Mohon tunggu...
MATTHEW ELIANSYAH
MATTHEW ELIANSYAH Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Dian Nusantara

Mahasiswa S1 Prodi Akuntansi - Universitas Dian Nusantara - NIM 121221126 - Mata kuliah Akuntansi Perpajakan - dosen pengampu Prof. Apollo Daito, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pajak Tangguhan: Keberatan dan Banding

2 Juli 2024   23:53 Diperbarui: 3 Juli 2024   00:07 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Prof. Dr. Apollo Daito, M. Si. Ak

Pajak Tangguhan

Pajak tangguhan adalah beban pajak (deferred tax expense) atau manfaat pajak (deferred tax income) yang akan mempengaruhi jumlah pajak yang harus dibayar atau diterima di masa depan. Pajak tangguhan ini muncul karena adanya perbedaan waktu pengakuan pendapatan atau beban antara peraturan perpajakan (fiskal) dan standar akuntansi keuangan (komersial). Perbedaan waktu ini menyebabkan pendapatan atau beban yang diakui dalam setiap periode berbeda antara laporan keuangan untuk tujuan komersial dan laporan keuangan untuk tujuan perpajakan, meskipun secara keseluruhan jumlah total pendapatan atau beban yang diakui sama antara keduanya. Oleh karena itu, perbedaan ini dikenal sebagai perbedaan temporer (temporary difference). Beban atau manfaat pajak tangguhan tidak mempengaruhi jumlah pajak terutang yang dihitung sesuai dengan peraturan perpajakan untuk periode berjalan (pajak kini).

Perbedaan temporer terjadi karena perbedaan dalam perlakuan akuntansi dan perpajakan terhadap berbagai transaksi. Misalnya, depresiasi aset tetap mungkin dihitung secara berbeda dalam laporan keuangan komersial dan laporan keuangan perpajakan. Dalam laporan keuangan komersial, depresiasi mungkin dihitung menggunakan metode garis lurus, sementara dalam laporan perpajakan, depresiasi mungkin dihitung menggunakan metode saldo menurun. Perbedaan ini menciptakan pajak tangguhan karena jumlah depresiasi yang diakui dalam setiap periode berbeda, meskipun total depresiasi yang diakui selama umur aset sama.

Pengaturan mengenai pajak tangguhan di Indonesia diatur dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 46 tentang Akuntansi Pajak Penghasilan. PSAK No. 46 memberikan pedoman mengenai pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan pajak penghasilan, termasuk pajak tangguhan. Standar ini membantu memastikan bahwa perusahaan melaporkan kewajiban pajak mereka secara akurat dan konsisten, serta mencerminkan perbedaan temporer yang ada antara aturan akuntansi dan perpajakan.

Terdapat dua jenis Pajak Tangguhan, yaitu :

  • Aktiva Pajak Tangguhan (Deferred Tax Assets/DTA)

Aktiva Pajak Tangguhan (Deferred Tax Assets) adalah jumlah pajak penghasilan yang dapat dipulihkan di masa mendatang akibat adanya:

- Perbedaan temporer yang dapat dikurangkan (deductible temporary differences).

- Sisa kerugian yang belum dikompensasikan.

Penilaian kembali Aktiva Pajak Tangguhan harus dilakukan pada setiap tanggal neraca untuk menilai kemungkinan pemulihan aktiva pajak tangguhan tersebut di masa depan. Aktiva Pajak Tangguhan harus disajikan secara terpisah dalam neraca, ditempatkan dalam kategori aktiva tidak lancar.

Pengukuran Aktiva Pajak Tangguhan didasarkan pada peraturan pajak yang berlaku saat ini. Efek dari perubahan peraturan perpajakan yang mungkin terjadi di masa depan tidak boleh diantisipasi atau diperkirakan.

  • Kewajiban Pajak Tangguhan (Deferred Tax Liabilities/DTL)

Kewajiban Pajak Tangguhan (Deferred Tax Liabilities) adalah jumlah pajak penghasilan yang akan terutang di masa mendatang akibat adanya perbedaan temporer kena pajak (taxable temporary differences).

Perbedaan temporer ini timbul sebagai akibat logis dari adanya perbedaan standar atau ketentuan yang berkaitan dengan pengakuan (kriteria dan periode), serta pengukuran elemen-elemen laporan keuangan yang berlaku dalam akuntansi perpajakan (ketentuan perpajakan) di satu pihak, dan standar atau ketentuan yang berlaku dalam akuntansi keuangan di pihak lain.

Kewajiban Pajak Tangguhan harus disajikan secara terpisah dalam neraca, ditempatkan dalam kategori kewajiban tidak lancar, berbeda dari kewajiban pajak kini.

Keberatan Pajak

Keberatan pajak adalah mekanisme yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) bagi Wajib Pajak yang merasa tidak puas atau tidak setuju dengan hasil pemeriksaan pajak yang dilakukan oleh otoritas pajak. Mekanisme ini memungkinkan Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan terhadap keputusan atau ketetapan yang diterbitkan oleh DJP. Menurut Undang-undang (UU) Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pada Pasal 25 menjelaskan jenis-jenis surat ketetapan pajak yang dapat diajukan keberatan oleh wajib pajak, diantaranya :

  • Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB);
  • Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB);
  • Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT);
  • Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)
  • Pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perpajakan.

Berdasarkan Pasal 4 Ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 9 Tahun 2013 yang telah diubah dengan PMK 202/2015, terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh Wajib Pajak saat mengajukan keberatan, yaitu:

- Keberatan harus diajukan secara tertulis dan menggunakan bahasa Indonesia.

- Wajib Pajak harus menyebutkan jumlah pajak terutang, jumlah pajak yang dipotong atau dipungut, atau jumlah kerugian menurut perhitungan Wajib Pajak sendiri, serta menyertakan alasan yang menjadi dasar perhitungan tersebut.

- Setiap keberatan hanya boleh diajukan untuk satu surat ketetapan pajak, satu pemotongan, atau satu pemungutan pajak. Ini harus sesuai dengan kasus spesifik yang menjadi alasan keberatan Wajib Pajak.

- Wajib Pajak harus melunasi pajak yang harus dibayar paling sedikit sesuai dengan jumlah yang disetujui dalam pembahasan hasil akhir sebelum surat keberatan diajukan. Syarat ini hanya berlaku untuk kasus pajak kurang bayar.

- Keberatan harus diajukan dalam waktu tiga bulan sejak tanggal surat ketetapan pajak diterima atau sejak terjadinya pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga. Waktu ini dapat diperpanjang jika Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa kondisi di luar kendalinya menghalangi pemenuhan batas waktu tersebut.

- Surat keberatan harus ditandatangani oleh Wajib Pajak sendiri. Jika ditandatangani oleh pihak lain, maka harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sesuai Pasal 32 Ayat (3) Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

- Wajib Pajak tidak boleh mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 UU KUP.

Sumber : Prof. Dr. Apollo Daito, M. Si. Ak
Sumber : Prof. Dr. Apollo Daito, M. Si. Ak

Undang-undang KUP telah mengatur mengenai langkah-langkah yang harus diambil setelah keberatan pajak dari Wajib Pajak ditolak atau hanya sebagian dikabulkan. Pasal 25 ayat (9) menjelaskan bahwa jika Wajib Pajak tidak mengajukan banding setelah keberatan tersebut diputuskan, jumlah pajak yang harus dibayarnya berdasarkan keputusan keberatan akan dikurangi dengan jumlah pajak yang telah dibayarkan sebelumnya, dengan batas waktu pembayaran selambat-lambatnya satu bulan setelah tanggal keputusan tersebut diterbitkan. Jika Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban ini, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan melakukan penagihan secara paksa.

Selain itu, jika keberatan diajukan tanpa permohonan banding, Wajib Pajak akan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 30% dari jumlah pajak yang seharusnya dibayar berdasarkan keputusan keberatan yang dikabulkan sebagian oleh DJP. Namun, jika Wajib Pajak mengajukan banding terhadap keputusan tersebut, sanksi administrasi berupa denda sebesar 30% tidak akan diberlakukan.

Banding Pajak

Menurut Undang-undang Nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan pajak, pada pasal 1 ayat 6 menjelaskan adanya peraturan mengenai Banding Pajak sebagai sebuah mekanisme hukum yang memungkinkan Wajib Pajak atau penanggung pajak untuk menyelesaikan perselisihan yang timbul dari keputusan administrasi yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Saat Wajib Pajak atau penanggung pajak merasa tidak puas dengan keputusan keberatan yang telah diterima dari DJP, mereka memiliki hak untuk mengajukan permohonan banding kepada badan peradilan pajak yang berwenang.

Proses banding ini dimulai setelah terjadi ketidaksetujuan terhadap hasil keputusan keberatan, yang dapat berupa penolakan atau pengabulan sebagian dari keberatan yang diajukan terhadap Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN), atau terkait keputusan atas pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan peraturan perpajakan yang berlaku. Dalam konteks ini, banding memberikan kesempatan bagi Wajib Pajak atau penanggung pajak untuk mencari keadilan atau klarifikasi lebih lanjut mengenai interpretasi atau penerapan ketentuan perpajakan dalam kasus mereka.

Dalam proses banding, terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh Wajib Pajak agar permohonan banding dapat diterima dan diproses oleh badan peradilan pajak yang berwenang:

1. Wajib Pajak hanya dapat mengajukan satu surat banding untuk setiap keputusan administratif yang mereka ajukan banding.

2. Permohonan banding harus diajukan secara tertulis menggunakan bahasa Indonesia dalam waktu tiga bulan sejak Wajib Pajak menerima keputusan keberatan. Namun, jangka waktu ini dapat dikecualikan jika terdapat ketentuan lain dalam peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

3. Surat banding yang diajukan harus dilampiri dengan salinan lengkap surat keputusan keberatan yang telah diputuskan sebelumnya.

4. Pengajuan banding hanya dapat dilakukan jika jumlah pajak terutang yang harus dibayar oleh Wajib Pajak telah dibayarkan sebesar minimal 50 persen dari total jumlah yang terutang.

5. Wajib Pajak wajib melampirkan bukti setoran pajak (Surat Setoran Pajak/SSP) yang relevan sebagai bukti bahwa pembayaran sebagian dari pajak terutang telah dilakukan.

Proses banding dimulai saat wajib pajak mengajukan surat banding ke Pengadilan Pajak setelah menerima surat keputusan keberatan pajak, dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Wajib pajak mengajukan surat banding ke Pengadilan Pajak dalam waktu maksimal tiga bulan setelah surat keputusan keberatan pajak diterbitkan.

2. Pengadilan Pajak meminta Surat Uraian Banding (SUB) dari DJP atau Kantor Pajak dalam waktu maksimal 14 hari setelah menerima surat banding.

3. DJP atau Kantor Pajak mengirimkan SUB ke Pengadilan Pajak dalam waktu maksimal tiga bulan setelah permintaan dari Pengadilan Pajak.

4. Pengadilan Pajak memberikan salinan SUB kepada wajib pajak dan meminta bantahan atas SUB tersebut, paling lambat 14 hari setelah menerima SUB.

5. Wajib pajak menyampaikan bantahan atas SUB ke Pengadilan Pajak paling lambat 30 hari setelah permintaan tersebut diterima.

6. Pengadilan Pajak meneruskan salinan bantahan ke DJP dalam waktu maksimal 14 hari setelah menerima bantahan dari wajib pajak.

7. Pengadilan Pajak mengadakan sidang pemeriksaan dengan kehadiran DJP dan wajib pajak, dalam jangka waktu 12 bulan sejak surat banding diajukan, dapat diperpanjang maksimal 3 bulan.

8. Setelah persidangan selesai, pengadilan mengirim undangan sidang pembacaan putusan banding kepada wajib pajak tanpa waktu yang ditentukan.

9. Pengadilan Pajak mengirim salinan putusan banding kepada pihak-pihak terkait dalam waktu 30 hari setelah putusan diucapkan.

Putusan banding dapat dieksekusi oleh DJP dalam 30 hari setelah diterima. Jika ada ketidakpuasan, wajib pajak atau DJP dapat mengajukan peninjauan kembali.

Sumber : Prof. Dr. Apollo Daito, M. Si. Ak
Sumber : Prof. Dr. Apollo Daito, M. Si. Ak

Referensi :

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun