[caption caption="pic: desoldesy.com"][/caption]Rheinara Yuki, No.1
Ini hari Senin, dan aku kembali menikmati white frappe-ku — cangkir yang kesekian untuk pagi ini, entah, aku enggan menghitungnya.
Aku ingat kamu pernah mengomeli soal kebiasaan burukku bersama cangkir-cangkir kopi — beserta isinya, tentu. Tapi, kamu tahu? Aku senang melihatmu seperti itu, mengomeliku seolah tak bisa berhenti, kadang berkacak pinggang sekadar menegaskan padaku bahwa kamu serius dengan semua omelan itu. Dan, tahukah kamu? Kamu terlihat berkali-kali lipat lebih tampan ketika mengomel. Aku tidak bercanda…, Gie.
Tapi, lalu aku ingat, kejadian itu sudah berbulan-bulan yang lalu. Lagi-lagi, aku enggan berhitung. Otakku seperti mendadak hang ketika diminta untuk berhitung. Yang aku tahu, aku sudah berkali-kali mendapati bulan mati dari balkon apartemen kita. Ya, bulan mati, Gie. Kita tidak pernah mengagumi bulan purnama. Too mainstream, you said. Kamu bilang, justru bulan matilah yang menjadi penanda tibanya akhir dan datangnya awal. Kamu bilang, saat itulah waktu yang tepat untuk merunut ke belakang, kebaikan apa saja yang pernah kita lakukan. Lalu, setelahnya, merancang kebaikan apa lagi yang hendak kita lakukan.
Tapi, sekali lagi, Gie, itu sudah berbulan-bulan lalu ketika kamu bicara seperti itu. Sementara aku? Aku tetap berdiri di balkon setiap malam bulan mati. Aku menatap langit yang legam sambil merunut peristiwa dua puluh delapan hari di belakang. Ya, aku tidak pernah lupa berbuat kebaikan, Gie. Tapi, seringnya, kebaikan itu hanya untuk diriku sendiri. Tepatnya, untuk hatiku. Aku merayunya agar tak berdarah-darah lagi, berkata padanya bahwa esok pasti kamu akan kembali, membelainya agar tak jadi kerontang. Hal-hal semacam itu, Gie, dan aku semakin ahli melakukannya. Percayalah.
Di hari-hari lain, ketika aku lupa akan kamu, hatiku agak sedikit merah muda. Baiklah, aku akan jujur saja. Kamu ingat teman kerjaku yang bernama Ran, yang punya rambut ikal agak pirang dan berkulit cokelat bersih, yang mejanya bersebelahan dengan mejaku di kantor, yang kerap menyapaku dengan nama lengkapku, Rheinara, dan bukannya seperti teman-teman yang lain yang memanggilku Rhein? Ya, Ran yang itu, yang selalu kaucemburui! Kamu tahu? Ran tersenyum padaku — sering tersenyum padaku. Dan, Gie, itu bukan jenis senyum yang biasa. Lagi pula, untuk apa aku bercerita jika senyumnya biasa-biasa saja?
Entah, Gie. Aku tidak tahu kenapa Ran tersenyum padaku. Tapi, belakangan aku tahu, Nina yang bercerita padanya bahwa kamu… pergi.
Ya, ya, ya. Aku tahu, aku harus menampar Nina karena itu. Tapi, senyum Ran mencegahku melakukan hal keji itu. Lalu, aku mulai berpikir, menduga-duga, berprasangka, berkhayal, oh, apa pun itu namanya, bahwa takdirlah yang menyebabkan Mr. J menempatkan Ran di sebelah mejaku. Lucu, ya, Gie?! Kepergianmu membuat aku juga menjadi ahli dalam hal lain: berkhayal.
Dan, kemarin adalah klimaks dari khayalanku.
Ran menciumku.
Tapi, kemudian aku tahu kalau itu bukan lagi khayalanku, sebab Nina juga melihatnya. Aku lupa mengunci pintu apartemen. Nina masuk tanpa membuat suara. Lalu…, ia melihat aku dan Ran di balkon, tepat saat bibirku dan Ran bersatu.
“Kamu gila, ya, Rhein?!” cecar Nina tadi malam. Dan, aku tidak berpeluh karena cecarannya. Itu aneh kan, Gie?! “Kamu sadar nggak, sih, kamu ngapain sama Ran? Kamu sadar nggak, sih, kamu masih punya Gie? Kamu sadar nggak, sih, Ran itu siapa?” Sungguh, kupikir Nina cocok menjadi seorang polisi yang menginterogasi seorang penjahat, alih-alih menjadi resepsionis di kantorku.
“Nin, kamu sadar nggak, kamu lagi ada di mana?” tanyaku.
“Eh? Maksudnya?”
“Jawab aja,” sahutku.
“Di apartemen kamu.”
“Oke, sekarang kamu liat Nugie nggak, di sini?”
“Enggak.”
“Kapan kamu terakhir kali nelpon atau kirim mesej ke Nugie?”
“Empat bulan lalu,” Nina melirih. Kepalanya tertunduk, tak lagi berani menatapku.
“Padahal kamu adiknya, Nin. Kamu keluarganya. Kamu orang selain aku yang harusnya juga tau keberadaan Nugie. Dan, kenyataannya apa?”
“Tapi, Rhein…”
“Nin, aku nggak mau berdebat. Aku malas berdebat soal Nugie. Lagian, Mom nggak akan tau kalau kamu bisa tetap tutup mulut.”
Kuperhatikan wajah Nina. Aku tahu, Nina pun sedih dengan menghilangnya kamu, Gie. Dan, itu membuatku melantangkan pertanyaan itu lagi di kepalaku.
Kamu di mana, Gie?
Kamu di mana ketika aku rindu omelanmu tentang cangkir-cangkir kopiku? Kamu di mana ketika aku butuh kaos oblong extra size-mu? Kamu di mana ketika aku berdiri di balkon apartemen kita, menatap bulan mati sambil merapal harapan? Kamu di mana ketika kaki-kakiku menyentuh pasir pantai, ketika ombak memanjakan mata minusku? Kamu di mana ketika aku tiba-tiba punya inisiatif membelikanmu onion ring, makanan favoritmu? Kamu di mana ketika aku lelah berbuat baik pada hatiku sendiri, Gie, menyelamatkannya agar tidak berdarah-darah terlalu parah? Kamu di mana ketika… ketika… aku butuh kamu, Gie? Dan, semua pertanyaanku itu serius, Gie! Aku tidak sedang meniru biduan dangdut itu bernyanyi!
Satu hal, Gie. Aku tidak mau disalahkan karena Ran menciumku. Aku tidak mau!
Aku butuh Ran saat itu — tadi malam. Dan, kurasa, itu terjadi juga karena campur tangan takdir. Tepat saat aku hendak meneleponnya, ponselku berbunyi. Ran meneleponku. Dia hanya menanyakan kabarku. Tipikal pertanyaan yang umum, kan? Tapi, untuk pertanyaan sesimpel itu pun aku tidak bisa menjawabnya. Apa kabarku? Aku tidak tahu. Sama sekali tidak tahu. Aku hanya diam dan berusaha menangis tanpa suara. Tapi, mungkin pendengaran Ran amat sangat sensitif.
“Kamu menangis, Rheinara?”
Lalu, setelahnya, ponselku merosot begitu saja dari tanganku. Aku bahkan tidak peduli apakah sambungan teleponnya masih menyala atau sudah terputus. Aku tidak peduli.
Satu jam kemudian, Ran sudah di depanku. Ia duduk di mejaku — meja kita, Gie! — dan aku hanya meringkuk di sofa sambil memeluk bantal hati warna merah muda.
“Kamu menangis, Rheinara?” tanya Ran. Dan, sumpah, jika tidak dalam kondisi seperti ini, aku pasti sudah mengoceh di depannya karena ia seperti tidak punya pertanyaan lain! Hanya saja, yang kulakukan adalah, membiarkannya duduk di sampingku, mengalungkan lengan kekarnya ke tubuhku, membuatku tak punya pilihan lain selain tenggelam di bahunya.
Itu bukan aku, Gie. Itu bukan diriku yang sebenarnya. Tapi, itulah aku, yang kamu tinggalkan begitu saja, tanpa satu patah kata pun.
Ran berdiri dan menghampiri tumpukan CD di rak. Lama sekali ia berdiri di sana sambil memilah-milah koleksi musikku — koleksi musik kita, Gie! Sampai akhirnya, aku mendengar suara saksofon Kenny G mengalun pelan, membelai gendang telingaku.
Mataku terpejam, Gie. Aku menikmati suara yang muncul dari keping cakram yang berputar. Dan, mataku masih terpejam ketika aku sadar, Ran membimbingku beranjak dari sofa.
“Tetap tutup matamu, Rheinara.”
Aku menurut saja. Hal buruk apa lagi, sih, yang bisa terjadi? Aku kehilangan kamu, dan kupikir, itulah yang paling buruk saat ini.
“Nah, sekarang kamu boleh buka mata, Rheinara.”
Aku mendapati diriku di balkon, menghadap kota yang menggeliat dengan lampu-lampunya, sementara di pinggangku melingkar dua lengan Ran.
Ini indah!
Ya, walaupun mungkin hanya perasaanku saja yang berlebihan karena ada Ran di dekatku. Tapi, itu membuatku bertanya-tanya. Kenapa aku baru bisa melihat keindahan itu sekarang? Maksudku, benar-benar melihatnya. Ke mana saja aku selama ini?
“Aku nggak akan memintamu melupakan Nugie.” Suara Ran kembali menggetarkan gendang telingaku. “Aku tau, Nugie adalah pria pilihanmu. Aku hanya minta sedikit, sedikit saja, ruang di hatimu, Rheinara.”
Aku tercekat. Tentu saja! Aku tidak pernah mengira akan seperti ini akhirnya. Dan, aku tidak tahu harus menjawab apa. Bisa tolong bantu aku menjawab pertanyaan Ran, Gie? Aku mohon, meskipun aku tahu, permohonanku ini sia-sia belaka.
Kini aku berhadapan dengan Ran. Di balkon. Di malam bulan mati. Ran kembali tersenyum padaku, dan aku pun spontan membalas senyumnya.
“Itu yang ingin aku lihat sejak pertama kali mengenalmu, Rheinara. Senyummu.”
Tangannya perlahan menyusuri wajahku. Dan, ia menciumku.
Semalam Nina tidak berkata banyak. Kami hanya diam dan mendengarkan Kenny G. berulang-ulang memainkan lagu yang sama.
“Ran akan kembali sepuluh menit lagi, Nin,” kataku. “Kamu bisa mewawancarainya kalau mau.”
Nina menoleh dengan cepat, lalu menghunjamkan sorot mata sinis kepadaku. Tapi, kesinisan itu hanya sekejap. Sebab, yang terjadi, ia malah terisak dan bergumam, “Nugie sialan!”
Diam-diam aku tertawa dalam hati. Ya, kamu memang sialan, Gie! Tapi, aku mencintai kamu, meskipun kamu entah sedang apa di suatu tempat.
Nina berdiri. Ia kembali menyandang tasnya, dan berkata, “Aku nggak akan bilang Mom. Tapi, aku juga tetap nggak setuju Ran menggantikan Nugie.” Nina berbalik, keluar dari apartemenku sambil menyapu air matanya.
Tak lama, pintu apartemenku terbuka lagi. Terbuka dari luar, karena aku memang tidak menguncinya. Ran berdiri di ambang pintu.
“Halo lagi, Rheinara.”
“Ran…” Aku berdiri hendak menghampiri Ran. Tapi, sesuatu menghentikan langkahku.
“Aku bawa hadiah untukmu, Rheinara.” Lalu, Ran bergeser, membiarkan seseorang terekspos penglihatanku.
“Nugie?”
Kemudian, semuanya menjadi gelap.
-oOo-
*dipublikasikan pertama kali di sini dikarenakan Kompasiana sedang mengalami perbaikan kemarin
Karya Peserta Lainnya || Bergabunglah di Grup FB Fiksiana Community
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H