Sudah sebulan ini saya terdampar di rumah karena kaki masih patah akibat peristiwa tajong-lari (tendang lari). Ya, seorang pengendara NMax yang menyerobot jalur, tidak 'terima' ketika ditegur untuk tertib lalu-lintas dan mengantri. Ia malah mengajak duel. Saya tidak layani dan menghindar. Namun ternyata dia mengejar dan menendang motor saya. Saya dan motor terguling, dan terseret beberapa meter hingga akhirnya ligamen di lutut (ACL) putus. Kronologi rincinya ada di link ini [1].Â
Saya rencananya akan menjalani operasi rekonstruksi ACL (menyambung ligamen lutut yang putus), tapi ternyata ada masalah yang lebih serius. Hasil MRI menunjukkan ada fracture di tibial plateau (tulang kering bagian atas) memanjang dari lutut ke bawah.Â
Jadi saya harus menunggu fracture tersebut healing dulu, baru bisa dilakukan operasi ACL. Alhamdulillah, kabar baiknya, nyerinya sudah berangsur hilang, jadi saya sudah bisa tidur dengan nyaman. Bahkan sekarang sudah bisa duduk dan menulis, menyelesaikan memoar yang memang jadi salah satu wish list tahun ini.
Saya sempat mem-posting peristiwa tajong lari ini di facebook dan line [2]. Ternyata yang senasib dengan saya cukup banyak. Orang yang ditegur karena tidak tertib berlalu-lintas bukannya malu, malah marah-marah, memaki-maki bahkan ada yang merusak kendaraan yang menegur.Â
Beberapa ada yang celaka seperti saya, bahkan cacat seumur hidup. Motor-motor yang sudah jelas-jelas melawan arus, ketika hampir tersenggol dan diperingati, malah balik memaki-maki dengan kosa kata binatang dan mengajak berkelahi. Dunia memang sudah terbalik. Sekarang yang benar malah dikejar-kejar yang salah.
Beberapa ada yang bertanya, saya bakal kapok ga untuk menegur orang yang salah? Jawaban saya tidak pernah berubah alias tidak akan pernah kapok! Kalau saya kapok dan berhenti menegur, berarti yang salah menang, dan yang benar terkalahkan. Ini sangat berbahaya. Jika semua orang yang benar berhasil dibungkam oleh orang-orang yang berbuat salah, apa jadinya negeri ini?Â
Kalau orang-orang yang tidak waras ini, yang dengan seenak perut melanggar peraturan, bebas merajai jalanan, memaki dan menganiaya kita-kita yang waras, yang patuh terhadap peraturan lalu-lintas, maka yang terjadi di negeri ini adalah hukum rimba. Yang paling punya otot, yang paling keras berteriak, akan bebas berkuasa, melanggar apapun yang mereka mau, mengangkangi hukum dengan vulgar.
 Anda bisa saja mematahkan kaki saya, tapi tidak akan pernah bisa mematahkan semangat saya untuk berbicara kebenaran.
Hukum rimba di jalanan ini sedikit banyak mewakili potret negara kita saat ini. Dan kevulgarannya semakin menjadi-jadi menjelang pilpres. Orang-orang yang tidak waras sudah makin bebas berseliweran, memutarbalikkan fakta, menyebarkan fitnah dan kabar bohong (hoax), yang salah dibenarkan, yang benar disalahkan, bukan hanya di jalanan, bukan hanya di media sosial, tapi sudah merangsek masuk ke seluruh sendi-sendi kehidupan kita, bahkan ke yang paling dekat dengan kita, keluarga.
Sebelum Pilpres 2014, belum pernah produksi fitnah dan hoax se-dahsyat sekarang.Â
Banyak diantara kita yang memilih diam, tidak mau terlibat percakapan politik, demi untuk menjaga tali silaturahmi. Tidak jarang tali pertemanan, persaudaraan, harus putus hanya karena Pilpres ini. Berapa banyak dari kita yang "unfriend" pertemanan FB atau "left" group WA karena masalah Pilpres ini. Sudah tak terhitung berapa teman yang bercerita bagaimana WA grup keluarga mereka terpecah karena beda pilihan.
Antara paman dengan keponakan, antara bibi dengan sepupu, antara mertua dengan menantu, antara adik dan kakak ipar, bahkan antara anak dengan orang tua. Itu di level keluarga yang notabene punya hubungan darah. Belum lagi di WA-WA grup lainnya, pertemanan SD, SMP, SMA, kuliah, pekerjaan, komunitas, dan seabreg grup-grup lainnya.
Kita tentu masih ingat peristiwa nenek Hindun yang jenazahnya tidak disholatkan di mushalla warga karena berbeda pilihan politik pada Pilkada DKI [3]. Tak heran kalau baru-baru ini kita mendengar, ada seorang driver ojek online yang tak sungkan-sungkan menurunkan penumpangnya karena berbeda pilihan capres [4]. Indonesia tidak pernah se-terbelah ini.
Sebagian teman sempat curhat kalau mereka punya dilemma. Kalau mereka menampakkan pilihan politiknya, maka itu akan mengganggu hubungan mereka, bukan hanya dengan teman, tapi dengan relasi-relasi yang terkait dengan pekerjaan. Begitu kita saling tahu pilihan politik kita, tidak jarang sebagian kita langsung merasa "ill-feeling" (bad feeling) satu sama lain, atau bahasa anak sekarang, "ilfil".
Sudah beberapa tahun ini, saya membina grup angklung yang anggotanya mayoritas remaja SMA dan mahasiswa tingkat awal (16 -- 19 tahun). Mereka ini punya orang tua. Saya sadar orang tua-orang tua mereka punya pilihan politik.Â
Karenanya saya tidak pernah sekalipun membahas masalah politik ketika bertemu mereka. Jangankan di forum, bertemu pribadi pun saya tidak pernah bicara politik. Khawatir terjadi "ill-feel" jika berbeda pilihan.Â
Saya tidak mau keharmonisan tim terganggu hanya karena Pilpres. Tim angklung punya tujuan mulia untuk melestarikan dan mempromosikan angklung ke dunia internasional. Akan sangat menyedihkan kalau itu rusak hanya gara-gara Pilpres.Â
Namun, hari demi hari, hoaks semakin meraja lela, kata-kata kasar, saling caci lambat laun semakin membudaya di masyarakat kita. Orang-orang yang tadinya terlihat pendiam dan santun, sekarang menjadi penggunjing, penyinyir dan bahkan pencaci-maki. Kosa kata dungu, tolol, goblok semakin mudahnya keluar dari mulut kita.Â
Orang-orang yang tadinya terlihat baik dan alim, sekarang menjadi penyebar hoaks dan fitnah. Bangsa yang santun ini bukan hanya berubah jadi bangsa yang pemarah, penyinyir dan pencaci-maki tapi juga menjadi bangsa pembohong. Kita sudah tidak peduli lagi dengan benar tidaknya suatu berita, asalkan itu memuaskan hawa nafsu kita, kita sebarkan. Penyebar berita bohong tak ubahnya adalah pembohong juga.
Bagi saya kejujuran adalah prinsip utama yang tidak bisa ditawar-tawar. Saya senantiasa menerapkan "zero tolerance" bagi ketidakjujuran. Sekali seseorang memberikan toleransi atau 'excuse' (pengecualian) terhadap ketidakjujuran, maka integritasnya sudah hancur, karena setelahnya kita tidak pernah tahu, apakah ia sedang jujur atau sedang menerapkan "excuse" untuk tidak jujur.Â
Ia bisa saja berdalih dengan sederet "excuse" untuk menjustifikasi kebohongannya. Karenanya saya senantiasa memegang prinsip honesty is the best policy. Kejujuran ini yang bisa memberikan "trust" (kepercayaan) kepada siapapun yang berhubungan dengan kita dan membuatnya nyaman.
Saya bisa bekerja dengan siapapun. Namun tidak dengan dengan orang-orang yang tidak jujur. Sekali ketidakjujuran terungkap maka game over. Selama 3,5 tahun tinggal di Manchester, flatmate di apartemen saya berganti-ganti dan berasal dari negara yang berbeda-beda, mulai dari Polandia, Italia, Irlandia, Yaman, Ceko, hingga Jerman.Â
Kami tinggal bertiga, ketika ada flatmate baru hadir, saya senantiasa ungkapkan, "Kejujuran itu segalanya buat saya. Kalau kamu sering kurang rapi, malas mencuci piring, acap kali membuat dapur berantakan, lupa jadwal membersihkan rumah, dan sebagainya, itu bisa saya toleransi dan kita bisa sama-sama memperbaikinya. Namun kalau sudah menyangkut masalah kejujuran, kamu tidak bisa tinggal di rumah ini.
Dan benar, saya pernah mengeluarkan seorang flatmate dari rumah karena berbohong. Mudah saja, hadirkan landlord ('Bapak Kos'), beri kesempatan kepada flatmate untuk membela diri, ketika terbukti berbohong, langsung out. Untungnya, landlord saya di Inggris sangat fair dan menjunjung tinggi integritas.
Prinsip ini saya terapkan tidak hanya di rumah, tetapi di mana pun saya beraktivitas; di kampus, di tempat kerja, di organisasi, bahkan di klub-klub olah raga yang saya ikuti. Saya pernah membongkar kasus penyelewengan keuangan di sebuah klub badminton di Manchester hingga setengah lebih anggota klub walk-out dan mendirikan klub baru.
Saya bahkan pernah memperkarakan hotel tempat saya bekerja, The Midland Hotel, ke pengadilan tenaga kerja (employment tribunal) karena ketidakjujuran dari pihak manajemen hotel dalam mengelola holiday pay.
Saya kehilangan pekerjaan dan harus berjuang selama 6 bulan hingga mendapat bantuan dari Lembaga Bantuan Hukum di Manchester dan perkara saya bisa masuk jadwal sidang pengadilan. Beberapa minggu menjelang sidang, The Midland Hotel dipublikasikan akan menjadi tuan rumah konferensi partai Konservatif ("The Tories") yang dipimpin oleh Perdana Menteri Inggris saat itu, David Cameron.Â
Perlawanan saya terhadap The Midland hotel masuk koran lokal yang didukung oleh serikat pekerja dengan headline, "Tories Conference Hotel Faces Tribunal". Ini tentu sangat memalukan pihak hotel. Mereka tidak pernah menyangka, anak kecil, mahasiswa kere, orang asing seperti saya, bakal terus nekat melawan sebuah giant corporation.Â
Sehari setelah berita dimuat di media, pengacara The Midland menawarkan settlement. Empat hari kemudian (atau 10 hari sebelum sidang pengadilan) The Midland melunasi semua holiday pay yang diperkarakan. Â Saya masuk koran lagi dengan headline yang baru, "Student Beats The Midland Hotel In Fight Over Pay". Kronolignya lengkapnya di sini [5].Â
Kita semua tentu masih ingat ketika kita digegerkan dengan video "telur palsu" yang kemudian terklarifikasi bahwa berita telur palsu itu adalah berita bohong [6]. Telur yang difitnah sebagai palsu, ternyata ia adalah telur asli dan 100% dari ayam. Habis menonton video itu, saya tersenyum-senyum sendiri, dan kemudian merenung. Mungkin inilah potret Indonesia saat ini.
Ada beberapa hal yang menarik di situ. Pertama, bapak yang memeragakan dan mengumumkan bahwa telur tersebut paslu, sangat yakin bahwa telur tersebut palsu. Beliau meyakinkan masyarakat bahwa kuning telurnya terbuat dari silikon dan dinding putih telurnya dilapisi kertas.Â
Kita kemudian tahu setelah beliau ditangkap polisi, dia mengaku bahwa dia hanya dapat informasi dari WA. Ironisnya sewaktu memeragakan telur palsu dia bilang, "Harus tabayyun memang kita ini!" Jadi si penyebar hoax ini merasa dirinya sudah tabayyun. Serendah itu memang definisi "tabayyun" buat sebagian masyarakat kita.
Kedua, masyarakat yang menghadiri peragaan langsung percaya, bahkan berterima kasih atas pengungkapan telur palsu ini. Terdengar ada yang mengatakan, "Bagus Si Bapa teliti!" Jadi celakanya doubled dan teramplifikasi. Ketika orang "ignorant" berbicara kepada sekumpulan orang "ignorant", hasilnya adalah amplifikasi dari kebodohan tadi. Tidak heran kalau berita ini langsung viral.
Ketiga, tidak ada satupun orang pun di dalam video yang kritis dan men-challenge si bapak. Padahal adalah suatu hal yang lumrah kalau kuning telur itu memang tidak pecah jika kita tuangkan ke piring. Selama tinggal di Eropa saya masak sendiri, dan telur adalah bahan yang paling sering saya masak. Entah sudah berapa ratus telur yang saya masak. Begitu saya lihat video itu, reaksi spontan saya, "Ya telur mah memang gitu". Dan saya cukup yakin, ibu-ibu yang berkerumun di situ juga sering memasak telur. Tapi kenapa kok tidak ada yang mengkritisi si bapak tadi?
Keempat, ketika ada kesalahan terjadi, insting kita adalah menumpahkan kesalahan itu kepada orang lain, bahkan kalau bisa kepada orang yang kita benci. Dalam video, si bapak mengutarakan bahwa si pembuat telor palsu ini adalah orang-orang Cina. Kasihan sekali orang Cina. Tidak tahu apa-apa tentang telur di Indonesia, tiba-tiba difitnah sebagai si pembuat telur palsu. Dari ratusan bangsa yang ada di dunia, kenapa harus bangsa Cina yang dituduh?
Kelima, dari penampilan fisik dan cara berbicaranya, terkesan bahwa bapak ini adalah orang baik-baik. Dari pakaiannya, menggunakan gamis dan peci haji, terkesan bahwa bapak ini orang yang agamis. Jadi orang yang terlihat baik dan agamis, tidak luput dari menyebarkan hoax.
Dan bahayanya ketika dia menyebarkan hoax dia tidak merasa sedang menyebarkan hoax. Dia merasa yakin sedang menyebarkan kebenaran dan merasa sudah tabayyun. Masyarakat yang tidak kritis, ikut mengamini, berterima kasih dan menyebarkannya lebih luas lagi. Karenanya tidak aneh kalau hoax tumbuh subur di negeri ini.
Dalam konteks Pilpres, saya amati ada tiga tipe penyebar hoax. Yang pertama adalah seperti si bapak tadi, dia merasa yakin dirinya benar dan sudah tabayyun padahal yang disebarkannya hoax. Kedua, tipe yang malas tabayyun, apapun yang dilihat, peduli benar atau bohong, yang penting sesuai dengan keinginannya, langsung disebarkan. Ketiga, adalah mereka sudah tahu bahwa berita ini adalah hoax, tapi tetap disebarkan demi memenuhi hawa nafsunya.
Sewaktu Pilgub Jabar tahun lalu, hoaks juga banyak beredar. Kebetulan saya sekeluarga tinggal di perumahan yang sama dengan orang tua dari Ridwan Kamil (RK). Almarhum ayah dari RK adalah salah satu sesepuh warga yang sangat dihormati, beliau adalah salah satu imam masjid dan ketua panitia pembangunan masjid di perumahan kami. Semua warga mengenal beliau sekeluarga hingga anak-anaknya.
Orang tua saya dan para tetangga sudah mengenal RK sejak dia masih balita. Ayah RK adalah anak seorang Kyai besar di Subang, Kyai Muhyiddin, atau dikenal dengan sebutan 'Mama Pagelaran'. Jika liburan tiba, anak-anak di perumahan kami dikirim ke Subang untuk ikut pesantren kilat. Saya pun pernah dikirim bersama adik RK yang paling bungsu. Singkat kata semua warga sangat kenal dan sangat hormat dengan keluarga RK.
Namun dalam Pilgub, nalar sebagian orang sudah tidak berjalan lagi. Beberapa tetangga yang sudah mengenal RK sejak kecil malah ikut menyebarkan hoax, memberitakan bahwa RK adalah syi'ah dan pro LGBT. Ini dilakukan lantaran pilihan mereka dalam Pilgub adalah rival dari RK. Sampai ada yang bilang, "Urang mah milih gubernur nu Islamna jelas we lah!" (Kita memilih gubernur tuh yang Islamnya jelas aja lah!). Dan menyedihkannya orang yang berbicara ini adalah orang yang berpendidikan, agamis, sering sholat berjamaah di masjid, aktif di pengajian dan menyaksikan sendiri RK tumbuh sejak kecil.
Bayangkan, orang yang agamis dan sudah mengenal RK sejak kecil saja ikut menyebarkan hoax syi'ah dan LGBT, dan mempertanyakan keislaman RK, apalagi mereka yang nun jauh di sana, yang belum pernah sama sekali bertemu dengan RK.
Saya kemudian coba merenung, mencari jawaban kenapa ini bisa terjadi. Pilpres-pilpres sebelum 2014 rasanya tidak ada penyebaran hoax sedahsyat ini, sampai masyarakat dan bahkan keluarga pun terbelah.
Kampanye hitam dan maraknya hoax dengan skala yang "massive" (dahsyat) baru terjadi di Pilpres 2014. Saya sempat menulis tentang ini di kompasiana, "Ketika Kampanye Hitam Gagal Menghentikan Orang Baik [7].Â
Jokowi dihantam berbagai kampanye hitam, mulai dari Jokowi anti islam, memiliki nama asli Hebertus, dikendalikan oleh kelompok Kristen, keturunan Cina, bapaknya adalah Oey Hong Liong, dibacking cukong-cukong Cina, Jokowi itu agen Zionis, agen Freemason, agen Amerika, agen Syiah, agen komunis, ibu-bapaknya PKI, Jokowi gagal di Solo, Jokowi mengkhianati sumpah jabatan, dan dan dan lainnya yang saking banyaknya, saya sudah tak ingat lagi.
Sampai ada orang yang berkata, "Kalau semua tuduhan itu benar berarti Jokowi itu melebihi superhero karena dia mampu menyatukan berbagai kekuatan yang saling berselisih yang ada di bumi ini, mulai dari agen Zionis, Syiah, Kristen, Freemason, Cina, Amerika, sampai Komunis, semuanya ada di Jokowi.
Kalau dikerucutkan, dua fitnah yang sangat sering dilekatkan ke Jokowi adalah Jokowi anti Islam dan keturunan PKI. Menyedihkannya orang-orang yang paling getol menyebarkan fitnah ini adalah orang-orang Islam juga, baik yang perorangan maupun kelompok, mulai dari simpatisan hingga kader-kader militan partai, mulai dari situs-situs penebar rumor yang membajak nama Islam, seperti VOA-Islam dan PKS-Piyungan, hingga para wartawan yang sudah menggadaikan idealisme dan integritasnya, seperti Nanik S. Deyang. Khusus kasus Nanik Deyang, saya menghabiskan waktu tiga hari untuk mengumpulkan ratusan screenshot dari status dan komentarnya di Facebook. Setelah melakukan riset kecil, saya menerbitkan artikel di kompasiana terkait dirinya, "Mempertanyakan Integritas Wartawan: Studi Kasus Tulisan Nanik S. Deyang [8].
Dalam sebuah obrolan di pinggir masjid, teman saya berkata, "Saya tidak peduli sama visi-misi, pertumbuhan ekonomi, dsb., alasan saya pilih Prabowo cuma satu, kita ini orang Islam!"
Inilah jahatnya mereka. Para kader dan simpatisan partai terus-menerus mengkampanyekan ke masyarakat bahwa Jokowi adalah musuh Islam. Mereka terus berikhtiyar, bergerilya agar umat Islam membenci Jokowi. Dan ini berhasil, terbukti tidak sedikit yang "benci buta" terhadap Jokowi, hingga saat ini. Bagi mereka, Jokowi adalah musuh Islam, memilih Prabowo adalah jihad bela Islam.
Dalam kondisi seperti ini, kita sudah tidak bisa berdiskusi obyektif lagi dengan mereka. Karena nalar mereka sudah tertutup oleh kebencian yang buta. Seperti kata ungkapan, kalau "cinta" sudah membuta, tai kambing pun rasa coklat. Dan tampaknya ini berlaku untuk kasus sebaliknya, kalau "benci" sudah membuta, coklat pun berasa tai kambing.
Dan puncak dari kampanye kebohongan ini adalah ketika PKS mengumumkan hasil real count Pilpres 2014 dengan hasil kemenangan untuk Prabowo-Hatta. Setelah diselidiki ternyata hasil real count yang diterbitkan oleh PKS angka-angkanya persis dengan hasil Polling yang dilakukan PKS pada 5 Juli 2014, atau empat hari sebelum Pemilu [9] , sehingga hasil real count PKS tersebut diduga palsu sebagaimana diberitakan oleh Republika [10].Â
Dari sekian banyak ustad yang ada di PKS, kok tidak ada satu pun yang mengingatkan PKS akan kebohongan ini, sampai-sampai Pak Prabowo, Pak Hatta Radjasa dan para tim sukses bersujud syukur bersama merayakan kemenangan. Setelahnya pun, bahkan hingga detik ini, sepengetahuan saya, tidak ada permintaan maaf dari PKS kepada seluruh masyarakat Indonesia akan kebohongan ini. Padahal sudah terang benderang bahwa Real Count yang diterbitkan PKS adalah sebuah kebohongan karena angka-angkanya persis sama dengan Polling PKS yang dilakukan empat hari sebelumnya.
Kenapa masyarakat kita sekarang terbelah, hubungan pertemanan banyak yang putus, caci-maki, kata-kata kasar, saling nyinyir makin membudaya, hoaks meraja-lela, dan banyak orang sudah tidak merasa malu lagi ketika menyebarkan berita bohong? Hipothesis saya sementara ini, tampaknya akarnya adalah dari Pilpres 2014, karena strategi kampanye yang dilakukan adalah membuat masyarakat benci kepada Jokowi dengan menebarkan berita-berita bohong bahwa Jokowi adalah musuh Islam. Bagi sebagian orang kebencian itu telah mengkristal menjadi "kebencian yang buta".
Beberapa hari yang lalu, beredar viral video seorang Ustadz yang menebarkan fitnah bahwa pemerintah akan melegalkan perzinahan, beriku video [11] dan transkripnya:
"Satu minggu ini Majelis Ulama Indonesia berduka cita. Karena pemerintah tengah mengajukan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUUPKS). MUI jelas menolak karena isi pasal-pasalnya mengerikan. Ada satu pasal yang membuat saya menangis di rumah. Pelajar dan mahasiswa yang belum menikah yang ingin melakukan hubungan seksual, maka pemerintah mesti menyediakan alat kontrasepsi untuk mereka. Anak-anak muda yang belum menikah kepingin berzinah, pemerintah mesti menyediakan kondom, supaya jangan hamil di luar nikah. Kalau ini disahkan berarti pemerintah telah mengesahkan perzinahan. Bahkan menyediakan kondom dan alat kotrasepsi bagi orang-orang yang mau berzinah. Sialnya nanti mahasiswa-mahasiswi boncengan, mau berzinah, belok ke puskemas, minta kondom sekotak. Suster ga ngasih, susternya dituntut dan masuk penjara karena melanggar undang-undang. Ini negara sudah gila. Yang membuat saya sedih kok pemerintah tega, mengajukan rancangan undang-undang serusak ini. RUU itu diajukan oleh pemerintah, disahkan oleh DPR. Kok tega negara memperlakukan rakyatnya seperti ini."
Beginilah jadinya kalau orang sudah benci buta, maka nalar dan hatinya juga ikut tertutup. Mulutnya dengan mudah mengumbar fitnah dan kebencian. Ia mengabaikan Al-Quran yang menyerukan kita bertabayyun terhadap sebuah berita. Ternyata Ustadz Tengku Zulkarnaen ini memang sudah sering menyebarkan berita bohong termasuk hoax Ratna Sarumpaet dan hoax 7 kontainer surat suara yang sudah dicoblos untuk paslon 01 yang katanya didatangkan dari China dan mempertanyakan pemilu yang tampaknya sudah dirancang untuk curang [12]. Kalau kita cermati akun twitter beliau, @ustadtengkuzul, ia memang tak pernah berhenti menebarkan kebencian kepada Jokowi dan pemerintah. Bahkan ada seorang netizen yang berusaha mengumpulkan hoax yang pernah diposting oleh Tengku Zulkarnain [13].
Ketika Tengku Zulkarnain diundang ke inews dan ditanya oleh Tubagus Ace Hasan Syadzily (Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI) pasal mana yang melegalkan perzinahan dan menyebutkan kewajiban pemerintah untuk menyediakan kondom kepada mereka yang ingin berzinah sebagaimana dituduhkan dalam videonya, Tengku Zulkarnain kelimpungan, dia tidak bisa memperlihatkan pasal yang ia tuduhkan [14].Â
Jadi Tengku Zulkarnain ini sebenarnya belum membaca draft RUU, tapi sudah menuduh macam-macam. Ketika diundang oleh inews yang skalanya nasional, seharusnya ia membaca dulu draft RUU, apalagi sudah banyak yang mengingatkan di twitter bahwa apa yang dituduhkannya itu adalah keliru. Tapi itulah dia, orang yang sudah gelap mata, sudah 'benci buta' terhadap pemerintah, ia tidak mau bertabayyun, ia nekat datang ke inews. Dan terbongkarlah semuanya, ternyata dia belum pernah baca pasal yang ia tuduhkan sendiri. Dan di akhir segmen ia mengakui bahwa ia baru mengetahui kalau RUU ini adalah inisiatif DPR, bukan usulan pemerintah [14].Â
Jadi kalau mau protes seharusnya ke DPR, bukan ke pemerintah. Sudah isi tuduhannya salah, dan salah alamat pula. Beginilah potret kebodohan orang yang mengaku dirinya Ustadz.
Kebodohan ini disampaikan kepada jamaahnya, dan dipercayai sebagai sebuah kebenaran. Kebodohan ini kemudian disebarkan lebih luas lagi lewat video dan viral di media sosial. Â Celakanya banyak orang yang percaya akan kebohongan ini, terutama mereka yang membenci pemerintah karena ini adalah amunisi untuk mendiskreditkan Jokowi.
Karena yang menyebarkan seorang Ustadz yang sohor (dengan 172 ribu followers di twitter) maka banyak masyarakat yang percaya, termasuk para ustadz-ustadz di daerah. Di antaranya adalah Ustadz Supriyanto di Banyuwangi. Ia mengamplifikasi pernyataan Tengku Zulkarnain bahwa pemerintah akan melegalkan perzinahan sehingga para jamaahnya harus memilih paslon 02. Sialnya, ketika menyampaikan kebohongan ini kepada jamaahnya, ada warga yang merekamnya, maka videonya pun viral di media sosial [15]. Supriyanto pun diciduk polisi karena menyebarkan hoax di area masjid [16].Â
Seharusnya bukan cuma Supriyanto, tapi Tengku Zulkarnain juga ditangkap polisi karena ia yang pertama kali menyebarkan fitnah ini lewat ceramahnya. Tapi siapa yang bisa menangkap beliau, secara beliau ini adalah Wasekjen MUI. Kalau ditangkap, bisa jadi wacana kriminilasi ulama akan kembali dimainkan. Sehari setelah Supriyanto ditangkap Tengku Zulkarnain meminta maaf lewat twitter [17] , berikut isi tulisannya,
"Stlh mencermati isi RUUP-KS sy tdk menemukan pasal penyediaan alat kontrasepsi oleh Pemerintah utk pasangan Remaja dan Pemuda yg ingin melakukan hubungan suami isteri. Dengan ini saya mencabut isi ceramah saya tentang hal tersebut. Dan meminta maaf krn mendapat masukan yg salah."
Semudah itu seseorang meminta maaf, dan hanya lewat sebuah caption di twitter, sementara fitnah yang telah ia lancarkan sudah menyebar ke ribuan atau bahkan jutaan orang. Tengku Zulkarnain ini bak menyiram bensi ke bara api. Orang-orang yang sudah benci terhadap Jokowi, makin menjadi-jadi kebenciannya. Masyarakat di akar rumput yang termakan hoax ini makin percaya bahwa mereka sedang berjuang melawan pemerintahan yang anti islam.
Kita tentu masih ingat, baru-baru ini viral video seorang ibu dengan baju PKS melakukan kampanye hitam door-to-door di Makassar [18]. Ia mengatakan bahwa jika Jokowi menang maka pelajaran agama akan dihapuskan dan pesantren akan diubah jadi sekolah umum. Berikut transkripnya:
"Kita pikirkan nasib agama kita, anak-anak kita, walaupun kita tidak menikmati. Tapi lima tahun, sepuluh tahun yang akan datang ini, apakah kita mau kalau pelajaran agama di sekolah dihapuskan oleh Jokowi bersama menteri-menterinya? Itu kan salah satu programnya mereka. Yang pertama, pendidikan agama dihapuskan dari sekolah-sekolah. Terus rencananya mereka itu, pesantren itu akan menjadi sekolah umum."
Ibu-ibu simpatisan PKS ini merasa sedang berjuang menyelamatkan Islam dari rezim Jokowi yang anti Islam. Dan itulah memang yang didoktrinkan di pengajian-pengajian, di masjid-masjid, di kampus-kampus, di grup-grup Whatsapp. Mereka dibuat membenci Jokowi dan pemerintahan sekarang ini demi memenangkan Pilpres 17 April nanti.
Tidak lama sebelumnya, tiga emak-emak di Karawang terekam kamera melakukan kampanye hitam door-to-door, menyebarkan hoaks bahwa jika Jokowi menang maka tidak akan ada lagi adzan dan pernikahan sesama jenis akan dilegalkan [19]. Berikut transkripnya:Â
"2019 kalau dua periode, moal aya deui sora azan, moal aya budak ngaji, moal aya nu make tiyung. Awewe jeung awewe meunang kawin, lalaki jeung lalaki meunang kawin." Â
(2019 kalau dua periode, tidak akan ada lagi suara adzan, tidak akan ada lagi yang memakai kerudung. Perempuan dengan perempuan boleh kawin. Lelaki dengan lelaki boleh kawin).
Video ini direkam oleh salah satu pelaku dan disebarkan lewat akun twitternya, @citrawida5, dengan caption,
"Masuk di kawasan merah, sesulit apapun akan kita coba putihkan. Si abah ini, dia tidak tau berita terbaru dan ga mengerti dengan kebijakan kebijakan apa yang bakal diresmikan 01 jika menang lagi, semoga tercerahkan @PEPESOfficial "
Jadi ketiga orang emak-emak ini mereka tidak merasa sedang menebarkan hoax, mereka dengan bangganya mengunggah di twitter dan mentag @PEPESOfficial , Partai Emak-Emak Pendukung Prabowo Sandi (PEPES), kumpulan relawan emak-emak dimana Fadli Zon bertindak sebagai penasihatnya [20].Â
Seberapa pun tidak rasional-nya berita, tapi ketiga emak-emak ini percaya bahwa azan, mengaji dan kerudung tidak akan ada lagi jika Jokowi menang. Malah mereka 'gemes' dengan Si Abah yang mereka anggap tidak  mengerti dengan kebijakan-kebijakan yang akan terjadi jika Jokowi menang, dan berharap Si Abah bisa tercerahkan.
 Beginilah jadinya kalau orang bodoh mengkampanyekan kebodohan dan menganggap orang yang dikampanyekannya bodoh.Â
Jangan salah, emak-emak ini, termasuk emak simpatisan PKS di Makassar, dan ustadz-ustadz yang tak henti-hentinya menebarkan kebohongan. Mereka ini merasa sedang berjuang di jalan Allah, sedang berjuang agar Adzan masih tetap berkumandang, agar anak-anak masih mengaji dan berkerudung, agar pemerintah tak melegalkan pernikahan sesama jenis, agar pemerintah tak melegalkan perzinahan, dsb.
 Padahal sejatinya mereka ini sedang dibodohi, sedang dieksploitasi (dimanfaatkan) oleh kelompok yang ingin menggapai kekuasan dengan menghalalkan segala cara.Â
Celakanya Ustadz dan emak-emak ini, mereka yakin apa yang mereka kampanyekan itu semuanya benar seperti yakinnya kita bahwa semua itu adalah salah, bohong, hoax dan fitnah belaka.
Fenomena ustadz dan emak-emak ini adalah potret riil masyarakat kita. Kasus di atas hanyalah puncak dari fenomena gunung es. Kasus-kasus di atas hanyalah segelintir kasus yang terekam kamera, yang pada kenyataannya fenomena penyebaran hoax seperti ini bisa jadi sudah sangat "massive" dan menjamur di masyarakat. Selevel Wasekjen MUI saja sudah separah itu, menelanjangi kebodohannya sendiri di depan publik. Apalagi masyarakat di akar rumput. Mereka belum terbiasa dengan budaya literasi, budaya cek-dan-ricek.  Mereka akan sami'na wa atho'na, kami dengar dan kami ta'ati.
Saya kadang berpikir, orang-orang ini apa tidak cape, tiap hari selalu diliputi kebencian. Pikirannya, mulutnya, jarinya, tak berhenti untuk membenci, menyinyir dan menghina. Energi yang dibawa dan dipancarkan adalah energi negatif. Kebencian yang buta itu memang menutup hati dan nalar. Mungkin inilah mengapa, Allah SWT memperingatkan kita dalam Al-Quran, Surat Al-Maidah ayat 8: "Dan janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap sesuatu kaum mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa."
Tapi kalau kebencian sudah menutup nalar dan hati, firman Tuhan untuk bertabayyun dan berlaku adil akan hanya dianggap angin lalu.Â
Rakyat yang termakan hoax ini adalah korban. Mereka berpikir mereka sedang berjihad untuk Islam, sedang berjuang melawan rezim yang anti Islam, sedang membela agama Islam. Sungguh mereka sama sekali tidak berjuang untuk Islam. Mereka sejatinya tengah berjuang untuk memenuhi hawa nafsu sekelompok orang yang mencoba menggapai kekuasaan dengan menghalalkan segala cara, dengan menebarkan fitnah dan kebohongan.Â
Saya seringkali ingin bertanya kepada mereka yang menyebarkan hoax ini. Kalau ternyata apa yang mereka sebarkan itu salah bagaimana? Jika ternyata bahwa Jokowi itu tidak anti Islam, bahwa Jokowi itu bukan PKI, bahwa Jokowi itu bukan antek Cina, bagaimana? Bagaimana jika ternyata Jokowi itu adalah orang yang jujur, tulus, dan soleh?
Â
Yang jelas, Tuhan tidak tidur. Sekecil apa pun perbuatan kita, baik atau buruk, pasti ada balasannya. Semuanya akan terbayarkan. Allah SWT Maha Mendengar dan Maha Melihat. Tidak ada sekecil butir atom pun yang luput dari pengetahuan-Nya. Kampanye yang dilandasi dengan kebohongan tidak akan pernah membawa berkah, tidak akan sedikitpun mendatangkan kebaikan.
Â
Orang yang paling jahat adalah para mastermind (dalang) yang berada di belakang kampanye hitam ini. Yang terus membakar suluh agar mesin-mesin partai, para kader dan semua simpatisannya tidak pernah berhenti menyuarakan hoaks dan kebencian, terus bergerilya dari satu pengajian ke pengajian lainnya, dari masjid ke masjid, dari kampus ke kampus, dari kampung ke kampung, door-to-door dari rumah ke rumah, dari satu grup WA ke grup WA lainnya.
Â
Para mastermind ini tidak peduli dengan masa depan Indonesia. Mau bangsa ini terpecah-belah, saling bertikai. Mereka tidak peduli, tujuan mereka adalah menggapai kekuasaan, dengan cara apapun, bahkan yang haram sekalipun.
Â
Kalau kebohongan dan menghalalkan segala cara dijadikan landasan dalam mengelola negara ini, maka negara ini tak ubahnya seperti hukum rimba. Kita tidak bisa membiarkan kebohongan dan fitnah berkuasa di negeri ini.
Â
Kita punya tanggung jawab untuk mempertahankan prinsip kejujuran. Kita punya tanggung jawab untuk menjaga keutuhan negara ini. Kita punya tanggung jawab untuk menjaga kewarasan masyarakat kita. Kita punya tanggung jawab terhadap setiap tetes keringat dan darah yang sudah dikorbankan oleh para pahlawan demi merdekanya bangsa ini. Kita punya tanggung jawab terhadap anak cucu kita yang kelak akan mewarisi bangsa ini.
Â
Pemilu 2019 tidak sama dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Ia bukan hanya sebuah perhelatan rutin lima tahunan untuk memilih kepala negara dan wakilnya. Pemilu 2019 ini menentukan nasib bangsa kita ke depan.Â
Â
Kita tidak bisa berdiam diri lagi. Kita harus bangkit dan berjuang besama-sama melawan semua kebohongan dan ketidakwarasan ini.
Â
Pilihannya ada di kita.
Â
Apakah kita akan berdiam diri saja, menyaksikan para pengendara motor yang tidak waras berseliweran di jalanan seenak perut mereka, melanggar peraturan dengan vulgar, berteriak dengan lantang, mencaci-maki, mengintidamidasi dan mencelakakan kita, para pengendara yang waras yang patuh kepada peraturan lalu lintas?
Â
Atau kita akan bangkit melawan ketidakwarasan ini?
Â
Apakah kita akan berdiam diri saja, menyaksikan orang-orang yang tidak waras berseliweran menyebarkan fitnah, hoax dan kabar bohong dengan vulgar, berteriak lantang dengan mengatasnamakan agama, menebarkan kebencian, mencaci-maki, mengintimidasi dan mencelakakan kita, orang-orang yang waras yang menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran?
 Atau kita bangkit, melawan segala kebohongan dan ketidakwarasan ini?
Saya mengajak teman-teman, untuk sama-sama meluangkan waktu, berhenti sejenak dari segala aktivitas dan merenung, yang muslim dan biasa bangun malam, bisa melakukannya setelah tahajud.
Kita coba bertanya kepada hati kecil kita, apakah selama ini kita sudah melakukan cek-ricek (tabayyun) terhadap berita-berita yang kita yakini, terhadap tuduhan-tuduhan yang kita sebarkan? Bagaimana kalau ternyata yang kita tuduhkan, yang kita sebarkan itu ternyata tidak benar adanya? Jangan-jangan kita sedang memperjuangkan sesuatu yang salah.
Apakah kita cukup memberi energi positif dan turut serta menjadi solusi atau kita justeru kerap kali memberikan energi negatiF dan malah menjadi bagian dari masalah? Apakah kita termasuk golongan yang ikut serta memberantas hoax atau sebaliknya ikut serta mendorong berkembangbiaknya hoax?
Mari sejenak kita hilangkan kebencian dari diri kita, menenangkan diri, menghilangkan semua energi negatif yang ada, mencoba mendengarkan kejujuran yang dibisikkan hati kecil kita.
Mudah-mudahan Allah SWT mengampuni segala kesalahan dan kekhilafan kita. Aamieeen.
BERSAMBUNG ...
REFERENSI
[1] NMax Putih: Akhir Perjalanan Sepasang Sepatu Bola (Facebook, 03 Feb 2019) facebook.com
[2] NMax Putih: Akhir Perjalanan Sepasang Sepatu Bola (Line, 06 Feb 2019) timeline.line.me
[3] Jenazah Nenek Hindun Ditelantarkan Warga Setelah Pilih Ahok (Liputan6.com, 10 Mar 2017) liputan6.com
[4] Turunkan Penumpang karena Beda Pilihan Capres, Driver Grab Dinonaktifkan (Kompas.com, 26 Feb 2019) megapolitan.kompas.com
[5] THE MIDLAND HOTEL REMOVED GAGGING ORDER AND PAID SETTLEMENT TO AVOID TRIBUNAL (Facebook, 10 Sep 2011) www.facebook.com
[7] Ketika Kampanye Hitam Gagal Menghentikan Orang Baik (Kompasiana, 13 Jul 2014), kompasiana.com/maulanasyuhada
[8] Mempertanyakan Integritas Wartawan: Studi Kasus Tulisan Nanik S. Deyang (Kompasiana, 4 Jul 2014), kompasiana.com/maulanasyuhada
[9] Ini Hasil Real Count oleh PKS di 33 Provinsi (Merdeka.com, 10 Jul 2014), merdeka.com
[10] Real Count PKS diduga palsu (Republika, 11 Jul 2014), republika.co.id
[11] Mengejutkan | ustad tengku zulkarnain pemerintah ajukan RUU P-KS (26 Feb 2019)
https://youtu.be/_uz1AujzftU
[12] Tengku Zulkarnain Jelaskan soal Cuitan 7 Kontainer Surat Suara Tercoblos (4 Jan 2019) news.detik.com
[13] Kumpulan Hoax Tengku Zulkarnain (Twitter.com, 6 Feb 2018) twitter.com/narkosun
[16] Sebut Jokowi Legalkan Zina, Ustaz di Banyuwangi Ditangkap Polisi (Merdeka.com, 12 Mar 2019) merdeka.com
[17] Permintaan maaf Ustadz Tengku Zulkarnain (Twitter, 12 Mar 2019) twitter.com/ustadtengkuzul
[18] INI WAJAH EMAK PKS SEBAR KAMPANYE HITAM (Youtube, 5 Mar 2019)
[20] Fadli Zon Akui Jadi Penasihat Relawan Pepes (Kompas.com, 26 Feb 2019) nasional.kompas.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H