Namun ada juga yang mengatakan kalau satu bata dengan bata lain direkatkan dengan semen purba yang berasal dari getah tumbuhan merambat. Belum begitu jelas apa nama tumbuhan itu.
Kalau konstruksi bangunan bendung (bendungan) atau waduk masa kini begitu kokohnya karena susunan batu bata satu dengan batu bata lainnya  direkatkan dengan semen atau langsung dicor dengan adonan berupa campuran pasir, koral dan semen dengan perbandingan tertentu namun masih bisa ngrembes (bocor halus) atau bahkan ambrol diterjang air.
Maka berbeda dengan Kolam Segaran yang terdapat di Trowulan, Mojokerto-Jawa Timur itu. Tanpa perekat dari semenpun konstruksi kolam tetap kokoh dan bertahan hingga sekarang padahal usianya sudah lebih dari 700 tahun.
Hebatnya lagi meski tanpa bahan perekat, air yang ada di dalam kolam tidak ngrembes keluar sehingga pada saat musim hujan atau kemarau panjang sekalipun volume air relatif tidak berkurang.
Masalah banjir di DKI Jakarta dan berbagai pelosok tanah air memang sangat pelik dan krusial. Kalau masyarakat dulu berhasil mengelola banjir dengan menggunakan teknologi hidrologi ala Majapahit, kitapun sebagai masyarakat yang sudah modern pastinya harus lebih piawai lagi dalam mengelola banjir. Tak ada salahnya kita belajar dari kearifan teknologi Kolam Segaran Majapahit.
Selain berfungsi sebagai objek penelitian arkeologi dan tujuan  wisata sejarah, para pengunjung bisa memanfaatkan Kolam Segaran sebagai tempat memancing ikan.
Kolam Segaran juga berfungsi sebagai penampung air hujan. Air yang terkumpul di kolam kemudian dimanfaatkan untuk irigasi bagi areal persawahan di sekitarnya.
Waduk atau bendungan yang dibangun sebagai pengendali banjir di Jakarta diharapkan juga akan memberikan manfaat lain seperti sebagai sarana rekreasi, sarana irigasi areal pertanian di sekitarnya atau sebagai tujuan wisata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H