Mohon tunggu...
Maya Andita
Maya Andita Mohon Tunggu... Penulis - freelance writer

Bertempat tinggal di antara Karawang-Bekasi. Lahir di sebuah kota di penghujung pulau Sumatra pada tahun dimana Shawsank Redemption pertamakali diputar di bioskop. Cucu petani kopi yang gemar menyeduh kopi robusta tanpa gula.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tentang Tembok yang Selalu Goyah

21 September 2024   22:59 Diperbarui: 27 September 2024   13:12 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat ini sudah jam tujuh malam. Satu jam lagi sebelum perpustakaan ini tutup dan semua orang harus segera pergi. Dewi terus mematuk-matukan jari telunjuknya yang mungil ke jam digital di tangan kirinya. Ia sedang menunggu seseorang.

Ditatapnya beberapa kali lorong koridor yang kosong dengan gelisah. Kakinya gemetar, ia menggenggam tangannya yang tremor dengan kuat. Berharap tidak ada orang yang menyadari betapa gugupnya ia saat itu.

Udara dingin dari luar jendela membuat uap air mengembun di dekatnya. Orang-orang di jalanan terlihat menghindar dari hujan gerimis yang mulai rapat. Sebentar lagi jadwal keretanya juga akan segera berangkat, tapi ia enggan beranjak karena sedang menunggu seseorang.

"Kemana pria itu? Apa ia tidak jadi datang?" gerutunya. Dewi melihat ke jam dinding sekali lagi saat seseorang mengenakan kaos ungu bertuliskan "Aksara Diana" mendekat. Sebuah komunitas menulis dongeng anak yang tadi sore menjadi event organizer di peluncuran novel terbarunya.

"Maaf mba, acara sepertinya sudah selesai. Apa mbak mau langsung kami antar ke stasiun atau masih menunggu teman?" ucap panitia itu ramah.

"Oh, enggak usah dianter. Saya masih mau nunggu temen," jawab Dewi.

"Baik, mbak. Oh iya, kebetulan mbak masih disini, mbak bersedia gak kalau ada yang mau minta tanda tangan buku mbak sekali lagi? Tadi dia bilang ke saya, dia kenal sama mbak Dewi."

"Kenal sama saya?" kening Dewi berkerut.

"Iya, mbak. Katanya dia teman mbak Dewi waktu kuliah."

Dada Dewi langsung bergemuruh. Firasatnya mengatakan itu pasti Tio. Seseorang yang memang sudah dia tunggu dari tadi.

"Oh, iya gak apa-apa. Suruh aja masuk. Kebetulan saya belum mau pulang," ucap Dewi ramah. Panitia tersebut lalu berlalu dan mempersilahkan seseorang untuk masuk.

Dewi nampak gugup. Sudah dua tahun lamanya dia tidak berjumpa dengan pria itu. Ia tidak tahu bagaimana penampakan wajahnya sekarang. Apa ia masih mempertahankan rambut ikalnya yang berantakan itu?

Seingat Dewi, Tio memiliki rambut ikal yang ikonik. Mirip tokoh Rangga di film AADC. Ia juga sangat menyukai puisi dan buku sastra. Dia pria yang ceria namun sangat serius ketika sedang membaca. Kemana-mana selalu ada saja buku saku yang diselipkan di tas punggungnya.

Dia adalah anggota perpus paling setia saat kuliah dulu. Jika ada penghargaannya, maka dia yang akan memegang predikat sebagai mahasiswa yang paling banyak meminjam buku dalam satu tahun.

Pria itu bernama lengkap Ananda Tio Putra Abdurahman. Nama yang cukup panjang untuk ditulis di kertas ujian. Usianya saat ini sekitar 28 tahun, lebih tua dua tahun dari umur Dewi. Bertubuh tinggi, beralis tebal dan suka memakai earphone di telinga kirinya.

Mereka pernah satu jurusan saat kuliah dulu. Namun semenjak lulus mereka sudah jarang bertemu dan semakin asing karena jarak.

Dewi memutuskan untuk kembali ke Bandung setelah lulus dan menjadi penulis buku anak. Sedangkan Tio masih menetap di Jakarta dan bekerja sebagai design grafis. Dua bidang yang berbeda namun kadang juga beririsan.

Dua tahun lalu mereka pernah bekerja bersama dalam menggarap dongeng anak-anak untuk pra-sekolah. Kedekatan mereka membangun sebuah koneksi yang serasi namun terlalu beresiko untuk disebut romantis.

Tio yang ekstrovert berbanding terbalik dengan Dewi yang serba tertutup. Jika Tio bisa dengan mudah cocok dengan siapa pun, maka Dewi bersifat sebaliknya. Dia hanya akan membuka diri dengan orang yang benar-benar membuatnya nyaman. Tapi masalahnya, Tio adalah orang yang bisa membuat semua orang merasa nyaman.

Awalnya itu tidak menjadi masalah, namun kemudian menjadi bumerang ketika ada hati kecil yang membubuhkan harapan. Tentu saja Dewi menginginkan lebih. Lebih dari sekedar perhatian yang diberikan Tio kepada orang-orang. Lebih dari sekedar status "kolega kerja" yang mereka sanding kemana-mana.

Gadis itu menginginkan lebih, tapi pria itu tak jelas apa keinginannya. Ia seolah ingin terus-menerus memberi pupuk pada hati yang kian berharap untuk tumbuh di tanah yang longsor.

Dewi pun jengah. Ia lalu pergi dan memutuskan untuk membangun benteng yang lebih tinggi dari sebelumnya. Menjauh sejauh mungkin sampai tidak dapat lagi dapat dideteksi. Tapi tiga kata yang dikirim oleh Tio dua hari lalu membuat benteng itu menjadi goyah. "Aku akan datang." Tulis pria itu di halaman email milik Dewi.

Entah darimana pria itu menemukan alamat email itu. Entah darimana pula pria itu tahu bahwa ia akan datang ke Jakarta hari ini. Tapi yang jelas, tiga kata itu telah merusak segalanya. Membuat harapan itu kembali muncul hari ini.

Dengan denyut nadi yang tak terarah, gadis berambut bergelombang tersebut menunggu dengan harap-harap cemas. Bagaimana jika pria itu datang untuk menghancurkan hatinya lebih parah dari sebelumnya? Bagaimana jika selama ini hanya dia saja yang menunggu? Bisa jadi pria itu datang dengan gadis lain atau mungkin mereka malah sudah menikah?

Tidak ada pria dewasa yang tahan sendirian selama itu. Oh hati, tolong berhenti untuk berharap. Ucap Dewi dalam hati. Melafalkannya bagai mantra. Bersiap untuk kemungkinan terburuk.

Pria itu semakin mendekat. Namun, sang gadis seolah tidak mampu menunggu lebih lama lagi untuk duduk nyaman di kursinya. Pikirannya makin kacau, kalut dan entah apa pula namanya yang pasti ia sedang benar-benar gelisah.

Pikirannya menerawang selama sepersekian detik ke lima atau enam tahun yang lalu. Saat pertamakali bertemu pria itu di perpustakaan kampus. Meski selalu terlihat ramai dan ceria, Tio merupakan orang sangat serius di dalam. Dia bisa menghabiskan waktu berjam-jam di perpustakaan tanpa sekalipun beranjak.

Pertemuan pertama sampai ketiga, terjadi di lorong penuh buku di salah-satu sudut perpustakaan yang sepi. Itu adalah cinta pada pandangan pertama. Dewi selalu memperhatikan judul-judul buku yang Tio baca. Kemudian langsung membacanya ketika pria itu sudah selesai.

Semua orang tahu apa yang dilakukan oleh Dewi. Terutama penjaga perpustakaan. Ia tak lagi heran jika ada gadis yang langsung mengantre untuk membaca buku yang sudah dibaca oleh Tio. Itu bukan lagi rahasia karena semua gadis kutu buku yang lainnya juga melakukan itu.

Di kampus, Tio adalah favorit semua orang. Ia bahkan menjadi favorit para petugas di kampus. Mulai dari satpam, penjaga taman sampai ibu kantin. Tidak ada orang yang tidak mengenal siapa itu Ananda Tio Putra Abdurahman.

Pada siaran sorenya di klub radio, Tio selalu menjadi penyiar idola. Ratting siarannya selalu tinggi dan banyak iklan yang masuk meski hanya radio kampus. Orang-orang selalu bertanya siapa gadis yang beruntung yang bisa bersanding dengannya? Dari sekian banyak tidak adakah yang spesial?

Jawabannya tentu saja ada. Tapi otak Dewi menolak untuk mengingat karena itu hanya dapat membuatnya cemburu. Mencumburui seseorang yang bukan milikmu adalah pekerjaan yang menyebalkan.

Aghhh! Dewi mencoba menghalau isi kepalanya sekali lagi. Ia benar-benar harus meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia tidak boleh terlalu berharap kali ini. Ini bukan pertamakalinya Tio memberikannya perhatian. Bukan pertamakalinya pula pria itu datang ke acara peluncuran sebuah novel. 

"Pria itu hanya bersikap friendly, dia tidak benar-benar datang hanya untukmu," Dewi sedikit bergumam. Mencoba untuk menjinakan hati kecilnya sekali lagi.

Dan saat pria itu sudah berada tepat di depannya. Dewi pun tak berkutik. Ia mematung penuh kewaspadaan sampai akhirnya pria itu mengulurkan tangan sambil menyapa.

"Hai, apa kabar?" ucapnya ramah dengan senyum sehangat pelukan. Membuat Dewi kesulitan bernafas setidaknya selama tiga detik. Ia mencoba untuk bertahan. Mencoba untuk bersikap senormal mungkin tapi semua percuma. Tembok itu sudah benar-benar runtuh sekarang. Ia menginginkan yang lebih besar dari sebelumnya.

***

tentang penulis: Bertempat tinggal di antara Karawang-Bekasi. Hobi bercerita tentang kehidupan orang lain yang tak pernah ia temui di kehidupan nyata. Lahir di sebuah kota di penghujung pulau Sumatra pada tahun dimana Shawsank Redemption pertamakali diputar di bioskop. Cucu petani kopi yang gemar menyeduh kopi robusta tanpa gula.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun