Gadis itu masih berdiri di sana. Mematung di kerumunan orang yang lalu lalang. Semakin malam suasana kota semakin meriah. Hiruk pikuk dengan gemerlap lampu dan aneka musik, ramai seolah bersaing tak mau kalah. Layar LED raksasa yang menempel di tembok gedung Times Square, baru saja selesai menayangkan slide video band rock metal yang beranggotakan tiga perempuan muda, asal Garut, Indonesia. Ketiganya berbalut outfit serba hitam dengan sentuhan motif batik garutan yang tercetak pada jaket kulit termasuk sepatu boot yang mereka kenakan.
      Penuh debar, gadis itu menatap lekat ke arah layar, berusaha terus memastikan video yang ditayangkan dapat tersaji tanpa cela. Ketiga gadis dalam video, bernyanyi sangat aktraktif. Vokalis dan pemain bassnya bergerak kesana kemari dengan leluasa. Begitupun dengan drummer di belakang. Meski tertutup rangkaian drum dan simbal, tangannya terlihat bebas menggebuk drum dengan semangat.
      Ada sorot bangga, haru sekaligus cemas di balik netra gadis yang berdiri mematung itu. Dengan seksama dia terus memperhatikan satu persatu detail baju yang dikenakan oleh masing-masing personil band. Jaket kulit berwarna gelap, seragam membungkus ketiganya. Yang membedakan hanyalah model jaket dan bawahan yang mereka kenakan. Sang vokalis memakai jaket model fancing dengan zipper depan yang menyambung di dada sebelah kiri. Bagian lehernya dibuat turtle neck. Model jaket ini sengaja dibuat khusus untuk sang vokalis karena lebih simple dibanding jaket kedua pemain lainnya. Untuk bawahannya, dia mengenakan celana kulit sintetis model slim fit, berwarna senada dengan jaket. Motif batik garutan dengan warna mencolok dicetak vertikal di bagian lengan sebelah kiri, menyambung ke bagian dada dan punggung. Sebagai aksesori, kain chiffon ringan berwarna gelap, dijahit menjuntai pada bagian bahu. Sedangkan sang bassis, mengenakan setelan jaket model duster yang memanjang hingga ke tepi lutut. Di bagian pinggang, terpasang belt sebagai aksesori. Lagi-lagi motif batik garutan terlihat elegan menghiasi bagian tangan, dada dan punggung sebelah kiri. Untuk bawahannya, sang basis mengenakna rok kulit dengan 2 zipper saling melintang pada bagian pinggang sampai pangkal betis.  Berbeda dengan kedua personil yang berdiri di depan, outfit atasan sang drummer dibuat lebih mencolok. Meski posisinya ada di bagian belakang, penampilan sang drummer tetap harus menjadi centre of focus, sama seperti kedua temannya di depan. Secara keselurahan penampilan ketiga gadis dalam tayangan LED di malam itu, nampak begitu memukau.
      Para pejalan kaki yang sejak sore sudah memadati persimpangan 7th Avenue, semakin bertambah ramai. Terlebih saat lampu neon mulai menyala. Lampu-lampu itu menghiasi rangkaian papan iklan yang terpasang di tembok-tembok gedung dan pertokoan yang berderet di sepanjang distrik yang ada di wilayah Manhattan. Di beberapa sudut, terpasang TV LED berukuran besar. Semuanya menayangkan slide video musik dan iklan. Tapi dari keseluruhan hingar bingar malam itu, yang banyak menyedot perhatian pengunjung tentu saja sebuah video yang ditayangkan dalam LED raksasa di gedung Times Square.
      Tak lama video pun selesai. Semua yang ada di sekitar Times Square, serentak bertepuk tangan. Gadis itu berdiri di antara sorak sorai, dengan mata berkaca-kaca.
      "Congratulations Alma! You did it!"
      Bahu gadis itu ditepuk seseorang dengan lembut. Kepalanya menoleh dan tersenyum lebar.
      "Thank you...thank you," suaranya bergetar, haru.
***
      Pagi-pagi sekali, ibu sudah ribut di ruang tengah. Banyak sekali yang ibu katakan, seperti biasanya.
      "Ingat Pak, pulang dari pabrik langsung ke rumahnya Bu Parman. Ambil kain yang katanya mau dijahit."
      Bapak tak menyahut. Tangannya tetap sibuk mengikat tali sepatu karet. Ujung sepatu itu sudah bolong. Mengambil jaket usang lalu beranjak mendekati ibu yang tengah menyiapkan rantang bekal buat bapak.
      "Aku pamit, Bu!"
      Bapak berkata. Menyalakan motor bututnya dan tak lama suara bising motor itu, beranjak meninggalkan teras rumah.
      "Jangan lupa ambil kain ke rumahnya Bu Parman, Pak!" ibu berteriak, meski rasanya tak mungkin bapak dengar.
      "Almaaa...Almaa!" sekarang ibu berteriak memanggil Alma. Sebenarnya gadis itu sudah bangun dari tadi.
      "Almaa...!"
      Sekali lagi ibu berteriak. Kali ini disusul dengan suara langkah kaki yang mendekat ke arah kamar. Sebelum ibu sampai, Alma bergegas menanggalkan selimut usangnya. Berjalan terseok menuju jendela. Menyibak gordennya dan membiarkan aliran udara menyelusup melalui celah nako yang terbuka. Semilir angin dari lereng gunung Cikuray, terasa sejuk memenuhi rongga hidungnya.
      "Almaa...kalau sudah bangun teh, coba langsung keluar kamar. Anak gadis, bangun tidur bukannya keluar, malah nge-dekem terus di kamar. Ibu dari subuh sudah sibuk, eh kamu masih anteng nge-ringkuk."
      Tahu-tahu, suara ibu sudah memenuhi ruangan kamarnya. Alma menoleh.
      "Maaf, Bu." Alma menjawab setengah bergumam. Tak lama, tangannya sibuk melipat selimut dan meletakannya di ujung ranjang.
      "Biasakan selepas bangun tidur, bereskan kasur dan ranjangnya, biar rezekinya gak diambil orang!" ibu mengulang nasehat yang sama. Setiap hari selalu begitu. Sampai Alma hapal di luar kepala. Bahkan cara ibu membangunkannya pun dia hapal secara berurut.
      Sebenarnya dia sama sekali tidak bosan. Justru Alma selalu menantikan momen itu setiap pagi. Alma tersenyum mengingatnya.
      "Hari ini, ibu akan sibuk sekali. Pulang sekolah, kamu mampir ke rumah Teh Sari ya! Mintain uang jahit yang tempo hari belum dia bayar. Sekalian tanyain, katanya dia mau jahit lagi seragam buat hajatan saudaranya. Langsung pulang ya, jangan kemana-mana! Hari ini, ibu akan sibuk sekali."
      Ibu berkata, sambung menyambung tanpa jeda. Alma mendengarkan sambil terus mengunyah sarapan.
      "Kayaknya sudah mulai musim hujan. Alhamdulillah. Ibu mah bersyukur banget. Jadi sumur kita keisi lagi airnya. Malu kalau tiap hari harus nyambung selang ke rumah Uwa Haji. Mau gali lagi sumurnya, duit dari mana. Uang gaji bapakmu, bulan ini tinggal separo karena dipotong cicilan."
      Ibu terus berkata di antara suara mesin jahit yang berisik. Beruntung kedua kakak Alma yang sudah besar itu. Mereka tak harus mendengar rentetan suara ibu setiap pagi. Lagi-lagi Alma tersenyum mengingatnya.
      Alma, tiga bersaudara. Kedua kakaknya laki-laki. Yang paling besar sudah berkeluarga dan tinggal bersama istrinya di lain kota. Sedangkan kakak keduanya bekerja di Jepang. Sudah dua tahun bekerja di sana. Disalurkan oleh sekolahnya. Tiap bulan selalu rutin mengirimkan uang buat ibu dan bapak.
      Dua hari yang lalu, kakak keduanya menelepon. Mengatakan kalau sementara waktu, dia tak akan mengirim uang dulu. Mau menabung katanya. Dia bercerita kalau sedang dekat dengan gadis Jepang. Bapak tak bereaksi mendengar itu. Hanya ibu yang tersedu selepas kakaknya menutup telepon.
      "Semoga dia masih ingat jalan pulang." Begitu kata bapak yang semakin menambah lara di hati ibu.
***
      "Semoga suatu saat, VOB bisa manggung memakai baju rancangan saya"
      Jari Alma menuliskan sebait komentar pada sebuah video yang tayang di youtube. Sudah hampir seminggu, video itu menjadi trending di kanal itu. Penampilan memukau tiga orang gadis dari kota yang sama dengannya, membuat banyak orang bersimpati. Saat ini, siapa yang tak mengenal VOB -- Voice of Baceprot. Band rock metal yang keseluruhan pemainnya adalah tiga gadis tanggung yang belum lama lulus SMA. Gaya ketiganya terbilang unik. Meski mengusung jenis musik yang keras, mereka tetap setia dengan hijab dan gaya casual khas anak muda.
      Sekali lagi Alma membaca tulisan di layar handphone-nya. Sejenak dia tersenyum. "Klik!" tak lama dia pun menekan tombol enter.
      Ucapan adalah doa. Dan tulisan tadi adalah perwakilan dari doanya. Begitu kira-kira pikiran yang terbersit saat itu.
      "Almaaa...ini tolong antar baju pesanan Bu Suci. Baru saja dia telpon minta dikirim bajunya segera!" Ibu berseru dari ruang tamu. Alma mematikan handphone-nya. Menyeret kakinya, menemui ibu.
      "Langsung mintain uangnya ya. Bilang saja, ibu butuh uangnya buat berobat bapak." Pesan ibu, sebelum Alma beranjak pergi. Alma mengangguk.
      Sudah dua hari bapak tidak ke pabrik. Batuknya kambuh lagi. Kemungkinan karena pergantian cuaca, begitu kata ibu. Belum lagi, setiap hari bapak harus berhubungan dengan kromium -- salah satu zat kima yang sering digunakan untuk menyamak kulit. Separuh hidup bapak, dihabiskan di pabrik penyamakan kulit domba. Bapak bekerja di pabrik milik Haji Aceng sejak dari muda. Jadi bukan hal aneh kalau saat ini bapak kerap mengeluh sakit. Terlebih usia bapak tak muda lagi. Sudah 68 tahun. Dua tahun lagi, genap 70 tahun. Seharusnya bapak sudah beristirahat.
      "Selepas SMP aku akan bekerja membantu ibu," bisik hati Alma bertekad.
      Dan tekadnya semakin bulat, karena tak lama bapak meninggal. Di usia yang dua tahun lagi akan genap 70 tahun. Sepeninggalnya bapak, tiba-tiba Alma merasa separuh pondasi hidupnya hancur berkeping. Bagaimana nasibnya kemudian. Bagaimana dengan ibu. Tak mungkin dia meminta kedua kakaknya untuk menanggung beban hidupnya.
      "Aku akan berhenti sekolah saja ya, Bu."
      Alma menatap ibunya yang masih kuyu. Baru seminggu bapak pergi. Kakak tertuanya sudah pulang bersama keluarganya. Kakak keduanya hanya sempat menyampaikan duka dan kesedihan melalui video call, bersamaan dengan jasad bapak yang akan dimasukan ke liang lahat. Selepas itu, hanya ada Alma dan ibu.
      "Lanjutkan saja sekolahnya, Nak." Ibu berkata pelan. Nada suaranya terdengar bergetar. Kesedihan masih jelas tergambar di wajah ibu yang semakin renta.
      "Tapi, Alma gak mau membebani ibu,"
      "Sekolahlah yang tinggi. Jadilah 'orang'!" pelan ibu berkata lagi. Tangan uzurnya mengelus pipi Alma yang sudah bersimbah air mata. Di sudut rumah, sepeda motor butut bapak terparkir membisu dan penuh debu.
***
      Satu tahun berlalu, selepas bapak meninggal. Susah payah, ibu kembali menata hidupnya tanpa campur tangan bapak. Selama beberapa bulan, terkadang ibu kedapatan melamun di depan mesin jahitnya. Pikirannya berpetualang entah kemana. Tentu saja Alma sedih. Lalu kembali dia mengusulkan untuk berhenti sekolah kepada ibu. Lagi-lagi ibu menolaknya. "Jadilah orang!" begitu selalu nasihatnya.
      Hidup mau tidak mau harus terus berjalan. Meski berat, Alma mencoba membantu meringankan beban ibu. Selepas bangun tidur, Alma tak lagi sengaja menunggu ibu masuk ke dalam kamarnya. Dia lipat selimut, membereskan ranjang dan tak lupa membiarkan angin lereng gunung Cikuray menerobos melalu kaca nako jendela kamarnya. Sejujurnya Alma rindu ibu yang dulu. Yang selalu berurut berkata-kata tanpa jeda. Selepas bapak meninggal, ibu lebih banyak diam. Hari-harinya terlarut bersama tumpukan kain yang harus dia jahit.
      Akhirnya Alma memilih sekolah di SMK. Kata Bu Masriah -- salah satu gurunya di SMP, lebih baik dia bersekolah di sekolah kejuruan.
      "Kamu bisa mengambil jurusan tata busana," begitu katanya suatu hari. Alma tak membantah. Dia pun terpikirkan untuk bersekolah di sana. Beruntung, dia bisa diterima di SMK negeri, hingga ibu tak perlu cemas memikirkan biaya. Dia juga mengambil jurusan tata busana, seperti saran Bu Masriah.
      Alma sendiri tak yakin dengan cita-citanya. Rasanya dia tak pernah memikirkan itu. Dia hanya berpikir dengan belajar tata busana, suatu saat dia bisa membantu ibu menerima jahitan di rumah. Sesederhana itu. Dia tak pernah muluk merangkai mimpi yang tinggi.
***
      Acara puncak pagelaran busana pada event Lineapelle Leather Fair -- pameran industri kulit tahunan, yang diselenggarakan Fieramilano Rho, Milan, kali ini sungguh meriah. Berbagai produk unggulan berbahan kulit di seluruh dunia, ditampilkan dalam both-both pameran selama seminggu lamanya. Dan malam ini, perwakilan peserta yang bergerak di bidang leather fashion -- khususnya outfit berbahan kulit, menampilkan rancangannya. Outfit indah dan unik berbahan kulit, ditampilkan oleh barisan model yang melanggak-lenggok di atas catwalk.
       "Please welcome...Miss Alma Tiandri!"
      Pembawa acara menyebutkan namanya, selepas model-model itu meninggalkan runway. Alma terperanjat. Selalu seperti itu. Dia selalu saja terkejut dan kikuk saat namanya di panggil. Padahal pagelaran kali ini bukan untuk yang pertama kali dia ikuti. Tak lama tepuk tangan riuh, pecah saat Alma berjalan pelan dari backstage menuju ke atas panggung. Iringan musik semakin meriah saat para model mengekor langkah Alma di belakang. Seorang perempuan cantik berumur sekitar 40-an, naik ke atas panggung membawa buket bunga besar. Menyerahkannya kepada Alma, menyalaminya serta mengucapkan selamat dengan ramah. Tak terasa ujung mata Alma basah.
      Di backstage, ketua delegasi asal Indonesia menghampirinya. Senyum terkembang di wajah laki-laki paruh baya itu, menyiratkan rasa bangga tak terhingga.
      "Keren, Alma!" laki-laki itu menyalaminya lalu mengacungkan jempol. Alma tersipu. Sepertinya pagelaran busana kali ini adalah puncak karirnya. Tiga tahun berlalu, selepas dia menamatkan sekolah di SMK. Kerja kerasnya dalam belajar membuahkan hasil. Dia terpilih sebagai salah satu penerima beasiswa untuk melanjutkan kuliah di Esmode -- sekolah khusus fashion designer, di ibukota.
      Sejak di SMK, Alma mulai membangun mimpi. Mimpi yang besar. Tak lagi mimpi sederhana seperti semula.
      "Jangan takut bermimpi, Nak! Gantungkan mimpimu setinggi langit. Meski mimpimu tak dapat diraih, kamu tetap terjatuh di antara bintang-bintang."
      Begitu kata ibu suatu waktu. Alma mencamkan apa kata ibu dengan serius. Dan itulah yang menjadi alasan kenapa dia tak lagi menyia-nyiakan kesempatan yang datang kepadanya.
***
      Kali ini perkiraannya meleset.
      Sepulangnya ke tanah air, Alma mendapat kabar yang teramat baik. Manajer VOB -- band rock metal terkenal asal kota kelahirannya, tiba-tiba menghubungi. Meminta dirinya untuk menyediakan outfit selama band itu melakukan tour di seluruh Amerika. Salah satu rangkaian tour VOB di Amerika adalah penayangan video clip perdana album mereka, di layar raksasa gedung Times Square, New York. Dan di video tersebut, personil VOB akan mengenakan salah satu outfit rancangannya.
       "Alhamdulillah..."
      Ibu terbata menatap anak gadisnya, saat Alma menceritakan hal itu. Tak terbayangkan, jika anak perempuan satu-satunya, tak sekedar menjadi tukang jahit seperti dirinya. Anak perempuannya telah menjadi 'orang". Anak perempuannya itu, kini telah menjadi 'fashion designer', setara dengan Ivan Gunawan, Dian Pelangi dan perancang busana terkenal lainnya.
      Aah...kejutan dari Tuhan begitu berunut Alma rasakan. Siapa sangka komentar yang pernah dia tulis di kanal youtube -- delapan tahun yang lalu, adalah doa yang menjelma menjadi nyata. Karir gadis itu belum berhenti mendaki. Alma akan terus meraih puncak, selama kaki-kakinya belum lelah berlari.
      Alma tersegruk. Air matanya pecah di pangkuan ibu.
***
(cerpen ini pernah diikut sertakan dalam lomba menulis cerpen yang diselenggarakan oleh IIK Bhakti Wiyata Kediri tahun 2023)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H