Ketika dunia kesehatan sibuk membahas virus baru, dunia pendidikan pun tidak kalah sibuk. Pasalnya, menjelang ujian nasional kita disambut oleh kekerasan yang kembali berulah. Nampaknya, masalah ini sudah mengakar dan perlu resolusi andal untuk menumpas.
Sekolah, semestinya menjadi rumah kerinduan para manusia yang haus terhadap kasih sayang, kenyamanan, dan rasa saling memiliki satu sama lain. Tiada kekerasan hingga mengakibatkan ketidaknyamanan penghuninya. K
arenanya, menyikapi kekerasan di lingkungan sekolah penting dicari resolusi sebagai jembatan penyelesai. Baik dari sudut pihak pelajar, guru, hingga orang tua.
Kekerasan membuat pemerintah mengingatkan kembali pentingnya sekolah membentuk tim pencegahan kekerasan. Pasalnya, kekerasan yang terjadi di lembaga pendidikan tanah air sesungguhnya adalah petanda kurang fokusnya sekolah dalam rangka menumbuhkan budi pekerti generasi bangsa.
Sebagaimana dilontarkan staf ahli Mendikbud Bidang Regulasi, Chatarina M. Girsang, perihal kasus kekerasan di sekolah disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, anggapan bahwa kekerasan bukan masalah serius.Â
Kedua, sekolah belum membentuk tim secara matang dalam rangka pencegahan kekerasan. Ketiga, peran orang tua dalam membentuk budi pekerti anak. Tiga faktor utama ini, penting direnungkan mengingat kekerasan berpengaruh besar terhadap psikologis anak.
Berbicara tentang kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah, kita patut bersedih mendengarnya. Pasalnya, begitu ekspresif generasi Indonesia---pelaku dunia pendidikan dalam menyalurkan kesangarannya dalam berinteraksi sosial.Â
Dalam konteks ini, sejenak mengingat beberapa kasus kekerasan yang sempat viral. Pertama, terjadi di Maumere, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, 19 Februari 2020 bulan lalu. Siswa senior meminta juniornya untuk menjilat tinja alias kotoran manusia.
Kedua, ulah ketidakmanusiawi tiga siswa tingkat pertama di Purworejo menjadi tersangka perundungan terhadap teman sejawatnya. Dan, ketiga, kasus meluapnya emosi seorang guru terhadap siswanya di Bekasi. Guru tingkat menengah atas ini memukul siswanya hingga viral di media sosial.
Berkaca dari ketiga kasus kekerasan di lingkungan sekolah merupakan tamparan hebat bagi dunia pendidikan tanah air. Bahwasanya kasus kekerasan tidak saja dilakukan atas keekspresian seorang murid, melainkan guru sebagai tenaga pendidik.Â
Sungguh, kejadian tersebut setidaknya dijadikan pelajaran bersama. Terlebih, setelah terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.