17.45
Suara peluit yang terdengar menggetarkan lapisan keberanian yang kubangun dalam rombongan.
"Apa itu Fred?" Lukman menerka, "mungkinkah sesuatu yang buruk terjadi padanya?"
"Bagaimana kalau bukan Fred? Tapi orang lain, perampok misalnya? Dia memberi tanda pada rekannya kalau di sini ada mangsa." Kanaya menanggapi.
Aku yakin itu tidak seperti yang ditakutkan Kanaya.
Aku melihat sekeliling. Kegelapan semakin larut dan ketakutan menggelayuti para perempuan. Pak Her, dengan wajah bersalahnya masih berkutat dengan mesin. Kanaya memeluk lengan Anggi tanpa mengalihkan kesiagaan dari sekitar. Anggi, yang tak kalah cemas dan terganggu masih sempat menikmati pertunjukan yang terekam dalam kameranya. Prita memeluk Kevin sementara suaminya berusaha menenangkan keduanya.
Aku harus tenang dalam keadaan ini.
Matahari akan menarik selimut malam sekitar setengah jam lagi. Temanku akan sampai sekitar dua jam dan penjaga pondok seharusnya sudah sampai jika ia berangkat tepat saat mobil kami mogok tadi.
"Tolong perhatian semua," aku mulai bicara, "situasi ini diluar keinginan kami, untuk itu saya mohon maaf atas situasi yang terjadi ini. Tapi saya mohon kerja sama kalian agar kita bisa melewati situasi ini dan segera pulang dengan selamat."
Mereka menyimak.
"Saya harap kita semua bisa tenang dan mengurangi kepanikan sementara menunggu bantuan datang. Saat ini, teman saya dari kota sudah dalam perjalanan. Begitu juga dengan penjaga pondok. Dan peluit tadi, saya rasa itu Fred. Â Tidak mungkin perampok di hutan menggunakan suara peluit yang menonjol untuk memberi kode pada rekannya. Sesuatu terjadi pada Fred dan dia memberi tanda membutuhkan bantuan. Jadi, seseorang harus pergi menyusulnya."
"Menyusulnya? Siapa?" Kanaya makin erat memeluk lengan Anggi takut mendapat tugas itu.
"Aku setuju denganmu. Seseorang harus menyusulnya, dan aku pikir sebaiknya aku yang pergi." Lukman menawarkan diri. Prita menarik lengannya sambil menggeleng.
"Terima kasih atas pengertiannya. Tapi, menurut saya Bapak lebih dibutuhkan di sini. Pak Her bersedia menyusul Fred?"
"Tentu. Saya yang akan menyusulnya."
Aku membongkar isi tas Fred untuk meminjam barang-barang yang sekiranya berguna. Aku membekali Pak Her dengan pisau yang bisa digunakan sebagai perlindungan diri dan terutama untuk menandai batang pohon yang dilewati Pak Her agar tak tersesat.
"Tolong berhati-hati. Segera hubungi nomer saya kalau terjadi sesuatu." Pesanku sebelum Pak Her bergegas pergi.
18.00
Aku meminta para wisatawan mengikuti intruksiku. Masuk ke dalam mobil dan mematikan jaringan internet untuk menghemat daya baterai. Hanya satu senter handphone yang dinyalakan sebagai penerangan secara bergantian. Membuka setengah jendela mobil sebagai sirkulasi udara dan menyelimuti diri dengan jaket atau apapun yang bisa menghangatkan diri. Membagi dua box nasi, satu untuk keluarga Pak Lukman, satu untuk Anggi dan Kanaya. Mengecualikan Fred yang siaga dengan bekal makanan dalam tas yang kubongkar tadi.
Aku berjaga di luar mobil ditemani Pak Lukman. Ayah dari Kevin itu bercerita panjang lebar tentang pekerjaan yang merembet ke politik.
18.10
Sorot lampu yang muncul dari kejauhan mengakhiri kisah panjang Pak Lukman. Aku bernapas lega saat melihat sosok yang mendekat itu penjaga pondok. Belum sempat turun dari motor untuk menjelaskan keterlambatannya, aku langsung memintanya pergi. Setelah menjelaskan permasalahan pada mobil aku memintanya mencari bantuan ke pemukiman warga terdekat.Â
Teknisi mobil, montir, atau siapapun dan apapun yang bisa menyelesaikan masalah air radiator yang bocor. Aku pun memintanya untuk mencarikan makanan seadanya. Penjaga pondok pun segera melajukan motornya setelah menerima beberapa lembar uang kertas dariku. Butuh waktu dua puluh tiga menit untuk mencapai desa terdekat. Itu artinya sekitar satu jam untuk menunggu penjaga pondok kembali dengan solusi masalah mobil.
18.15.
Pak Her belum kembali bahkan setelah 25 menit.
"Sopirnya belum kembali?" tanya Anggi. "Sudah pasti terjadi sesuatu pada mereka."
"Seseorang harus mencari mereka." Lukman memutuskan. "Aku akan menyusul mereka."
"Jangan!!!" Serempak istrinya dan Kanaya melarang.
"Dalam film-film, satu persatu orang berpencar dan menghilang tak pernah kembali. Entah dimakan anaconda, diburu hantu atau tertangkap perampok."
Kumaklumi ucapan Kanaya, mengingat kondisi yang diluar keinginan ini bisa menghilangkan akal sehat setiap orang.
"Sebaiknya bapak tetap di sini dan menenangkan Kevin. Saya yakin Pak Her baik-baik saja. Â Dia akan menghubungi saya jika terjadi sesuatu yang buruk."
"Gimana kalau terjadi sesuatu yang buruk jadi dia tidak punya waktu untuk menghubungimu." Anggi bertanya.
"Sebaiknya kita tidak menerka sesuatu yang buruk. Keadaan tidak akan membaik dengan..."
"Itu mereka." Pak Lukman mengejutkanku.
Pak Her muncul dari kegelapan hutan dengan sorot senternya. Ia memapah Fred di sampingnya. Aku dan Pak Lukman segera menjemput menyadari yang terjadi. Pak Lukman meraih lengan Fred dan merangkulkannya di bahu. Aku mengambil alih senter untuk menerangi jalan.
18.30
Fred duduk di kursi depan dengan pintu mobil yang dibiarkan terbuka. Kakinya terkilir membuatnya tak bisa berjalan. Itu sebabnya ia meniup peluit meminta bantuan. Aku mengoleskan salep pereda nyeri otot dari bekal obat yang dibawa Fred. Selesai mengoleskan obat, aku menghampiri Pak Her yang memeriksa mesin.
"Ini bukan kesalahaan Bapak, jadi jangan menyalahkan diri sendiri. Penjaga pondok sudah berangkat ke desa untuk meminta bantuan. Sebentar lagi dia kembali dan masalah akan selesai."
"Tapi ini bisa mempengaruhi citra agensi. Keluhan mereka tentang yang terjadi hari ini..."
"Saya tahu bapak khawatir mereka akan menyalahkan bapak karena mobil ini."
Aku membaca ketakutan Pak Her. Ia memiliki anak yang masih butuh biaya sekolah sementara istri yang meninggalkannya juga meminta nafkah. Hanya dari mobil tua ini Pak Her mendapat penghasilan. Jika pekerjaannya lepas, anaknya terlantar, istrinya akan membawa anaknya pergi.
"Bapak tidak akan kehilangan pekerjaan Bapak. Saya tidak akan memecat orang-orang kepercayaan saya. Bapak kan tahu sudah beberapa kali kita mengalami hal seperti ini dalam perjalanan. Toh, saya tidak mempermasalahkan itu selama ini."
"Tetap saja, turis kita bisa berkurang,"
"Kalau begitu, kita bisa membeli mobil baru." Hal yang memang sudah kurencanakan. "Tanpa mengganti sopirnya."
19.00
Aku, Pak Lukman, dan Pak Her bergantian keluar masuk mobil berjaga. Saat Pak Her berjaga diluar aku kembali meminta maaf atas kejadian hari ini. Aku meminta mereka berbesar hati memaafkan dan tidak memberi testimoni buruk pada agensi.
Pak Lukman mengaku tak akan mempermasalahkan hal itu. Bu Prita yang jelas kesal tak akan membantah saat suaminya sudah memutuskan. Diluar dugaan Anggi mengungkapkan pengalaman ini cukup seru dan menarik.Â
Tentu saja, karena ia berniat memasukkan pengalaman ini dalam semua akun media sosialnya. Kanaya yang sepanjang waktu ketakutan mengatakan hal yang sama. Sedangkan Fred, ia sudah terbiasa dengan resiko perjalanan. Syukurlah.
Aku mengundang Pak Her masuk mobil dan bergabung. Kebetulan aku membawa kartu remi yang sering kumainkan jika bosan. Di dalam mobil kami bermain kartu dengan cahaya remang-remang. Suasana mencair dan mobil berubah seperti sebuah perkemahan.
19.10
Penjaga pondok kembali bersama dua montir yang mengendarai motornya sendiri. Kami bersorak seolah melupakan ketegangan yang beberapa waktu lalu kami alami. Aku pun membagikan minuman dan makanan ringan yang dibawa penjaga pondok.
19.30
Mobil berhasil diperbaiki. Penjaga pondok dan kedua montir kembali setelah aku berterima kasih dan membayar. Kami pun melanjutkan perjalanan meninggalkan hutan. Aku menghubungi temanku untuk bertemu di suatu SPBU. Kami pun bertemu di tempat yang dijanjikan. Setelah berpamitan pada para wisatawan, aku berpindah ke mobil temanku.Â
Aku akan membawa Fred ke klinik atau rumah sakit terdekat lebih dulu untuk memeriksakan kakinya. Sementara Pak Her akan membawa wisatawan lain langsung ke penginapan.
Aku pun berencana memberikan voucher wisata pada para wisatawan hari ini. Sebagai bentuk terima kasih atas kelapangan mereka memaafkan kejadian hari ini.
"Tidak kembali ke dalam hutan, menunggu montir, dan tetap memintaku datang. Kuakui solusimu unik, kamu memang generasi solutif." Komentar temanku mendengar kisahku di sepanjang jalan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H