Mohon tunggu...
Rheinara Yuki
Rheinara Yuki Mohon Tunggu... -

Inginnya menyusup di antara belantara kata-kata. Itu saja.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

[Fikber] Malam Bulan Mati, Balkon, dan Ciuman

14 November 2015   09:02 Diperbarui: 14 November 2015   10:43 849
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Nin, aku nggak mau berdebat. Aku malas berdebat soal Nugie. Lagian, Mom nggak akan tau kalau kamu bisa tetap tutup mulut.”

Kuperhatikan wajah Nina. Aku tahu, Nina pun sedih dengan menghilangnya kamu, Gie. Dan, itu membuatku melantangkan pertanyaan itu lagi di kepalaku.

Kamu di mana, Gie?

Kamu di mana ketika aku rindu omelanmu tentang cangkir-cangkir kopiku? Kamu di mana ketika aku butuh kaos oblong extra size-mu? Kamu di mana ketika aku berdiri di balkon apartemen kita, menatap bulan mati sambil merapal harapan? Kamu di mana ketika kaki-kakiku menyentuh pasir pantai, ketika ombak memanjakan mata minusku? Kamu di mana ketika aku tiba-tiba punya inisiatif membelikanmu onion ring, makanan favoritmu? Kamu di mana ketika aku lelah berbuat baik pada hatiku sendiri, Gie, menyelamatkannya agar tidak berdarah-darah terlalu parah? Kamu di mana ketika… ketika… aku butuh kamu, Gie? Dan, semua pertanyaanku itu serius, Gie! Aku tidak sedang meniru biduan dangdut itu bernyanyi!

Satu hal, Gie. Aku tidak mau disalahkan karena Ran menciumku. Aku tidak mau!

Aku butuh Ran saat itu — tadi malam. Dan, kurasa, itu terjadi juga karena campur tangan takdir. Tepat saat aku hendak meneleponnya, ponselku berbunyi. Ran meneleponku. Dia hanya menanyakan kabarku. Tipikal pertanyaan yang umum, kan? Tapi, untuk pertanyaan sesimpel itu pun aku tidak bisa menjawabnya. Apa kabarku? Aku tidak tahu. Sama sekali tidak tahu. Aku hanya diam dan berusaha menangis tanpa suara. Tapi, mungkin pendengaran Ran amat sangat sensitif.

“Kamu menangis, Rheinara?”

Lalu, setelahnya, ponselku merosot begitu saja dari tanganku. Aku bahkan tidak peduli apakah sambungan teleponnya masih menyala atau sudah terputus. Aku tidak peduli.

Satu jam kemudian, Ran sudah di depanku. Ia duduk di mejaku — meja kita, Gie! — dan aku hanya meringkuk di sofa sambil memeluk bantal hati warna merah muda.

“Kamu menangis, Rheinara?” tanya Ran. Dan, sumpah, jika tidak dalam kondisi seperti ini, aku pasti sudah mengoceh di depannya karena ia seperti tidak punya pertanyaan lain! Hanya saja, yang kulakukan adalah, membiarkannya duduk di sampingku, mengalungkan lengan kekarnya ke tubuhku, membuatku tak punya pilihan lain selain tenggelam di bahunya.

Itu bukan aku, Gie. Itu bukan diriku yang sebenarnya. Tapi, itulah aku, yang kamu tinggalkan begitu saja, tanpa satu patah kata pun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun