Bapak tak menyahut. Tangannya tetap sibuk mengikat tali sepatu karet. Ujung sepatu itu sudah bolong. Mengambil jaket usang lalu beranjak mendekati ibu yang tengah menyiapkan rantang bekal buat bapak.
      "Aku pamit, Bu!"
      Bapak berkata. Menyalakan motor bututnya dan tak lama suara bising motor itu, beranjak meninggalkan teras rumah.
      "Jangan lupa ambil kain ke rumahnya Bu Parman, Pak!" ibu berteriak, meski rasanya tak mungkin bapak dengar.
      "Almaaa...Almaa!" sekarang ibu berteriak memanggil Alma. Sebenarnya gadis itu sudah bangun dari tadi.
      "Almaa...!"
      Sekali lagi ibu berteriak. Kali ini disusul dengan suara langkah kaki yang mendekat ke arah kamar. Sebelum ibu sampai, Alma bergegas menanggalkan selimut usangnya. Berjalan terseok menuju jendela. Menyibak gordennya dan membiarkan aliran udara menyelusup melalui celah nako yang terbuka. Semilir angin dari lereng gunung Cikuray, terasa sejuk memenuhi rongga hidungnya.
      "Almaa...kalau sudah bangun teh, coba langsung keluar kamar. Anak gadis, bangun tidur bukannya keluar, malah nge-dekem terus di kamar. Ibu dari subuh sudah sibuk, eh kamu masih anteng nge-ringkuk."
      Tahu-tahu, suara ibu sudah memenuhi ruangan kamarnya. Alma menoleh.
      "Maaf, Bu." Alma menjawab setengah bergumam. Tak lama, tangannya sibuk melipat selimut dan meletakannya di ujung ranjang.
      "Biasakan selepas bangun tidur, bereskan kasur dan ranjangnya, biar rezekinya gak diambil orang!" ibu mengulang nasehat yang sama. Setiap hari selalu begitu. Sampai Alma hapal di luar kepala. Bahkan cara ibu membangunkannya pun dia hapal secara berurut.