta nilai-nilai sosial, adat, dan hukum sosial.

Kedua, pengawasan dan motivasi secara intensif. Tidak dimungkiri, gerak anak milenial lebih aktif dibanding anak dahulu. Karenanya, tidak menutup kemungkinan jangkar pelajar lebih luas dibanding gurunya. 

Dalam hal ini, tugas sekolah adalah mengawasi dan memotivasi, bahwasannya ketermampuan pengaruh sesuatu yang baik akan berdampak pada kebaikan, dan sebaliknya. 

Pendekatan terhadap pelajar sekaligus mengetahui masalah siswa menjadi pendukung kuat untuk mendeteksi gerak pelajar. Apakah masalah yang ada bermula dari lingkungan keluarga atau lingkungan masyarakat (pergaulan).

Ketiga, peran orang tua dalam mengawasi dan memantau perkembangan tumbuh kembang anak.  Tidak sepenuhnya penataran budi pekerti menjadi tanggung jawab lembaga pendidikan. 

Orang tua, penting melakukan komunikasi dan pengawasan saat di rumah. Utamanya, pengawasan terhadap tontonan anak. Pasalnya, kekerasan sering dipicu dari apa yang dilihat anak, kemudian anak menirukan tanpa tahu maksudnya.

Di era sekarang, anak adalah peniru terhebat. Ia bisa saja menirukan segala ekspresi dari apa yang dilihat dan ditonton. Katakanlah, peniruan terhadap bahasa di televisi. 

Kartun upin dan ipin misalnya, dengan mudah dalam berkomunikasi sehari-hari anak-anak menirukan logat dari bahasa upin dan ipin. Tontonan lain misalnya, sinetron yang menayangkan aksi kekerasan atau umpatan bahasa kasar, dengan mudah anak akan menirukan dan dipraktikkan dalam kesehariannya. Karenanya, dalam upaya pencegahan kekerasan, baik fisik, psikis, dan simbolik orang tua terlibat penuh dalam memantau tumbuh kembang anak.

Dengan menerapkan cara demikian, tampaknya kekerasan di sekolah lambat laun akan sirna. Sekolah, kembali menjadi rumah kerinduan yang penuh kasih sayang. 

Jika hal demikian dapat dilakukan, maka tidak menutup kemungkinan sekolah dapat dipercaya sebagai rumah kedamaian dan kesejahteraan. Sejahtera untuk gurunya, pelajarnya, juga orang tua yang memasrahkan anak-anaknya.

Mudah-mudahan alternatif penguatan sekaligus upaya pencegahan kekerasan di lingkungan sekolah dapat dilaksanakan. Sebab, jika tidak, maka sekolah menjadi neraka yang dihantui oleh berbagai bentuk kekerasan di dalamnya---fisik maupun psikis. 

Oleh karenanya, penting penguatan pencegahan kekerasan di sekolah sebagai resolusi menjelang ujian nasional. Begitu pula, peran orang tua sebagai pendukung pencegahan kekerasan. 

Pandangan lemahnya pencegahan kekerasan di sekolah dengan begitu dapat kokoh karena tim sekolah bersinergis dengan orang tua, dan komitmen masyarakat dalam mendukung upaya kekerasan. Semoga!

Suci Ayu Latifah

Sarjana Pendidikan, Tim Sekolah Literasi Gratis STKIP PGRI Ponorogo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun