“Biar lebih ngendonesiah,” sahutku asal saja yang kemudian disambut tawamu.
Ah, Gie. Si mahasiswa tadi memang benar, karyamu itu setipe Andrea Hirata. Kamu tidak bercanda ketika berkata padaku ingin memasukkan romansa kita ke dalam bukumu. Supaya lebih hidup, katamu.
Awalnya aku tidak percaya. Kamu bukan penulis setipe John Green atau Nicholas Sparks atau Paulo Coelho atau bahkan Khalil Gibran. Keempat bukumu yang pertama selalu fokus ke kisah konspirasi dan tak sedikit pun memasukkan romansa ke dalamnya. Aku sangsi karya kelimamu ini bisa membuat penggila novel romance bertekuk lutut padamu. Tapi, tiga minggu setelah peluncuran bukumu, media sosial ramai membicarakannya. Kata mereka, kamu berhasil menggabungkan kisah cinta yang luar biasa dan konspirasi yang njelimet total.
Kamu mengajakku duduk di salah satu bangku taman yang menghadap ke sebuah kolam lotus. Hanya duduk, tanpa bicara apa-apa. Dan, ketika tengah asyik menikmati lotus-lotus yang bermekaran, tiba-tiba kamu berkata, “Aku memasukkan romansa kita bukan tanpa alasan, Rhein.”
Aku praktis memalingkan pandanganku dari kolam lotus. Aku meneliti wajahmu — wajah yang sudah tujuh tahun kujumpai ketika aku membuka mataku di pagi hari.
“Aku cuma ingin orang-orang sadar bahwa cinta itu sederhana,” katamu. “Sesederhana kamu yang hobi pake kaos oblong extra size-ku, sesederhana aku membuatkanmu white frappe ketika kamu lembur bikin artikel untuk sebuah majalah, sesederhana bunga daisy yang dulu kamu petik dan sekarang bersarang di dompetku, sesederhana ritual kita menikmati malam bulan mati… seperti malam ini.”
Aku mendongak dan memindai langit. Kamu benar, Gie, sekarang malam bulan mati. Kenapa aku tidak menyadarinya?
Kamu menyentuh daguku, membawa wajahku berhadapan denganmu. Lama sekali kamu menatap mataku. Dan, jarak wajah kita semakin dekat.
“Ini kalo kita terusin, bakalan ada jomblo-jomblo yang pingsan nggak, ya?”
Dan, meledaklah tawaku.
Kamu benar, Gie, cinta itu sederhana. Bahkan kelakar tak lucu seperti yang kamu buat barusan bisa membuatku tergelak.