Setelah menunggu selama sembilan bulan akhirnya the bundle of joy tiba. Saatnya untuk perayaan atau selamatan. Namun, malah perasaan sedih atau stres yang dirasakan. Ada apa ini? Apakah sang ibu mengalami sindrom baby blues?
Sindrom baby blues
SiloamHospital.com melansir sindrom baby blues adalah masa di mana ibu hamil pasca melahirkan mengalami perubahan mood, misalnya merasa sedih dan cemas yang berlebihan. Cukup banyak ibu yang pasca melahirkan mengalami baby blues, sekitar 80 persen dilansir Healthline.
Bantuan dari suami, anggota keluarga lain, dan kerabat bagi ibu yang mengalami baby blues sangat berharga. Dan jika situasi sang ibu memburuk kita bahkan harus meminta bantuan tenaga medis profesional.
Namun bagaimana dengan para ibu yang tinggal jauh dari keluarga inti atau kerabat, yang tinggal di kota yang jauh atau malah tinggal di luar negeri. Terpisah dari support system mereka.
Mari kita simak pengalaman Retnovita Kartini. Seorang ibu asal kota Balikpapan yang mengalami sindrom baby blues di Jepang. Apa yang dilakukan ibu muda ini dalam upayanya melewati masa-masa sulit pasca melahirkan.
“Support system adalah kunci untuk melewati masa sulit. Berusaha untuk tetap tenang dan berusaha cari root cause-nya. Semua dibenahi bersama,” kata Retnovita.
Ibu yang biasa dipanggil Vita ini tinggal bersama suami dan anak laki-laki mereka yang sekarang berusia dua tahun di kota Kawasaki.
Gejala dan Penyebab baby blues
Dilansir Kompas.com dalam artikel Mengenal Apa Itu Baby Blues, Gejala, dan Cara Mengatasinya (5 September 2023), baby blues biasanya menyerang ibu beberapa hari pasca melahirkan. Saat ditanya apakah Vita tahu setelah bersalin ia mengalami baby blues, dijawab, “Ya, tahu.” Dan menambahkan, “Tapi, ada juga ibu-ibu yang tidak tahu apakah situasi yang mereka alami itu disebut baby blues.”
Vita melahirkan anaknya di St. Marianna University Hospital di kota Kawasaki pada bulan Januari 2022. Tiga hari pasca bersalin ia harus mengisi Postpartum Depression form dari rumah sakit. Dilanjutkan dengan follow-up kondisi dengan bidan rumah sakit.
Vita mencari tahu sindrom baby blues dan gejalanya secara online. Gejala baby blues dapat muncul dua atau tiga hari pasca bersalin dan setiap orang memiliki gejala yang berbeda. Beberapa di antaranya dilansir Healthline adalah insomnia, menangis berlebihan, atau lekas tersinggung. Lansiran Healthline ini ditanggapi Vita dengan berkomentar, “Gejala saya dulu, saya susah dekat sama bayi.”
Ada ibu yang merasa bersalah karena tidak bisa dekat/tidak ada bonding dengan bayinya. Vita merespons, “Saya merasa bersalah, sih enggak. Yang penting kebutuhan ASI bayi terpenuhi.”
Lebih lanjut dilansir Healthline, baby blues berlangsung tidak lebih dari dua minggu. Setelah lewat dari dua minggu dapat memunculkan depresi postpartum (Postpartum Depression-PPD).
Menanggapi pernyataan di atas Vita memaparkan, “Saya mengalami baby blues lebih dari dua pekan. Secara teori, ya masuk masa PPD. Selama masa PPD sangat susah sekali untuk sayang dengan bayi.
Mungkin terdengar jahat. Tapi itu yang saya rasakan dulu. Tapi saya enggak sampai jadi menyakiti diri sendiri atau menyakiti bayi saya. Dan untungnya saya dan suami sudah cari informasi tentang baby blues dan PPD sebelum melahirkan, jadi pada saat mengalami baby blues tidak terlalu bingung atau kaget lagi.”
Vita melanjutkan. “Saya pikir alasan saya mengalami baby blues dan lanjut ke PPD mungkin saat itu susah untuk menyusui bayi karena puting yang lecet dan karena kurang tidur. Terutama karena kesusahan menyusui ini jadi menjalar ke semua hal yang bikin bad mood.”
Peranan suami sangat penting saat istri mengalami baby blues atau PPD. Vita menyebutkan bahwa suaminya membantu menjaga bayi dan membantu urusan domestik di rumah. “Semua dikerjakan bareng. Suami juga ambil cuti selama tiga minggu dari kantor jadi bisa banyak membantu,“ kata Vita.
“Kerjaan saya setelah melahirkan cuma kasih ASI dan tidur saja sebisa mungkin. Urusan rumah diatur suami.”
Berdiskusi dengan suami atau anggota keluarga lain tentang apa yang dirasa ibu bisa sangat membantu. Selain itu, bercerita kepada teman-teman yang betul-betul mendukung dan memberi support mental juga bisa meringankan perasaan.
Kalau misalnya kita tidak bisa membantu teman kita yang mengalami baby blues, mungkin dengan memberi mereka `space` dan privacy juga bisa menolong.
“Saya cerita ke teman-teman yang lebih dulu punya anak. Cerita kami ada yang mirip; misalnya kurang tidur atau karena puting yang lecet. Tapi ada juga penyebab baby blues/PPD-nya beda, misalnya karena mereka cekcok dengan mertua atau karena tinggal berjauhan dengan suami, dan macam-macam alasan lain.”
Namun Vita juga memberi saran. “Curhat atau diskusi dengan teman sebaiknya pilih-pilih juga. Cuma cerita ke teman-teman yang suportif, yang paham diri kita. Enggak cerita ke orang-orang yang malah bikin kita down.”
Penanganan baby blues/Postpartum Depression (PPD)
Beralih dari gejala dan penyebab baby blues dan PPD, penanganan apa saja yang dilakukan Vita dan suami untuk menanggulangi saat-saat sulit itu. Vita mengatakan bahwa mereka tidak khusus pergi ke rumah sakit untuk mencari bantuan. Ia dan suami merasa cara mengasuh anak berbeda antara di Jepang dan Indonesia.
Karena keduanya tinggal di Jepang, mereka memutuskan untuk berkonsultasi dengan tenaga profesional dari Indonesia secara online. “Kami konsultasi dengan psikolog yang khusus menangani kasus baby blues dan postpartum depression.”
“Alasan konsultasi online dengan psikolog dari Indonesia karena saya dan suami asli Indonesia. Kami pikir cara asuh orang Indonesia dan orang Jepang beda. Jadi pendekatannya akan lebih mengena kalau konsultasi dengan sesama orang Indonesia juga.”
Vita meneruskan dengan memberitahu apa yang disarankan oleh psikolog saat mereka berkonsultasi.
“Terus-terusan ngomong secara verbal ke bayi kalau kita sayang walau hati belum merasa sayang. Tapi nanti lama-lama otak kita akan merekam dan bisa jadi sugesti untuk menjadi sayang.”
“Menurut psikolog itu, sindrom baby blues yang berlanjut ke PPD bisa jadi karena bayi belum bisa kasih respons. Begitu bayi mulai sedikit bisa mengoceh, baru mulai terasa ada interaksi. Kita jadi merasa ada komunikasi dua arah. Dan ini bisa menimbulkan rasa sayang,” beber Vita.
Tambahnya, “Baby blues/PPD ini berkurang jauh setelah bayi mulai besar dan semakin bisa merespons.”
Jepang terkenal banyak memberi bantuan kepada ibu-ibu hamil dan pasca bersalin. Berkaitan hal ini Vita menjawab, “Beberapa hari setelah melahirkan ada pegawai balai kota setempat yang datang ke rumah untuk cek kondisi saya. Tapi karena yang datang staf laki-laki saya agak ragu untuk konsultasi banyak. Jadi hari itu dia cuma beri brosur info saja.”
Setelah mengingat-ingat beberapa saat, Vita berkata, “Ini cerita teman-teman yang tinggal di kota lain di Jepang. Mereka juga didatangi pegawai balai kota. Dan kebetulan waktu itu staf perempuan. Jadi teman-teman saya merasa nyaman untuk konsultasi kondisi mereka.”
Vita melanjutkan. “Saya tidak tahu apakah ini termasuk bantuan. Tapi ada tempat konsultasi waktu susah menyusui dulu. Jadi waktu bayi usia 3 bulan saya konsultasi ke bidan laktasi di dekat rumah. Ternyata menurut bidan, bayi saya ada kondisi tongue-tie; lidahnya susah bergerak. Dan juga kondisi lip tie; gusi dan bibir bagian atas agak menempel. Dua kondisi ini yang bikin bayi susah menyusui.”
Berhubungan dengan perbedaan budaya saat hamil dan pasca bersalin yang mungkin berbeda antara Indonesia dan Jepang, ibu muda ini mengakui ia kurang paham betul karena tidak aktif dalam komunitas masyarakat Jepang. Selain suami juga bukan orang Jepang.
Namun Vita berkata bahwa ia pernah mendengar ada budaya di Jepang di mana para ibu setelah melahirkan tinggal di rumah orang tua sendiri atau rumah mertua selama satu bulan.
Jadi ibu-ibu ini dapat fokus mengurus bayi dan tidak dipusingkan dengan urusan domestik rumah tangga. Mengurus rumah bisa ditangani oleh sang nenek/kakek. Juga nenek bisa membantu menjaga bayi, sehingga ibu dapat banyak beristirahat setelah bersalin.
Di Indonesia Vita berpendapat, kalau ibu pasca melahirkan tinggal bersama dengan orang tua atau mertua ada kemungkinan–tidak semua–malah menimbulkan masalah. Misalnya sang ibu menjadi lebih stres karena ada perbedaan pola asuh dengan nenek/kakek yang berbeda dengan zaman sekarang.
Saran dan masukan
Saat ditanya saran, masukan, atau informasi yang bisa dibagi dari pengalaman dulu untuk mereka yang tinggal berjauhan dari support system mereka, baik yang tinggal di kota yang jauh atau di luar negeri, Vita merespons dengan menyebutkan bahwa salah satu hal yang penting adalah persiapan yang matang.
Vita menyebutkan banyak yang dapat dipelajari sebelum bersalin. Cari informasi tentang baby blues dan postpartum depression. Sekarang informasi mudah didapatkan melalui internet.
“Belajar segala printilan hamil, melahirkan, dan baby blues/postpartum supaya kalau kejadian sudah enggak terlalu kaget. At least sudah paham teorinya, walau nanti situasi real-nya beda, tapi sudah siap mental,” sarannya.
Lebih jauh ia menyampaikan, “Siapkan info kontak darurat. Misalnya; kalau ada masalah dengan ASI, hubungi konselor laktasi. Kalau ada masalah sama urusan domestik rumah, kontak jasa bersih-bersih rumah atau hubungi jasa makanan frozen online.”
Ia juga menyebutkan pentingnya membuat `Me-time`. “Itu sangat penting. Waktu mau jalan ke luar rumah sendirian, saya kasih bayi ke bapaknya. Entah pagi atau malam, yang bapaknya bisa pegang. Walau cuma sekedar jalan kaki sekitar rumah, pergi belanja ke swalayan, atau makan sebentar di kafe.”
“Pokoknya ibu cuma sendiri. Bayi enggak apa-apa, kok enggak minum ASI maksimum 3 jam. Meski cuma 3 jam, tapi ibu benar-benar bisa refresh. Ibu waras sama dengan rumah waras,” tambah Vita tertawa.
Saat ditanya apa yang dapat menjadi support/dorongan bagi ibu-ibu yang sekarang sedang mengalami baby blues/postpartum depression, dijawab, “Kalau ada kata-kata dari orang-orang sekitar yang memang enggak scientifically proven, enggak usah terlalu dimasukkan hati. Kita cari info dari sumber yang credible. Ibu tahu, kok yang terbaik untuk anak-anaknya.”
“Yang baik untuk situasi ibu yang lain belum tentu baik untuk diri kita sendiri, dan vice versa. Trials & errors dari teori-teori yang ada, nanti akan ketemu pola yang pas untuk masing-masing.”
Vita menambahkan bahwa ia sering mencari informasi dari akun Instagram atau situs web. “Ada banyak banget websites membahas tentang baby blues/postpartum depression di internet. Waktu saya dan suami konsultasi via online, kami kontak akun postpartum.id.”
Di penghujung percakapan, ditanya bagaimana kondisi Vita sekarang, ibu ini berseru, “Alhamdulillah, sudah baikan sekarang! Puting lecet sudah hilang. Tidur juga sudah enakan. Bonding dengan anak juga sekarang lebih baik. Alhamdulillah semua bisa terlewati.”
Akhirnya sebelum berpamitan Vita menyampaikan kata-kata penyemangatnya. “Ingat mantra ini: This too shall pass. Walaupun enggak tahu kapan selesainya, tapi percaya kita sudah on progress ke arah yang lebih baik, kok. Enggak perlu tengok progress orang lain. Kita enggak lagi balapan, kok sama mereka. Lawan kita, ya diri sendiri. Fokus ke kita sendiri. Siapa tahu, kita bisa menjadi lebih baik lagi daripada diri kita sebelumnya,” tutur Vita bersemangat.
Kata akhir
Menyambut kedatangan buah hati tercinta ternyata bukan hanya sesuatu yang membahagiakan, namun juga sesuatu yang bisa membuat kita belajar dan tahu akan sisi emosional dan mental ibu baru pasca bersalin.
Semoga pengalaman Retnovita Kartini yang mengalami sindrom baby blues dan postpartum depression saat berada di luar negeri dapat memberi support, informasi, dan semangat bagi yang membutuhkan. Dan juga, dapat menginspirasi kita untuk mempunyai rasa empati dan pengertian.
Terima kasih banyak kepada Retnovita Kartini yang sudah berbagi pengalaman.
***
Referensi: healthline.com/health/baby-blues | healthline.com/health/depression | siloamhospitals.com | siloamhospitals.com/apa-itu-tongue-tie | kompas.com | Foto: Retnovita Kartini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H