“Teaching is more than imparting knowledge, it is inspiring change. Learning is more than absorbing facts, it is acquiring understanding.”--William Arthur Ward
Pada tahun 2008, Bunga, seorang peserta didik yang berasal dari pedesaan, diterima di salah satu MTsN terkenal di salah satu Kota Madya di Jawa Timur.
Sekolah ini memiliki reputasi yang baik dan menawarkan kelas Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang terkenal akan kebijakan pengajaran multibahasa.
Namun, di balik gemerlapnya status RSBI, ada awan gelap yang menggantung di atas kepala Bunga. Ketidakmampuan Bunga menguasai bahasa asing menjadi penghalang yang sangat besar.
Setiap hari, mulai dari Senin hingga Kamis, bahasa Inggris menjadi bahasa pengantar. Sayangnya, latar belakang Bunga dari MI di desa, sebuah sekolah di pedesaan, membuat Bunga sangat tertinggal. Saya merasa seperti berada di lautan luas tanpa dayung, tenggelam dalam ketidakpahaman.
Nilai buruk dalam ulangan bahasa Inggris menjadi momok yang tak terhindarkan bagi Bunga. Setiap kali kertas ujian dikembalikan, seolah ada bayang-bayang kegelapan yang datang. Hukuman yang diberikan bukanlah hukuman biasa.
Bunga harus menulis 100 kali kalimat "I must speak English everyday." Tangan Bunga terasa kaku, tetapi lebih menyakitkan adalah hati yang penuh rasa malu. Lembar hukuman itu harus dibawa pulang dan ditandatangani oleh orang tua, kemudian diserahkan kepada kepala madrasah.
Bunga merasa seperti seorang pesakitan yang harus memperlihatkan kelemahannya kepada dunia. Ketika teman-teman melihat Bunga membawa lembar itu, tawa cemoohan mereka bagai jarum yang menusuk hati, membuat Bunga semakin merasa tidak berharga.
Seiring waktu, Bunga mulai meragukan kemampuan diri sendiri, dan setiap hari di sekolah terasa seperti bertahan hidup di medan perang yang tidak pernah usai. Pengalaman Bunga di atas menggambarkan perlunya pendekatan pembelajaran yang berdiferensiasi.
Tapi tahukah anda apakah itu pembelajaran berdiferensiasi?
Pembelajaran berdiferensiasi adalah pembelajaran yang menekankan pada pemberian pengalaman belajar yang disesuaikan dengan kebutuhan, minat, dan kemampuan setiap peserta didik.
Dalam kasus Bunga, pengalaman buruk terkait ketidakmampuannya dalam bahasa Inggris bisa dicegah jika sejak awal pembelajaran disesuaikan dengan tingkat kemampuan peserta didik.
Alih-alih memberikan hukuman, guru dapat memberikan bimbingan yang lebih personal, menciptakan lingkungan yang mendukung, serta menerapkan strategi belajar yang lebih fleksibel dan beragam, sesuai dengan konsep pembelajaran berdiferensiasi.
Upaya pencegahan pengalaman belajar yang buruk seperti paparan diatas dapat dilakukan melalui implementasi pembelajaran berdiferensiasi yang tepat.
Sifat utama dari pembelajaran berdiferensiasi adalah fleksibilitas. Guru tidak terpaku pada satu metode pembelajaran, dia harus lebih responsif terhadap kebutuhan setiap peserta didik.
Misalnya saja, peserta didik yang kesulitan belajar diberikan bimbingan, tetapi mereka yang sudah mahir diberikan tugas yang lebih menantang. Hal yang tak kalah penting adalah memastikan bahwa pembelajarannya berpusat pada siswa, artinya, peserta didik dapat benar-benar memahami konsep dengan gayanya sendiri.
Sekarang bagaimana langkah untuk menerapkan pembelajaran berdiferensiasi?
Video di bawah ini dapat menjadi panduan guru untuk melaksanakan pembelajaran ini.
Langkah pertama yang paling penting adalah mengenali peserta didik. Guru harus meninjau pengetahuan awal peserta didik. Guru harus tahu, siapa yang mahir, siapa yang butuh waktu lebih lama, dan gaya belajarnya seperti apa.
Guru dapat melakukan observasi, asesmen diagnostik, atau bahkan sekadar berbincang dengan peserta didik. Ketepatan implementasi konsep pembelajaran berdiferensiasi yang tepat diawali dengan tes diagnostik guna pengumpulan data kompetensi awal peserta didik.
Data tersebut selanjutnya dikumpulkan dan diolah dalam suatu big data memungkinkan analisis data yang akurat. Hal tersebut memungkinkan guru memahami tingkat pemahaman peserta didik secara mendetail sebelum pembelajaran dimulai.
Langkah kedua adalah merancang pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Jika anda tonton videonya, guru tersebut membagi peserta didik ke dalam beberapa kelompok sesuai pengetahuan awalnya. Hal itu beliau lakukan untuk mempermudah pemberian perlakuan yang sesuai dengan kemampuan setiap peserta didik. Dalam hal ini, guru dapat merancang strategi pembelajaran yang lebih efektif dan menyesuaikan materi sesuai dengan kebutuhan setiap peserta didik.
Langkah ketiga yang guru tersebut lakukan adalah menyesuaikan pembelajaran dengan kebutuhan belajar setiap peserta didik. Peserta didik yang mahir dapat diberikan soal yang menantang, peserta didik pada tingkat rata-rata dapat diberikan soal yang sesuai dengan kemampuannya, dan peserta didik yang belum mahir dapat diberikan bimbingan yang sesuai dengan teknik scaffolding.
Tahukah kamu apa itu Scaffolding?
Bayangkan seorang anak yang sedang berlatih sepeda, untuk menjaga keseimbangan awalnya diberikan roda tambahan, namun saat anak sudah terbiasa dan percaya diri, secara perlahan tambahan roda tersebut dilepaskan, hingga dia dapat menjaga keseimbangannya sendiri. Perlakuan tersebut menggunakan prinsip dari strategi Scaffolding, yaitu: strategi yang dikemukakan seorang ahli konstruktivisme, yaitu: Piaget.
Menurutnya, guru harus memberikan bimbingan yang sesuai dengan kebutuhan belajarnya. Cara ini sangat efektif karena dapat membantu peserta didik belajar secara bertahap.
Langkah selanjutnya yang dapat dilakukan, yaitu: memberikan penilaian yang juga berdiferensiasi, peserta didik tidak selalu harus diuji dengan cara yang sama. Guru bisa memberikan berbagai pilihan cara bagi peserta didik untuk menunjukkan apa yang mereka pelajari.
Jika dilihat secara teoritis, pembelajaran berdiferensiasi bisa menjadi konsep yang ideal untuk diterapkan dalam proses pembelajaran. Namun, secara praktikal, Penerapan konsep pembelajaran ini mungkin saja menemui berbagai permasalahan atau tantangan.
Lalu, apa saja masalah atau tantangan yang mungkin muncul ketika mengaplikasikan pembelajaran berdiferensiasi?
Penerapan pembelajaran berdiferensiasi dapat menjadi solusi yang tepat bagi kelas dengan keadaan yang heterogen. Akan tetapi, hal tersebut dapat menjadi tantangan bagi kelas dengan jumlah peserta didik yang banyak. Semakin banyak jumlah peserta didik, semakin banyak pula kemungkinan timbulnya perbedaan gaya belajar peserta didik.
Di sisi lain, guru perlu dengan bijak memperhatikan manajemen waktu selama menilai dan mendiferensiasikan hasil asesmen diagnostik awal peserta didik.
Umumnya, proses menilai dan mendiferensiasi hasil asesmen diagnostik awal akan menguras waktu cukup banyak. Oleh karena itu, manajemen waktu penting untuk diperhatikan selama proses pembelajaran ini.
Tantangan lain muncul ketika guru harus mampu menyeimbangkan aspek kognitif dan sosio-emosional peserta didik selama pembelajaran berlangsung.
Pembelajaran berdiferensiasi perlu untuk memperhatikan kondisi sosial dan emosional di samping gaya belajar, pengetahuan awal, potensi, dan minat setiap peserta didik.
Oleh karena itu, guru harus secara proaktif menciptakan atmosfer dan lingkungan belajar yang memotivasi peserta didik agar dapat belajar dan bekerja keras mencapai tujuan belajar sembari memastikan bahwa setiap peserta didik di kelasnya sadar bahwa mereka akan selalu mendapatkan dukungan guru di sepanjang proses belajarnya.
Terakhir, guru juga dituntut untuk mampu menyusun asesmen diagnostik awal yang mendiferensiasi kemampuan setiap peserta didik. Asesmen diagnostik awal menjadi penting karena berfungsi untuk mengumpulkan informasi berkaitan dengan kesiapan peserta didik, minat, dan profil belajarnya.
Berdasarkan hasil asesmen diagnostik awal, barulah guru dapat mendiferensiasikan lingkungan belajar, instruksi pengajaran, bentuk asesmen dan evaluasinya.
Setelah anda tonton video di atas, apa saja perubahan yang bisa dilakukan agar pembelajaran berdiferensiasi yang dilakukan di kelas lebih maksimal?
Pembelajaran berdiferensiasi tidak terbatas pada diferensiasi konten/materi, tetapi juga bisa berdiferensiasi dari sisi proses, produk, dan lingkungan belajar. Pembelajaran berdiferensiasi dari sisi proses dapat ditempuh dengan kegiatan peer-teaching (tutor sebaya).
Melalui kegiatan peer-teaching, interaksi antar kelompok peserta didik juga meningkat. Peserta didik yang sudah mahir, setelah mengerjakan tugas berdiferensiasi materi, dapat membantu peserta didik dari kelompok dengan pemahaman konsep lebih rendah saat menemui kesulitan belajar. Kegiatan ini juga dapat menguatkan ikatan sosio-emosional antar peserta didik.
Lantas bagaimana dengan jumlah peserta didik yang banyak?
Efektivitas pembelajaran juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan belajar yaitu terkait dengan jumlah peserta didik dalam satu kelas. Sering kali ditemui dalam kegiatan pembelajaran terdapat siswa yang luput dari perhatian guru padahal setiap peserta didik harus mendapatkan kesempatan yang sama dalam memperoleh pembelajaran.
Permasalahan ini juga bisa diatasi dengan kegiatan peer-teaching dan dilanjutkan dengan review dari guru agar menghindari terjadinya miskonsepsi.
Pembelajaran berdiferensiasi bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan belajar secara individu. Apakah guru cukup hanya memetakan kebutuhan belajar peserta didik melalui kesiapan belajar saja? Tentunya tidak.
Asesmen awal non-kognitif, seperti: gaya belajar, kondisi emosional, dan lain-lain juga perlu diaplikasikan sebelum pembelajaran.
Kondisi emosional peserta didik selalu berubah-ubah oleh karena itu perlu untuk mengetahui kondisi mereka sebelum pembelajaran untuk diberikan perlakuan jika motivasi belajar pada level yang rendah.
Pemberian motivasi di awal pembelajaran dapat meningkatkan minat belajar peserta didik.
Lalu seperti apakah solusi yang tepat dari kasus Bunga di atas?
Sekolah perlu menyadari adanya kesenjangan dalam kemampuan berbahasa asing di kalangan peserta didik. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, sekolah membagi peserta didik ke dalam kelompok-kelompok berdasarkan kemampuan berbahasa asing mereka, sehingga peserta didik yang kurang mampu mendapatkan bimbingan lebih intensif.
Selain itu, sekolah mengadakan English Camp di Kampung Inggris, Pare, yang rutin dilaksanakan selama liburan semester.
Event ini memberikan kesempatan bagi siswa untuk belajar bahasa Inggris dengan lebih mendalam di lingkungan yang mendukung.
Setelahnya, sekolah juga mengadakan Arabic Camp untuk memperkuat kemampuan bahasa Arab siswa, sehingga tidak hanya bahasa Inggris, tetapi juga bahasa Arab dapat dikuasai dengan lebih baik oleh seluruh siswa.
Disusun oleh: Maulana Yusuf, Imroatun Hasana, Rizky Ulfa Rini Safitri, Nida Hamidah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H