Mohon tunggu...
Rheinara Yuki
Rheinara Yuki Mohon Tunggu... -

Inginnya menyusup di antara belantara kata-kata. Itu saja.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

[Fikber] Malam Bulan Mati, Balkon, dan Ciuman

14 November 2015   09:02 Diperbarui: 14 November 2015   10:43 849
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="pic: desoldesy.com"][/caption]Rheinara Yuki, No.1

Ini hari Senin, dan aku kembali menikmati white frappe-ku — cangkir yang kesekian untuk pagi ini, entah, aku enggan menghitungnya.

Aku ingat kamu pernah mengomeli soal kebiasaan burukku bersama cangkir-cangkir kopi — beserta isinya, tentu. Tapi, kamu tahu? Aku senang melihatmu seperti itu, mengomeliku seolah tak bisa berhenti, kadang berkacak pinggang sekadar menegaskan padaku bahwa kamu serius dengan semua omelan itu. Dan, tahukah kamu? Kamu terlihat berkali-kali lipat lebih tampan ketika mengomel. Aku tidak bercanda…, Gie.

Tapi, lalu aku ingat, kejadian itu sudah berbulan-bulan yang lalu. Lagi-lagi, aku enggan berhitung. Otakku seperti mendadak hang ketika diminta untuk berhitung. Yang aku tahu, aku sudah berkali-kali mendapati bulan mati dari balkon apartemen kita. Ya, bulan mati, Gie. Kita tidak pernah mengagumi bulan purnama. Too mainstream, you said. Kamu bilang, justru bulan matilah yang menjadi penanda tibanya akhir dan datangnya awal. Kamu bilang, saat itulah waktu yang tepat untuk merunut ke belakang, kebaikan apa saja yang pernah kita lakukan. Lalu, setelahnya, merancang kebaikan apa lagi yang hendak kita lakukan.

Tapi, sekali lagi, Gie, itu sudah berbulan-bulan lalu ketika kamu bicara seperti itu. Sementara aku? Aku tetap berdiri di balkon setiap malam bulan mati. Aku menatap langit yang legam sambil merunut peristiwa dua puluh delapan hari di belakang. Ya, aku tidak pernah lupa berbuat kebaikan, Gie. Tapi, seringnya, kebaikan itu hanya untuk diriku sendiri. Tepatnya, untuk hatiku. Aku merayunya agar tak berdarah-darah lagi, berkata padanya bahwa esok pasti kamu akan kembali, membelainya agar tak jadi kerontang. Hal-hal semacam itu, Gie, dan aku semakin ahli melakukannya. Percayalah.

Di hari-hari lain, ketika aku lupa akan kamu, hatiku agak sedikit merah muda. Baiklah, aku akan jujur saja. Kamu ingat teman kerjaku yang bernama Ran, yang punya rambut ikal agak pirang dan berkulit cokelat bersih, yang mejanya bersebelahan dengan mejaku di kantor, yang kerap menyapaku dengan nama lengkapku, Rheinara, dan bukannya seperti teman-teman yang lain yang memanggilku Rhein? Ya, Ran yang itu, yang selalu kaucemburui! Kamu tahu? Ran tersenyum padaku — sering tersenyum padaku. Dan, Gie, itu bukan jenis senyum yang biasa. Lagi pula, untuk apa aku bercerita jika senyumnya biasa-biasa saja?

Entah, Gie. Aku tidak tahu kenapa Ran tersenyum padaku. Tapi, belakangan aku tahu, Nina yang bercerita padanya bahwa kamu… pergi.

Ya, ya, ya. Aku tahu, aku harus menampar Nina karena itu. Tapi, senyum Ran mencegahku melakukan hal keji itu. Lalu, aku mulai berpikir, menduga-duga, berprasangka, berkhayal, oh, apa pun itu namanya, bahwa takdirlah yang menyebabkan Mr. J menempatkan Ran di sebelah mejaku. Lucu, ya, Gie?! Kepergianmu membuat aku juga menjadi ahli dalam hal lain: berkhayal.

Dan, kemarin adalah klimaks dari khayalanku.

Ran menciumku.

Tapi, kemudian aku tahu kalau itu bukan lagi khayalanku, sebab Nina juga melihatnya. Aku lupa mengunci pintu apartemen. Nina masuk tanpa membuat suara. Lalu…, ia melihat aku dan Ran di balkon, tepat saat bibirku dan Ran bersatu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun