"Menyusulnya? Siapa?" Kanaya makin erat memeluk lengan Anggi takut mendapat tugas itu.
"Aku setuju denganmu. Seseorang harus menyusulnya, dan aku pikir sebaiknya aku yang pergi." Lukman menawarkan diri. Prita menarik lengannya sambil menggeleng.
"Terima kasih atas pengertiannya. Tapi, menurut saya Bapak lebih dibutuhkan di sini. Pak Her bersedia menyusul Fred?"
"Tentu. Saya yang akan menyusulnya."
Aku membongkar isi tas Fred untuk meminjam barang-barang yang sekiranya berguna. Aku membekali Pak Her dengan pisau yang bisa digunakan sebagai perlindungan diri dan terutama untuk menandai batang pohon yang dilewati Pak Her agar tak tersesat.
"Tolong berhati-hati. Segera hubungi nomer saya kalau terjadi sesuatu." Pesanku sebelum Pak Her bergegas pergi.
18.00
Aku meminta para wisatawan mengikuti intruksiku. Masuk ke dalam mobil dan mematikan jaringan internet untuk menghemat daya baterai. Hanya satu senter handphone yang dinyalakan sebagai penerangan secara bergantian. Membuka setengah jendela mobil sebagai sirkulasi udara dan menyelimuti diri dengan jaket atau apapun yang bisa menghangatkan diri. Membagi dua box nasi, satu untuk keluarga Pak Lukman, satu untuk Anggi dan Kanaya. Mengecualikan Fred yang siaga dengan bekal makanan dalam tas yang kubongkar tadi.
Aku berjaga di luar mobil ditemani Pak Lukman. Ayah dari Kevin itu bercerita panjang lebar tentang pekerjaan yang merembet ke politik.
18.10
Sorot lampu yang muncul dari kejauhan mengakhiri kisah panjang Pak Lukman. Aku bernapas lega saat melihat sosok yang mendekat itu penjaga pondok. Belum sempat turun dari motor untuk menjelaskan keterlambatannya, aku langsung memintanya pergi. Setelah menjelaskan permasalahan pada mobil aku memintanya mencari bantuan ke pemukiman warga terdekat.Â