Mohon tunggu...
Umar Fondoli
Umar Fondoli Mohon Tunggu... Wiraswasta - Jika kebisuan tidak sanggup memberikan jawaban, menulis adalah cara mudah untuk meringankan beban hidup.

Kalau susah diomongin, ditulis aja......

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dalam Genggaman Rencana

11 Maret 2011   02:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:53 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Keluarga yang kaya, banyak. Keluarga yang terpandang, juga banyak. Bahkan tidak sedikit yang menyatakan bahwa keluarga mereka itu adalah keluarga yang harmonis, berpendidikan, dan bermartabat. Tapi apakah mereka bahagia ? Ada yang sudah hidup berumah tangga belasan tahun dan punya anak yang lucu-lucu, istrinya minggat. Ada yang sudah memiliki kekayaan dan kepopuleran, suaminya kecantol istri orang.

Banyak contoh yang sering dengar di radio, banyak pejabat, pengusaha, artis dan selebriti yang sudah memiliki segalanya, suami dan istrinya sama-sama memiliki kemampuan untuk mendapatkan harta dan kemewahan, eee…ternyata rumah tangganyanya berantakan,” begitu salah satu yang diajarkan Wak Umar dengan gaya bahasa yang enak didengar dan mudah dipahami.
“Banyak hal yang tidak bisa dinalar, saat mereka ditanya kenapa harus bercerai ? Kenapa harus rela berkorban meninggalkan anak dan istrinya hanya untuk kebahagiaan dan kenyamanan diri sendiri meraka sendiri. Bahkan ada yang sampai bunuh diri segala, naudzubillah.

Jawabannya, kata mereka karena mereka merasa tidak bahagia. Kalau kita telusuri, rasa kebahagiaan itu semuanya berawal dari rumah tangga, dari keluarga, entah itu keluarga kaya atau keluarga miskin. Jika tidak ada senyum di tengah-tengah kebersamaan mereka. Jika tidak ada lagi kehangatan yang menyelimuti kekakuan hubungan di antara mereka. Lalu kemanakah mereka harus mencari kebahagiaan itu? ” kalimat yang disampaikan Wak Umar itu masih terus ada dalam kepalaku sampai saat ini.
Siapapun berhak bahagia. Seorang ibu berhak bahagia, demikian juga seorang bapak. Keduanya jadi sumber kebahagiaan anak-anak mereka. Menurut, Wak Umar, kunci kebahagiaan dalam rumah tangga itu adalah kalau keluarga itu pandai bersyukur, pandai bersabar, dan bisa ihlas menerima apa saja yang diberikan Tuhan kepada keluarganya. Bersyukur, bersabar dan ikhlas itu sangat gampang diucapkan, tapi sulit dijalankan jika manusia itu masih dikuasai oleh hawa nafsu duniawi.
Sudah sepuluh tahun aku tinggalkan desa ini, baru kali ini aku menginjakan kembali kakiku di desa yang menciptakan banyak kenangan buatku. Banyak yang tidak berubah meskipun pembangunan infrastruktur masih terlihat terus berjalan. Masih segar dalam ingatanku ketika aku ajak Malik untuk kembali ke Yogya, dia menolak dan bersikukuh ingin tetap bertahan Di Tanah Datar karena merasa hatinya sudah tertambat pada seorang gadis di desa itu.

“Dia sungguh cantik, Mir. Rasanya aku tidak bisa meninggalkan dia meskipun hanya sekejap. Aku rela berkorban apa saja untuk mendapatkan cintanya. Sampaikan saja salamku pada emak dan keluargaku di Yogya. Aku tidak akan pulang sebelum bisa menikahi gadis itu,” begitu kata terakhir yang masih tergiang dalam ingatanku.

+++++
“Assalamu’alaikum. Bu Salmah, masih ingat sama ambo. Amir, dari Jowo,” aku coba mengingatkan ibu setengah baya pemilik warung padang. Disini warung makan masakannya padang semua, hampir tidak aku temui masakan jawa kecuali Bakso Malang. Bu Salmah adalah pemilik warung langganan kami, yang dahulu dekat WC. Sekarang warungnya sudah maju, bersih dan tidak berdekatan dengan bau pesing lagi.
“Siapo yo, onde mande…Amir…ya..Amir Fadholi…masya Allah, dari mano sajo, lamo tak bersuo. Apo kabarnyo..baik-saik sajo,” tanya bu Salmah kepadaku. Sambil melepas penat setelah ber jam-jam diatas bis melintasi trans sumatera, dan mungkin badanku bau keringat bercampur asap knalpot, aku sandarkan badanku di kursi makan warung bu Salmah. Sambil menyeruput kopi hitam bikinan bu salmah yang masih panas, aku nyalakan rokok filterku, wuih…sedap sekali.
Kami bercerita panjang lebar tentang kondisi desa yang dulu pernah aku tinggali. Tentang perkembangan pembangunan, kemajuan masyarakatnya, dan juga tentang guru aku, Wak Umar juga  Abdul Malik, sahabatku. Dari cerita yang aku dapat dari bu Salmah, sekarang pondok pesantren yang pernah aku tinggali sudah banyak kemajuan, bangunannya sudah tembok dan modern. Kata bu Salmah, santrinya sekarang sudah ratusan, berasal dari berbagai daerah. Bahkan santrinya ada yang berasal dari Singapura, Bruinei dan Malaysia, kata bu Salmah.
Masih menurut bu Salmah, Wak Umar juga sudah mendapatkan jodohnya, dia menikah dengan kepala sekolah SDN terkemuka di desa ini. Sekarang sudah dikarunia dua anak. “Istri Wak mu itu, amboi cantiknyo. Cobalah kau tengok sendiri kesana, ” kata bu Salmah.
Setelah puas melepas penat dan bercengkrama dengan bu Salmah, aku kembali melanjutkan perjalanan menuju pondok pesantren, dimana aku aku dahulu banyak mendapat gemblengan lahir dan bathin. Pernah suatu ketika, Wak Umar pada tengah malam menyuruhku masuk ke dalam hutan sendirian dan diminta duduk tafakur sampai subuh.

Beruntung pada malam itu tubuhku tidak di makan harimau atau digigit ular. Pernah juga aku disuruh puasa seminggu hanya berbuka dengan air putih satu gelas, untuk mencuci darah kotor yang mengalir dalam tubuhku katanya. “Hawa nafsu itu yang paling besar pengaruhnya berasal dari makanan atau minuman, Mir. Kalau makanan atau minuman yang masuk kedalam tubuh kita itu tidak halal, akan membuat jiwa menjadi tidak beres,” kata Wak Umar waktu itu.
Aku diantar ojek untuk ke pondok pesantren itu. Banyak yang berubah, dan benar-benar total berubah. Tidak terlihat rumah panggung yang kumuh, tidak ada lagi wajah-wajah santri yang kusut dengan bau keringat yang khas. Yang memakai kopyah berwarna pudar, yang memakai sandal jepit berpeniti. Sekarang yang aku lihat wajah-wajah anak-anak muda yang bersemangat dengan pakaian yang rapi. Berseragam lagi. Santri sekarang seperti terkurung dalam bangunan yang dikelilingi tembok. Untuk menemui Wak Umar, aku harus lapor dahulu kepada satpam berwajah sangar tapi  ramah.
Satpam yang diatas saku bajunya tertuliskan nama SYARIF, mengantarkan aku menemui Wak Umar. Betapa kagetnya ketika aku memasuki pagar rumah induk yang menjadi kediaman Wak Umar. Di halaman rumah itu sudah terparkir mobil kijang krista warna silver. Rasa takjub aku semakin bertambah ketika pak satpam itu mempersilahkan aku masuk dan duduk di ruang tamu. Sekarang sudah ada meja dan kursi tamu, tidak seperti dahulu ketika aku monok disini hanya beralaskan karpet kumal.

Aku lihat sudah ada beberapa perabotan dan juga televisi ukuran besar plus home theater. Ada foto keluarga ukuran se poster dibingkai bagus, ah..betapa cantiknya istri Wak Umar. Wajahnya mirip Ike Nurjanah yang sedang memakai jilbab. Kedua anaknya laki dan perempuan, terlihat sangat lucu dan cakep. Wak Umar sendiri dalam foto itu terlihat lebih muda dan sumringah.
Tidak lama kemudian, Wak Umar keluar dari dalam kamar menemui aku.

"Assalamu'alaikum...Alhamdulillah," sapa Wak Umar. Kami berangkulan lama sekali, seperti aku mendapatkan pelukan dari almarhum bapakku. Kami berdua tidak terasa menitikkan air mata.

“Apa kabarmu, Mir,” tanya Wak Umar sambil mengusap air matanya.
“Baik Wak. Sekarang aku tinggal di Surabaya. Dapat istri orang Jawa Timur, Wak. Anak kami baru satu, masih berusia lima tahun. Apa kabar dengan Wak Umar sendiri ? “ tanyaku balik.
“Alhamdulillah, seperti yang kau lihat. Kau kerja di Surabaya ? Kerja apa disana ? “
“Iya wak, aku berwiraswasta. Buka toko kecil-kecilan. Wak tahu, Malik sekarang dimana ?”
“Malik tinggal tidak jauh dari sini. Dia sudah menikah empat tahun yang lalu dengan Halimah, gadis desa yang dahulu dipujanya. Ya sebenarnya, uwak sudah kasih tahu kepada dia agar memilih istri itu bukan hanya dilihat dari kecantikan fisiknya saja, tapi rupanya yang namanya cinta sudah membutakannya,” kata wak Umar.
“Maksudnya, wak ? “
“Istrinya judesnya bukan main, meskipun dia cantik. Apalagi istrinya itu kurang kuat dalam menjalankan ajaran agama, meskipun sudah berkali-kali diingatkan oleh suaminya. Malik, itu sudah seperti anak Uwak sendiri, kebahagiaan dia juga kebahagiaan Uwak.

Setelah menikah, Uwak kasih dia lahan di pinggir hutan untuk berkebun meskipun tidak luas. Dia sudah pernah uwak kasih kesempatan untuk mengajarkan ilmu fiqih di pesantren ini, tapi dia menolaknya. Alasannya sudah terlalu banyak merepotkan uwak. Padahal, uwak justru senang jika dia mau ikut membesarkan pesantren ini.

Kalau saja, istrinya pandai mensyukuri nikmat Allah, apa yang dikerjakan Malik itu sebenarnya cukuplah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Cobalah kau tengok sendirilah kesana, kau akan tahu apa yang terjadi sebenarnya.”
Ada banyak pertanyaan dalam benak ini. Bukankah Wak Umar pernah mengajarkan kepadaku kalau pria yang baik akan mendapatkan wanita yang baik pula. Tapi kenapa Wak Umar bilang kalau istri Malik tidak begitu baik ? Apa yang salah pada Malik, sahabatku itu ?
“Mir, apa yang kita inginkan belum tentu sesuai dengan apa yang kita harapkan. Apa yang baik menurut Allah, belum tentu sesuai dengan apa yang baik menurut kita, demikian sebaliknya. Tapi apapun itu yang diberikan Allah, baik atau buruk menurut ukuran kita, Allah Maha Mengetahui dan pastilah untuk kebaikan hambaNya. Demikian juga yang terjadi pada rumah tangga Malik. Kita tidak tahu apa rencana Allah untuk kita,” jelas Wak Umar.
Aku baru tersadar, bahwa Allah selalu bekerja dengan tangan mesteriusnya untuk merubah kehidupan di alam semesta ini. Takdir itu meliputi mati, rejeki dan jodoh. Kalau orang sakit dan tidak berupaya untuk berobat, terus dia mati. Apakah itu bisa dinamakan takdir ?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun