Tweet dari akun @PeterGontha, Jum'at (13/9) kemarin cukup menarik perhatian. Isinya: "Kemarin saya diterima Menpar Arief Yahya. Dengan semangat saya menceritakan pengalaman saya, dengan senyum tanpa satu katapun reaksi beliau. Ya sudah kita kerja tanpa beliau."
Tweet (kicauan) yang diposting pukul 8.56 tersebut direspon oleh 51 pemilik akun twitter dan di-retweet sebanyak 68 kali, 93 menyukai.
Tiga menit kemudian @PeterGontha berkicau lagi, Isinya masih ada kaitan dengan yang pertama: "jauh saya datang dari Polandia....di ganda senyum, saya persilahkan diri saya sendiri untuk minum teh yang sudah disajikan, untuk segera cabut, dlm 8 menit saya sudah keluar dari kantornya"
 Tweet ini mendapat 7 tanggapan, 11 retweet dan 21 suka.
 Pada pukul 9.03 @PeterGontha kembali berkicau. "saya merasa bahwa menpar lebih mengerti segalanya dari kita kita, semoga dia sadar bahwa tanpa pembantunya di Kemenpar, yg diacuhin, tourisme tidak akan maju."
 Masih ada kaitannya yang sama, akun @PeterGontha menampilkan sebuah foto kaus kaki warna hitam bermotif bunga merah. Di situ dia berkicau: mungkin dia iri melihat kaus kaki saya yang berwarna-warni...hehehe
Ini mendapat 5 tanggapan, 12 kali diretweet dan 21 menyukai.
Tanggapan atas keempat kicauannya itu bermacam-macam. Umumnya menyemangati pemilik @PeterGontha agar tetap semangat, menanyakan apa yang dibicarakannya dengan Arief Yahya, dan ada pula yang mengecam keduanya, baik pemilik akun @PeterGontha maupun Arief Yahya, meski pun yang mengecam pemilik akun lebih sedikit ketimbang support bagi dirinya dan kecaman untuk Arief Yahya.
Pemilik akun @PeterGontha adalah Peter F Gontha, Duta Besar RI untuk Polandia. Sebelum menjadi duta besar, Peter F Gontha dikenal sebagai seorang promotor musik. Perhelatan musik jazz tahunan yang kerap menghadirkan musisi-musisi jazz dunia, Java Jazz, adalah warisannya yang kini dijalankan oleh puterinya Dewi Gontha.
Subyek lain yang disebut dalam tweetnya, Arief Yahya, adalah Menteri Pariwisata Indonesia.
Maka ketika dua pejabat tinggi bertemu dalam suasana yang dingin seperti tersirat dari kicauan @PeterGontha, sangat janggal kedengarannya. Kedua, tidak biasa dalam kultur masyarakat Indonesia menerima seorang tamu terhormat dengan sikap dingin. Kecuali menghadapi debt collector atau orang yang ingin meminta sesuatu yang memberatkan.
Dari jawaban @PeterGontha atas komentar akun @3hr3ni yang menyemangatinya, dapat disimpulkan sikap Menpar Arief Yahya ketika itu memang dingin.
Betul....bu, Indonesia terlalu besar dan terlalu cantik untuk dikelelo seoang yang hanya senyum sinis!!! (tulisan sesuai aslinya)
Peter F Gontha sendiri tidak menjelaskan apa yang dibicarakannya dengan Menpar Arief Yahya. Peter juga membantah pertemuannya dengan Arief Yahya ada kaitannya dengan event Java Jazz yang diselenggarakan tiap tahun dalam beberapa tahun terakhir ini.
tdak ada hubungannya dengan Java jazz, jawab akun @PeterGontha ketika ditanya.
Karena Peter F Gontha tidak menjelaskan apa isi pertemuannya dengan Menpar Arief Yahya, dan dari pihak Arief Yahya sendiri belum merespon kicauan Peter F Gontha, akhirnya banyak yang menyimpulkan macam-macam mengenai situasi saat itu, maupun makna yang tersirat di balik sikap dingin Menpar Arief Yahya.
Penulis mencoba mengira-ngira apa yang menyebabkan Menpar Arief Yahya, seorang yang dikenal ramah, cerdas dan kerap bersikap seperti seorang salesman dalam "menjual" pariwisata Indonesia, tiba-tiba bersikap dingin terhadap seorang Peter F Gontha, Dubes RI untuk Polandia yang memiliki pengaruh kuat di dunia musik dan keperdulian tinggi terhadap dunia pariwisata.
Yang pertama, mungkin Menpar Arief Yahya sedang tidak enak badan. Kondisi tubuh yang kurang sehat (tidak enak badan) memang kerap membuat seseorang tidak bisa berpura-pura untuk tampil ceria atau bersikap ramah. Bagaimana bisa dalam keadaan tidak enak badan, tetapi harus tersenyum, menunjukkan keramahtamahan atau penghormatan berlebihan terhadap seseorang, meski pun itu tamunya, seorang duta besar pula.
Hanya seorang aktor besar yang bisa melakukannya. Seperti kisah aktor Dedi Sutomo ketika bermain dalam film Sultan Agung belum lama ini. Dalam keadaan sakit dia harus mengikuti syuting dan tetap tampil dalam keadaan prima. Pengakuan Dedi tidak mengada-ada, aktor besar itu beberapa hari sekembalinya dari lokasi syuting, dipanggil oleh Yang Kuasa.
Kemungkinan kedua, Menpar Arief Yahya tengah menghadapi pekerjaan-pekerjaan besar untuk mensukseskan pariwisata Indonesia. Salah satunya adalah event Sail Moyo -- Tambora 2018, digelar 9-23 September 2018 di kawasan Pelabuhan Badas, dan Teluk Saleh, Sumbawa.
Sail Moyo -- Tambora 2018 memang bukan event main-main. Event ini diharapkan  membangkitkan kembali Nusa Tenggara Barat pasca gempa. Acara ini menjadi tempat berlabuhnya peserta Wonderful Sail To Indonesia 2018 sekaligus momentum bagi pemerintah untuk mengenalkan kepada dunia bahwa NTB mulai bangkit dari bencana.
Meskipun Sail Moyo Tambora 2018 diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Sumbawa dan Pemerintah Provinsi NTB bersama Kementerian Koordinator Bidang Maritim RI dan Kementerian Pariwisata RI, didukung oleh Kementerian Perhubungan, beban tetap ada di Kemenpar, karena tujuannya untuk mempromosikan potensi wisata bahari NTB ke kancah internasional, dan mengembalikan kedigdayaan pariwisata NTB.
Upaya itu memang tidak mudah. Karena berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, event "Sail" di Indonesia, mulai dari Bunaken (2015), Sail Banda (2010), Sail Wakatobi-Belitong (2011), Sail Morotai (2012), Sail Komodo (2013) Sail Raja Ampat (2014) Sail Tomini  (2015), Sail Selat Karimata (2016) dan Sail Sabang (2017), hasilnya tidak signifikan untuk meningkatkan kunjungan wisatawan mencanegara (wisman) ke Indonesia, utamanya ke tempat-tempat event "Sail" itu diadakan. Biaya yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan kegiatan tersebut sangat besar, tidak sebanding dengan hasilnya.
Target yang ingin dicapai melalui Sail Moyo Tambora 2018 untuk mengembalikan pariwisata NTB juga terlalu ambisius. Data kepariwisataan menunjukkan, mayoritas wisatawan asing yang datang ke NTB adalah ke Pulau Lombok, karena Lombok memang memiliki destinasi yang diinginkan wisatawan dan didukung infrastruktur yang baik.
Namun gempa yang menggoyang Lombok pada 29 Juli 2018 nyaris meluluhlantakan pulau tersebut, termasuk pariwisatanya. Gempa di Lombok jelas menimbulkan trauma bagi wisman, apalagi bila mengingat proses evakuasi wisman di Gili Trawangan pasca gempa yang terkesan pemerintah kurang siap menangani turis asing keadaan darurat seperti itu.
Perlu waktu untuk mengembalikan pariwisata Lombok sebagai tulang punggung pariwisata di NTB, karena proses rehabilitasi rumah-rumah penduduk saja di Lombok masih berjalan, dan tidak selesai dalam waktu sebulan atau dua bulan ke depan. Belum lagi memulihkan kondisi psikologis masyarakat yang tertimpa musibah akibat gempa.
Jadi kalau hanya Sail Moyo Tambora 2018 saja diadakan untuk mengembalikan pariwisata NTB, hampir mustahil tercapai.
Kemungkinan lain dari sikap dingin Menpar Arief Yahya ketika menghadapi Peter F Gontha adalah, bisa jadi, Menpar menganggap Peter F Gontha yang bertugas di Eropa dan pernah bermukin di Eropa, terlalu tahu banyak tentang Eropa, karakter wisatawan Eropa dan branding pariwisata Indonesia di Eropa.
Peter F Gontha, meski pun datang untuk membawa gagasan-gagasan untuk meningkatkan dunia kepariwisataan Indonesia, dianggap menjadi "duri" dalam program-program kementerian pariwisata yang selama ini sudah demikian hebat berakrobat dengan anggaran yang sangat besar.
Yang terakhir, bisa jadi Menpar sedang menghadapi tekanan yang demikian hebat dari Presiden Jokowi, karena kegagalan Kemenpar untuk memenuhi target kunjungan wisatawan asing ke Indonesia.
Tahun 2018 pemerintah menargetkan 17 juta Wisman ke Indonesia. Namun  bencana gempa yang terjadi di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) memberikan dampak terhadap target kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia.
Menurut Menteri Arief Yahya, penurunan angka turis sudah sekitar 100.000 orang jika dihitung sejak 29 Juli 2018.
"Kemungkinan mengganggu, kalau kita hitung waktu tanggal 29 (Juli), yang kejadian pertama itu sekitar 100.000 orang berkurangnya. Kalau dulu yang Bali 1 juta orang waktu Gunung Agung," kata Arief di Komplek Istana, Jakarta Pusat, Selasa (7/8/2018).
Kalau kunjungan wisman tahun 2018 ini meleset, berarti mengulangi kegagalan tahun-tahun sebelumnya. Tahun 2017 juga pemerintah menargetkan 15 juta kunjungan wisman ke Indonesia, tetapi yang tercapai hanya 14 juta. Erupsi Gunung Agung, Bali disebut-sebut sebagai salah satu yang membuat target awal yang telah ditetapkan Kementerian Pariwisata sebanyak 15 juta wisman meleset.
Tahun 2019 Presiden Jokowi menargetkan 20 juta wisman masuk ke Indonesia. Itu juga bukan target main-main, karena waktunya sangat pendek, tinggal setahun lagi. Yang membuat target itu berat direalisasikan, tahun 2019 adalah tahun politik, Pemilihan Presiden Republik Indonesia, yang prosesnya, kita ketahui, sangat panas, membuat wisatawan asing berpikir untuk melakukan kunjungan ke Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah wisatawan asing yang berkunjung ke Indonesia turun pada November 2014. Hal tersebut karena faktor politik dengan ada pergantian pemerintahan. Kepala BPS, Suryamin mengatakan, kunjungan wisatawan ke Indonesia mencapai 764,5 ribu pada November 2014 atau turun 5,48 persen dari 808,8 ribu kunjungan pada Oktober 2014.
Target yang tinggi dengan waktu yang mepet, membuat tekanan kepada Menpar Arief Yahya semakin berat. Apalagi Presiden Joko Widodo mengatakan, jika target 20 juta wisatawan asing tidak tercapai pada tahun 2019, Menteri Pariwisata akan dicopot.
Persoalan-persoalan itulah, mungkin, yang membuat sikap Menpar Arief Yahya sangat dingin kepada Peter F Gontha, Dubes RI untuk Polandia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H