Berita tentang pencabutan beasiswa mahasiswa bernama Arnita Rodelina Turnip oleh Pemkab Simalungun, Sumatera Utara, beberapa hari terakhir ini menjadi topik hangat. Kasus itu terus bergulir dengan segala kontroversinya hingga ke media sosial. Nah kalau sudah masuk ke media sosial (medsos), tentu saja topik akan melebar, apalagi dikaitkan dengan SARA.Â
Medsos di Indonesia memang sudah menjadi tempat sampah yang bisa menampung apa saja. Di situ ada ajang pameran kenikmatan, pelajaran, iklan, perdebatan, pergulatan ideologi, politik, agama, caci maki dan lain sebagainya. Terlebih di tahun politik ini.
Saya tidak mau masuk dalam diskursus tentang pengalaman Arnita Rodelina Turnip, karena ceritanya terus digoreng hingga masuk ke masalah yang sangat sensitif: SARA.Â
Dalam tulisan ini saya hanya ingin memaparkan perjalanan study seorang mahasiswa yang saya panggil namanya dengan singkat: Damai. Saat ini kuliah di Fakultas Teknik Kimia, Jurusan Bioproses, Universitas Indonesia. Sekarang baru saja masuk di Semester V.
Saya tidak tahu mengapa Damai masuk ke Jurusan itu, padahal dulu dia pernah mengatakan ingin jadi dokter, walau ia pernah berkata kepada orangtuanya, "Kalau Damai masuk fakultas kedokteran ayah tidak punya uang ya?"
Dan ayahnya yang seorang jurnalis di media kecil tidak terkenal, dengan yakin mengatakan: "Untuk kamu, apa pun akan ayah lakukan. Kalau terpaksa harus menjual rumah kita, tidak apa-apa. Kamu jangan terlalu risau soal biaya."
Jurusan yang dipilihnya itu ternyata hasil konsultasi dia dengan pengajarnya di Tempat Bimbingan Belajar. Kalau mau masuk univeritas negeri, kata pengajarnya, pilihan jurusan bioproses. Kalau kedokteran agak berat. Damai sangat percaya dengan omongan itu, sehingga ia tidak pernah mencoba memilih Fakultas Kedokteran.
Orangtuanya sendiri tidak pernah menyuruh atau mengarahkan anaknya untuk masuk ke fakultas ini, atau fakultas itu, perguruan tinggi ini, atau perguruan tinggi itu, walau pun harapannya, anaknya bisa diterima di universitas negeri.Â
Syukur-syukur tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya. Apalagi di kota-kota yang jauh di mana ia harus kos atau menumpang di rumah kerabat, kalau ada. Maklum Damai adalah anak perempuan satu-satunya yang sejak kecil tidak pernah berpisah dari orangtuanya.
Orangtuanya sangat bersyukur ia diterima di Teknik Kimia UI Jurusan Bioproses, yang kampusnya satu kota dengan tempatnya tinggal. Dia tidak perlu kos, karena bisa ke kampus menggunakan kereta api commuterline lalu naik bis kuning ke tempat kuliahnya, atau kadang memesan ojek online jika terburu-buru.
UI mengenakan pembayaran uang kuliah tunggal bagi tiap mahasiswa. Jadi setiap mahasiswa hanya membayar uang kuliah per semester tanpa dipungut uang apa-apa lagi. Kecuali untuk kegiatan ekstrakurikuler harus mengeluarkan biaya sendiri.Â