Kedua, masyarakat yang menghadiri peragaan langsung percaya, bahkan berterima kasih atas pengungkapan telur palsu ini. Terdengar ada yang mengatakan, "Bagus Si Bapa teliti!" Jadi celakanya doubled dan teramplifikasi. Ketika orang "ignorant" berbicara kepada sekumpulan orang "ignorant", hasilnya adalah amplifikasi dari kebodohan tadi. Tidak heran kalau berita ini langsung viral.
Ketiga, tidak ada satupun orang pun di dalam video yang kritis dan men-challenge si bapak. Padahal adalah suatu hal yang lumrah kalau kuning telur itu memang tidak pecah jika kita tuangkan ke piring. Selama tinggal di Eropa saya masak sendiri, dan telur adalah bahan yang paling sering saya masak. Entah sudah berapa ratus telur yang saya masak. Begitu saya lihat video itu, reaksi spontan saya, "Ya telur mah memang gitu". Dan saya cukup yakin, ibu-ibu yang berkerumun di situ juga sering memasak telur. Tapi kenapa kok tidak ada yang mengkritisi si bapak tadi?
Keempat, ketika ada kesalahan terjadi, insting kita adalah menumpahkan kesalahan itu kepada orang lain, bahkan kalau bisa kepada orang yang kita benci. Dalam video, si bapak mengutarakan bahwa si pembuat telor palsu ini adalah orang-orang Cina. Kasihan sekali orang Cina. Tidak tahu apa-apa tentang telur di Indonesia, tiba-tiba difitnah sebagai si pembuat telur palsu. Dari ratusan bangsa yang ada di dunia, kenapa harus bangsa Cina yang dituduh?
Kelima, dari penampilan fisik dan cara berbicaranya, terkesan bahwa bapak ini adalah orang baik-baik. Dari pakaiannya, menggunakan gamis dan peci haji, terkesan bahwa bapak ini orang yang agamis. Jadi orang yang terlihat baik dan agamis, tidak luput dari menyebarkan hoax.
Dan bahayanya ketika dia menyebarkan hoax dia tidak merasa sedang menyebarkan hoax. Dia merasa yakin sedang menyebarkan kebenaran dan merasa sudah tabayyun. Masyarakat yang tidak kritis, ikut mengamini, berterima kasih dan menyebarkannya lebih luas lagi. Karenanya tidak aneh kalau hoax tumbuh subur di negeri ini.
Dalam konteks Pilpres, saya amati ada tiga tipe penyebar hoax. Yang pertama adalah seperti si bapak tadi, dia merasa yakin dirinya benar dan sudah tabayyun padahal yang disebarkannya hoax. Kedua, tipe yang malas tabayyun, apapun yang dilihat, peduli benar atau bohong, yang penting sesuai dengan keinginannya, langsung disebarkan. Ketiga, adalah mereka sudah tahu bahwa berita ini adalah hoax, tapi tetap disebarkan demi memenuhi hawa nafsunya.
Sewaktu Pilgub Jabar tahun lalu, hoaks juga banyak beredar. Kebetulan saya sekeluarga tinggal di perumahan yang sama dengan orang tua dari Ridwan Kamil (RK). Almarhum ayah dari RK adalah salah satu sesepuh warga yang sangat dihormati, beliau adalah salah satu imam masjid dan ketua panitia pembangunan masjid di perumahan kami. Semua warga mengenal beliau sekeluarga hingga anak-anaknya.
Orang tua saya dan para tetangga sudah mengenal RK sejak dia masih balita. Ayah RK adalah anak seorang Kyai besar di Subang, Kyai Muhyiddin, atau dikenal dengan sebutan 'Mama Pagelaran'. Jika liburan tiba, anak-anak di perumahan kami dikirim ke Subang untuk ikut pesantren kilat. Saya pun pernah dikirim bersama adik RK yang paling bungsu. Singkat kata semua warga sangat kenal dan sangat hormat dengan keluarga RK.
Namun dalam Pilgub, nalar sebagian orang sudah tidak berjalan lagi. Beberapa tetangga yang sudah mengenal RK sejak kecil malah ikut menyebarkan hoax, memberitakan bahwa RK adalah syi'ah dan pro LGBT. Ini dilakukan lantaran pilihan mereka dalam Pilgub adalah rival dari RK. Sampai ada yang bilang, "Urang mah milih gubernur nu Islamna jelas we lah!" (Kita memilih gubernur tuh yang Islamnya jelas aja lah!). Dan menyedihkannya orang yang berbicara ini adalah orang yang berpendidikan, agamis, sering sholat berjamaah di masjid, aktif di pengajian dan menyaksikan sendiri RK tumbuh sejak kecil.
Bayangkan, orang yang agamis dan sudah mengenal RK sejak kecil saja ikut menyebarkan hoax syi'ah dan LGBT, dan mempertanyakan keislaman RK, apalagi mereka yang nun jauh di sana, yang belum pernah sama sekali bertemu dengan RK.
Saya kemudian coba merenung, mencari jawaban kenapa ini bisa terjadi. Pilpres-pilpres sebelum 2014 rasanya tidak ada penyebaran hoax sedahsyat ini, sampai masyarakat dan bahkan keluarga pun terbelah.