Lalu, Pandita Guru melafalkan sebuah mantra. Suaranya terdengar lembut dengan nada yang begitu lirih. Sepertinya Pandita sedang membaca mantra yang terukir pada batu ini, pikir Uguh. Sebanyak tiga kali, Pandita Guru melafalkan mantra itu. Tak lama ia berhenti lalu mengubah posisi silanya menjadi duduk bersimpuh. Kedua matanya tertutup sedangkan tangannya terlihat bersedekap di depan dada. Sekitar sepuluh menit lamanya, Pandita bersikap seperti itu. Dan selama itu pula, Uguh tak melihat Pandita menarik nafas sekalipun.
      Sesaat kemudian, terlihat Pandita Guru menghela nafasnya sambil membuka mata. "Haahhhh..."
      Uguh menyaksikan uap lembut yang menyembur melalui celah hidung Pandita, terpantul oleh pelita. Hening. Suasana syahdu terasa menjerat vihara di malam ini. Sebenarnya, kerap kali Uguh menikmati perasaan syahdu itu dengan suka cita. Tapi rasanya, malam ini semua terasa janggal. Ada kegamangan yang sulit ia jabarkan. Debar di dadanya yang tak berhenti bertalu semenjak tadi, semakin terdengar menderu. Keringat dingin membanjiri sekujur tubuhnya, meski dingin malam terasa kian membeku.
      "Sekarang saatnya tugas mulia, aku sandangkan kepadamu, anak muda!"
      Pandita Guru berkata pelan. Kepalanya yang semula menunduk, perlahan mendongak lalu menatap lembut ke arah Uguh.
      "Sudah cukup rasanya aku mengajarimu berbagai ilmu. Engkau adalah seorang anak muda yang cekatan. Budi pekertimu baik. Dalam segala hal engkau rajin dan pandai. Selama ini belum pernah engkau mengecewakan. Segala pekerjaanmu boleh dikatakan selalu menyenangkan. Oleh karena itu, peliharakanlah namamu yang baik selama ini. Bekalmu untuk menjaga negeri ini, aku rasa sudah cukup memadai..."
      Uguh terpekur mendengar rangkaian kata yang terucap dari bibir Paduka Guru. Ia merasa, ucapan Paduka Guru terlampau menyanjungnya. Ada beban teramat berat yang kini harus ia sandang. Sudah mampukah ia berlaga di medan tandang, melawan angkara murka yang sewenang-wenang? Usianya belum genap 19 di tahun ini. Masih banyak hal yang Uguh rasa belum ia kuasai dengan benar.
      "Hilangkan bimbang di hatimu, nak!" ucap Paduka Guru kemudian. Jemari uzurnya, pelan menepuk bahu Uguh.
      "Jiwa ksatria tidak terlahir dari berapa lamanya hidup seorang manusia. Jiwa ksatria terbentuk karena tempaan, halang dan rintang yang kerap hadir dalam kehidupan. Jiwa ksatria tak akan tenggelam meski selama hidup ia harus rela menjadi akar. Coba engkau perhatikan! Akar pohon tak pernah mengeluh meski ia terbenam sepanjang hari di dalam tanah. Ia rela berbagi dengan ranting, batang dan daun. Akar pohon tak pernah mati meski ranting, batang dan daun di tebang satu-satu. Saat hujan kembali menyapa, akar akan kembali menggeliat, menumbuhkan batang baru yang terus bertumbuh. Begitulah harusnya seorang manusia yang berjiwa ksatria. Tak harus terlahir dari rahim seorang ratu, para ksatria bisa tumbuh dari sudut-sudut kampung, dari atas gunung bahkan dari dalamnya palung"
      "Di saat kesewenang-wenangan yang diciptakan oleh Ki Midang dan komplotannya sudah meresahkan negeri, aku rasa ini saatnya jiwa ksatria yang terbenam dalam ragamu, mulai ditunjukan. Pergilah anak muda! Ajak kedua adikmu untuk sama-sama berjuang. Negeri dan rakyat Kademangan menaruh harap begitu besar kepadamu..."Â
      Panjang lebar, kembali Paduka Guru bertutur. Setiap nasihat yang ia ucapkan, tepat mengena dalam sanubari Uguh. Sulit rasanya bagi Uguh untuk mengelak.