Mohon tunggu...
Umar Fondoli
Umar Fondoli Mohon Tunggu... Wiraswasta - Jika kebisuan tidak sanggup memberikan jawaban, menulis adalah cara mudah untuk meringankan beban hidup.

Kalau susah diomongin, ditulis aja......

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dalam Genggaman Rencana

11 Maret 2011   02:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:53 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kalau orang yang tidak bekerja dan hanya menunggu rejeki datang dari Allah, apakah itu takdir ?

Kalau orang ingin menikah dan tidak berupaya untuk mencari dan mendekati calon pasangan hidupnya, apakah bisa dinamakan takdir ?

Dan bukankah nasib seseorang itu yang bisa merubah adalah orang yang ingin berubah nasibnya ? Kenapa jadi cekak begini pemahamanku tentang takdir dan nasib.
Aku memohon ijin kepada Wak Umar kalau aku ingin menginap di rumahnya beberapa hari. Aku sampaikan kalau aku sangat rindu dengan Wak Umar, dengan suasana pondok pesantren yang dulu pernah menggembleng aku, dengan suasana desa yang terletak di kaki bukit ini. Dalam hati, aku juga ingin mengetahui kondisi Malik, sahabatku.

++++++

Sore itu, aku dengan berjalan kaki menuju rumah Malik yang tidak jauh dari pondok. Untuk menuju ke rumah malik dari rumah Wak Umar hanya butuh 15 menit dengan jalan setapak. Agar lebih yakin rumah mungil yang aku lihat dari kejauhan itu rumah Abdul Malik, sesekali aku menghentikan langkah untuk bertanya pada orang yang aku temui. Dan ternyata benar, rumah yang terletak di mulut hutan belantara dan hanya satu-satunya itu adalah rumah Malik.
“Assalamu’alaikum….” Aku ketok pelan-pelan pintu rumah gedong yang masih temboknya masih belum diplester itu. Jadi masih terlihat susunan batu batanya.
“Siapo…” jawab suara perempuan dari dalam rumah dengan intonasi yang ketus.
“Aku, mbak. Amir kawannya Malik dari jawa…” tidak lama pintu itu dibuka dari dalam, dan ternyata benar kata Wak Umar, istrinya Malik benar-benar cantik. Pantas Malik dahulu tidak pernah memperkenalkannya kepadaku.
“Maaf, mbak. Apa benar ini rumah Malik ? Aku Amir dari Yogya,” sapaku sambil mengulurkan tanganku kepada perempuan itu. Dia membalas salamanku lama sekali tidak dilepaskannya, apalagi dengan tatapan mata yang menggoda. Dan cepat-cepat aku menarik tanganku dan membuang mukaku ke tanah.
“Abang masih di ladang, silahkan masuk. Tunggulah sesaat lagi dia pasti pulang,” katanya dengan nada suara yang terasa sekali dibuat selembut mungkin.

Aku jadi kikuk, dan bingung harus bertanya apa dan harus bagaimana menghadapi istri sahabatku yang terlihat genit ini. “Abang mau minum apa, kopi atau the manis. Halimah buatkan yang enak khusus buat bang Amir,” sambungnya.
“Apa saja, kopi juga boleh,” jawabku.
Setelah hampir satu jam aku menunggu Malik, akhirnya terlihat dari kejauhan Malik datang dengan memikul kayu. Yang sangat membuatku heran dan agak ngeri, dia berjalan diiringi harimau, beruk, srigala dan anjing hutan yang ikut membawakan kayu bakar. Aku hanya berani mengintip dari balik jendela rumah.
“Abang heran melihat bang Malik bersama hewan-hewa buas itu ? Sudah sejak dua tahun ini, bang Malik setiap pulang selalu diiringi barisan hewan-hewan itu. Tapi mereka jinak kog dengan bang Malik. Dahulu, saya juga takut, Bang. Tapi karena sudah terbiasa, ya gak apa-apa. Apalagi hewan-hewan itu sudah jinak dan nurut sama bang Malik,” penjelasan Halimah sedikit menenangkan rasa takutku akan hewan-hewan buas itu.

Kejadian itu sungguh membuatku penasaran. Kog bisa Abdul Malik menjinakkan hewan-hewan buas itu.
Aku lihat dari balik jendela, hewan-hewan itu sepertinya sudah tahu dimana harus menurunkan kayu-kayu itu. Setelah itu, semua hewan yang mengiringi malik menundukkan kepala mereka kepada Malik, dan berbalik menuju hutan kembali.
“Bang…ada tamu dari Jawa. Cepatlah masuk kau temui dia,” kata Halimah dengan nada yang agak sinis. Malik hanya berdiam dan langsung masuk ke dalam rumah.
“Assalamu’alaikum, apa kabar Lik,” Malik hanya tersenyum dan merangkul tubuhku. Sama seperti yang dilakukan Wak Umar, dia lama memelukku. Aku bisa merasakan air matanya menetes lebih deras dibandingkan tangisan Wak Umar.
“Alhamdulillah, kabarku baik-baik Mir. Seperti yang kamu lihat,” jawabnya dengan suara yang datar. Lalu dia diam membisu lama sekali.
“Bang, rebuskan air. Aku mau mandi…” teriak istrinya dari ruangan dalam. Dan Malik bergegas masuk kedalam untuk melayani permintaan istrinya. Aku ditinggalkan sendirian di ruang tamu. Ada perasaan heran dalam bathinku, dia bisa membuatkan kopi untukku tapi kenapa hanya merebus air saja harus menyuruh suaminya ?
Selesai menuangkan air panas buat istrinya mandi, Malik kembali menemuiku di ruang tamu. “Kamu nggak apa-apa, Lik. Kog wajahmu terlihat kumal begitu,” tanyaku dengan berbisik.
“Nggak pa pa, hanya capek saja. Kamu sudah menikah, Mir. Anakmu berapa ?“ belum sempat aku jawab, istrinya kembali berteriak untuk diambilkan handuk, minta ini minta itu dan seterusnya. Banyak perintah-perintah yang menurutku sangat tidak masuk dalam nalarku. Banyak hal yang seharusnya bisa dikerjakan sendiri oleh Halimah, kenapa harus menyuruh suaminya.
“Maaf, Mir,” kata Malik kembali menemuiku. Aku hanya menganggukan kepala.
“Kamu sudah berapa lama diperlakukan begini oleh istrimu,” bisikku
“Diperlakukan bagaimana, maksudmu ? Aku melakukan ini dengan ikhlas karena aku sangat mencintai dan menyayangi dia,” jawabnya pelan.
“Lik, sebaiknya kita ngobrol di luar saja. Nggak enak nanti terdengar istrimu. Biar aku yang pamitkan.”
“Ndak usah Mir, disini aja..” jawabnya
“Mbak…Malik aku ajak keluar dulu, muter-muter ke desa pingin bernostalgia..boleh ya mbak…,” teriakku dari ruang tamu.
“Boleh mas, tapi jangan sampai malam. Aku takut sendirian di rumah..,” jawab Halimah setengah berteriak dari ruangan dalam.
“Nah..boleh kan. Ayoo..cepet berangkat,” setelah berpamitan kami keluar dengan mengendarai sepeda pancal Malik, aku yang membonceng dia.
Dalam perjalanan aku sampaikan kepada Malik, kog bisa dia begitu sabar menghadapi sikap istrinya yang ketus dan mendominasi keadaan rumah tangganya.
“Aku tidak bisa menyenangkan dan membahagiakan istriku dengan harta, Mir. Mangkanya aku melakukan itu untuk membahagiakan dia dengan cara yang lain. Yang aku mampu,” jawabnya.
“Apa kamu lupa, dengan ajaran yang pernah kita dapat dari Wak Umar. Dalam rumah tangga, kita ini pemimpin lho, Lik. Baik buruknya rumah tangga, tergantung kita karena kita yang menjadi nahkodanya,” kataku. Dia hanya diam saja tidak sepatah katapun meluncur dari bibirnya.
“Kalau kamu mencintai dan menyayangi dia, menurut aku bukan begitu caranya. Bukan kamu jadi pelayan dia, bukan menuruti apa yang dia mau. Kamu harus bentuk dia menjadi wanita yang benar-benar kuat lahir dan bathin,” kataku.
Banyak pria yang melakukan hal gila dan bodoh karena tergila-gila dengan wanita. Mereka rela melakukan apa saja agar si wanita terpikat dan jatuh cinta padanya. Mereka rela mengabaikan kewajiban, rela kehilangan uang dan tenaga, dibela-belain bertengkar dengan teman, saudara, keluarga dan bahkan menukar akidahnya untuk mendapatkan wanita idamannya. Kenapa kamu rela membuat dirimu sendiri depresi dan stress karena takut kehilangan dia,” tambahku sambil menghentikan sepeda di tengah jembatan desa.

Kami berdua akhirnya memilih duduk di tembok jembatan sambil meneruskan obrolan kami.
“Ini sudah takdirku, Mir. Kalau Allah ridho aku juga akan ridho menerima semuanya ini,” jawaban kepasarahan yang konyol menurutku.
“Lik, sebagai muslim, kita semua wajib beriman pada takdir. Tapi pemahaman kamu tentang takdir Allah yang demikian gampangnya kamu tafsirkan itu yang aku tidak bisa mengerti,” Malik hanya diam membisu sambil memandang wajahku.
“Aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakan istriku, tapi kalau dia masih merasa tidak bahagia, sudah menjadi kewajibanku untuk terus berihtiar secara lahir dan bathin agar dia bisa merasakan bahagia,” jawabnya pelan.
“Kamu masih ingat ajaran dari cerita Wak Umar, bahwa wanita itu lebih banyak menggunakan perasaannya. Jika kamu bisa menguasai dan memahami perasaannya, pastilah dia akan simpati dan rela melakukan apa saja buat kamu. Pelayananmu terhadap istrimu, boleh jadi pada awalnya merupakan sesuatu yang spesial. Tapi kalau hal itu kamu lakukan setiap hari, itu bukan lagi hal yang spesial tapi berubah menjadi hal yang biasa dan akhirnya menjadi tidak penting buat dia.”
“Aku ingat, Mir. Maka dari itu aku berusaha untuk bisa menjadi suami yang sesuai dengan keinginannya. Meskipun sulit, aku akan tetap berusaha melayani dia dengan sabar dan ihlas.”
“Sebaik-baiknya istri, jika diberikan sesuatu dia akan bersyukur dan jika tidak mendapatkan sesuatu sesuai dengan harapannya, dia bersabar. Sebaik-baiknya istri adalah yang taat dan hormat kepada suaminya,” tambahku.
“Dia sangat berarti buat aku, Mir. Baik dan buruknya, dia adalah istri aku. Dialah yang terbaik buat aku, Mir. Aku bersyukur dan aku bahagia bisa menikahi perempuan cantik seperti dia.”
“Ah..prekethek dengan ucapanmu itu. Wanita yang cantik itu bukan hanya terlihat cantik saat dipandang, tapi juga cantik dan lembut tutur katanya. Sehingga matapun manjadi sejuk untuk memandanginya dan telingapun tenteram mendengarkan tutur katanya, hatipun terbuka untuknya dan dada menjadi lapang menerimanya serta jiwapun tenteram bersamanya.”
“Terlalu puitis kamu, Mir. Aku paham bahwa pernikahan itu ditujukan untuk bisa mengambil kenikmatan satu sama lainnya. Untuk membina rumah tangga yang shalihah, sakinah mawadah wa rohmah. Wanita yang ideal untuk dinikahi ialah wanita yang nantinya dapat mewujudkan tujuan itu dengan sempurna yaitu wanita yang disifati dengan kecantikan paras secara fisik dan maknawi.”
“Tapi kamu lupa, Lik. Kecantikan maknawi yang dimaksud itu adalah kesempurnaan agama dan akhlak, wanita yang taat beragama dan berakhlak mulia. Wanita yang beragama, dia akan taat menjalani perintah Allah, senantiasa menjaga hak-hak suami, rumah tangga serta anak-anak dan harta suaminya. Senantiasa membantu suami untuk menunaikan ketaatan kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Jika suami malas maka dia yang menyemangatinya, jika suami marah maka dia yang membuatnya ridha. Sedangkan wantia yang berakhlak adalah wanita yang memberikan belaian kasih sayangnya kepada suami dan menghormatinya. Selalu menyegerakan apa yang disukai suami dan tidak menunda-nunda sesuatu yang disuka suami,” mudah-mudahan penjelasanku bisa menyadarkan dia."
“Allah lebih maha tahu dengan apa yang diberikan kepadaku, Mir. Aku bersyukur dan ikhlas menerima Halimah sebagai istriku. Dan aku akan tetap sabar untuk menunggu dia berubah. Sabar itu pahit rasanya, akan tetapi akibatnya lebih manis dari madu.”
“Wis embohlah, aku hanya berpendapat sebagai sahabat. Aku yakin kamu bisa melewatinya dengan sabar dan ridho. Aku tahu kalau orang yang sabar itu akan melihat permasalahan yang dia tidak menyukainya dia akan memperkuat keimanannya untuk melindunginya dari rasa marah. Bagi orang yang ridha, adanya musibah ataupun tidak, adalah sama, karena dia melihat bahwasanya musibah tersebut adalah ketentuan Allah.”
“Amin. Semoga saja Allah teap memeliharaku dengan rasa sabar, ridho dan selalu bersyukur. Ayo Mir, kita pulang. Aku antar kamu ke rumah Wak Umar,” kata Malik.
“Hahaha…takut kena jam malam ya ? “ gurauku.
“Hahaha…ngeceee…yo,” baru kali ini aku lihat Malik tertawa lepas.
“Eh..Lik, boleh aku tanya sesuatu,” kataku sambil aku mengayuh sepeda unta yang membawa kami berdua ke pondok pesantrennya Wak Umar.
“Kowe arep takon opo (kamu mau tanya apa ?),” jawabnya
“Kog hewan-hewan buas dari dalam hutan itu bisa kamu jinakkan, nganggo ilmu opo, Lik,” tanyaku.
“Hehehehe…aku sendiri juga tidak tahu. Mungkin karena aku sering kasih makan dan minum buat mereka dengan rasa kasih dan sayang, sehingga mereka balas budi kebaikanku dengan jinak kepadaku,” jawaban Malik itu sangat tidak memuaskan buat rasa penasaranku.
+++++++

Keesokan harinya, aku mencoba untuk menyelidiki lebih dalam apa yang terjadi dibalik wajah sayunya Malik, disamping ingin menjawab rasa penasaranku atas hewan-hewan buas yang bisa ditaklukan oleh dia. Aku berangkat pagi-pagi ketika aktifitas anak-anak pondok pesantren di mulai.

Aku sengaja melewati jalan yang tidak biasa dilewati orang. Dengan mengendap-endap, aku berhasil bersembunyi di belakang rumah Malik. Aku bisa mendengarkan dengan jelas perbincangan antara Mali dan Halimah.

“Aku sudah capek bang, hidup begini terus. Cobalah tengok, tetangga sudah punya mobil kita sepeda motor aja gak punya. Rumah mereka sudah bagus, rumah kita masih saja reyot,” kata Halimah dengan juteknya.
“Dik, abang kan sudah berusaha sekuat tenaga. Abang sudah coba untuk melamar pekerjaan yang lebih baik. Tapi memang Allah belum meridho apa yang abang ihtiarkan,” jawab Malik pelan.
“Kau ini selalu berlindung dibalik kata-kata ridho Allah, takdir Allah, kuping ini terasa gatal, bang. Abang saja yang bodoh dan pemalas. Kalau abang tidak berupaya keras untuk mendapatkan apa yang kita inginkan, Allah kita itu tidak akan menurunkan ridhonya, tidak akan dia menetapkan takdirnya. Nasib kita ini tidak akan berubah kalau abang tidak berusaha keras untuk merubahnya,” kata Halimah.
“Iya aku tahu, kalau kita menyukuri semua nikmat yang diberikan Allah, pasti Allah akan menambah nikmat itu.”
“Iya…tapi kapan ? Sampai abang mati dimakan cacing pun tak bakalan bisa kaya, apalagi bisa membuatku senang. Karena aku sudah tahu, kalau abang hanya bisa ngoceh tentang agama, bukan berbuat sesuatu bagaimana bisa mendapatkan duit yang banyak. Bosan aku terus menerus hidup begini,” kata istrinya setengah berteriak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun