Akhir-akhir ini muncul pertanyaan dari sejumlah kalangan tentang fungsi dan peran Badan Perfilman Indonesia (BPI). Pertanyaan yang sempat ditangkap oleh penulis adalah: Apa peran BPI terhadap perfilman Indonesia? Apakah BPI hanya menempatkan diri sebagai event organizer (EO) yang bertugas menyelenggarakan sekaligus melaksanakan festival film atau mengirim insan film ke berbagai festival di luar negeri? Mana pemikiran strategis BPI bagi perfilman Indonesia, terutama ketika film nasional sedang terpuruk seperti ini? Dan tentu banyak lagi pertanyaan lainnya, baik yang ditujukan langsung kepada pengurus BPI maupun dalam obrolan simpang siur di kalangan insan film maupun mereka yang perduli terhadap perfilman nasional.
Bahkan dalam diskusi bertajuk “Produksi Film Naik, Penonton Turun, Kenapa?”, beberapa peserta mengajukan pertanyaan langsung kepada Ketua BPI Kemala Atmodjo tentang fungsi dan peran BPI, di tengah keterpurukan film Indonesia. Kemala yang nampaknya sudah lelah dengan pertanyaan seperti itu, terlihat reaktif, katanya,”BPI itu memang sudah salah dari awalnya, karena tidak punya anggaran. Tapi kita disuruh begini-begono, ya bagaimana? Wong makan aja beli sendiri kok!”
Nah, bila berbicara tentang kegiatan, maka ujung-ujungnya adalah duit. Tak ada satu pun kegiatan penting yang tidak pakai duit. Kalau BPI tidak bisa bergerak seperti keinginan banyak pihak, bisa dimaklumi, karena badan ini memang tidak dibekali oleh anggaran oleh yang membentuknya. Padahal debt collector saja untuk menagih hutang tidak cukup hanya dibekali surat kuasa; paling tidak ada uang makan dan ongkos buat para penagih utang itu dari yang memberi kuasa. Sebelum berbicara lebih jauh, kita lihat dulu dasar pembentukan BPI.
Tujuan pembentukan BPI adalah untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam perfilman (Pasal 67 UU No.33 tahun 2009). Dasar pembentukan BPI adalah Undang-undang (UU) No.33 tahun 2009 tentang Perfilman. Pasal 68 UU No.33 tahun 2009 itu mengatakan: (1) Untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam perfilman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) huruf a, huruf g, huruf h, huruf i, dan huruf j dibentuk badan perfilman Indonesia. (2) Pembentukan badan perfilman Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh masyarakat dan dapat difasilitasi oleh Pemerintah. (3) Badan perfilman Indonesia merupakan lembaga swasta dan bersifat mandiri. (4) Badan perfilman Indonesia berkedudukan di ibu kota negara Republik Indonesia. (5) Badan perfilman Indonesia dikukuhkan oleh Presiden.
Adapun tugas BPI sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 69 untuk: a. menyelenggarakan festival film di dalam negeri; b. mengikuti festival film di luar negeri; c. menyelenggarakan pekan film di luar negeri; d. mempromosikan Indonesia sebagai lokasi pembuatan film asing; e. memberikan masukan untuk kemajuan perfilman; f. melakukan penelitian dan pengembangan perfilman; g. memberikan penghargaan; dan h. memfasilitasi pendanaan pembuatan film tertentu yang bermutu tinggi.
Sejauh ini BPI sudah menjalankan beberapa tugasnya, antara lain menyelengarakan festival di dalam negeri dan mengikuti festival film di luar negeri. Seperti diketahui, BPI merupakan Penyelenggara sekaligus Pelaksana Festival Film Indonesia (FFI) 2014 di Palembang, dan Apresiasi Film Indonesia (AFI) yang berada di bawah Kemendikbud. Peran ganda itu tidak pernah dilakukan oleh Dewan Film Nasional (DFN) atau penggantinya Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N).
Dulu keduanya hanya bertindak sebagai Penyelenggara, sedangkan Pelaksana dilakukan oleh Panitia tersendiri. Karena memikul dua beban sekaligus, maka pelaksanaan FFI 2014 agak kacau. Menurut sumber, dalam audit BPK ditemukan kelebihan pemakaian uang negara sebesar Rp.3 milyar yang harus dikembalikan. Siapa yang harus mengembalikan? Tentu saja bukan BPI, melainkan perusahaan pemenang lelang pelaksanaan FFI 2014.
Mengirim insan film untuk mengikuti festival di luar negeri juga sudah dilakukan oleh BPI, meski untuk itu BPI harus “ngecrek” (istilah sebuah ormas untuk meminta sumbangan) ke berbagai pihak. Ketika mengirim insan film ke Cannes Film Festival beberapa waktu lalu misalnya, Kemendikbud memberi sumbangan untuk memberangkatkan tiga orang, lalu ada produsen kopi, dan pihak-pihak lain yang tidak disebutkan.
Sementara tugas yang terkait dengan huruf d sampai h Pasal 69, tidak bisa dijalankan oleh BPI. Keberpihakan BPI kepada film nasional juga diragukan. Bukan memberi masukan positif, dalam berbagai kesempatan Ketua BPI Kemala Atmodjo justru kerap mengkritik film-film Indonesia yang diproduksi dengan biaya rendah, dan memiliki tema berorientasi pasar. Seolah film-film jenis tersebut adalah anak haram perfilman Indonesia.
Ketua BPI tidak mencoba melihat lebih luas bahwa produser film harus mencari cara agar filmnya ditonton oleh masyarakat, bukan membuat film semata-mata untuk tujuan festival. Ketua BPI Kemala Atmodjo pastinya sudah paham bagaimana sakitnya membuat film tetapi tidak diminati penonton, karena dia sendiri pernah menjadi produser film. Setelah film produksinya yang berjudul “Sri”, nyungsep, ia tidak membuat fim lagi. Tidak gampang bisnis film.
*****
Sampai dikedua pasal itu posisi BPI terlihat kuat dan memiliki tugas yang sangat mulia bagi perfilman Indonesia. Walau pun sebagian besar insan film sudah tahu bahwa UU No.33 tahun 2009 adalah produk perundang-undangan yang gagal, karena tidak ada Peraturan Pelaksanaan (PP) dari pasal-pasal dalam UU tersebut – kecuali PP untuk Lembaga Sensor Film (LSF).
PP adalah petunjuk teknis bagaimana undang-undang bisa dijalankan secara nyata. Tanpa itu, undang-undang hanya menjadi “macan kertas”, yang tidak bisa berbuat apa-apa dalam mengatur/mengatasi persoalan yang ada. Jadi kalau ada klaim selama ini bahwa BPI adalah badan yang dibentuk berdasarkan undang-undang, terdengar naïf. Orang tahu kok bagaimana “nasib” UU No.33 tahun 2009 itu.
Kalau memang UU itu mau dijalankan secara konsekwen, mana PPnya? Atau katakanlah tanpa PP pun harus jalan; lantas bagaimana dengan penerapan pasal-pasal lain? Terutama yang terkait dengan Pengedaran dan Pertunjukan film (Pasal 25 – 33)?
Kemudian dan melihat fungsi dan peran BPI, kita juga tidak bisa hanya berhenti pada dua pasal di atas. Masih ada Pasal 70 yang menyangkut pembiayaan badan tersebut. Pasal 70 UU No.33 tahun 2009 menyebutkan:
(1) Sumber pembiayaan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 berasal dari: a. pemangku kepentingan; dan b. sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(2) Bantuan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah bersifat hibah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Pengelolaan dana yang bersumber dari non-Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan nonanggaran pendapatan dan belanja daerah wajib diaudit oleh akuntan publik dan diumumkan kepada masyarakat.
Jika selama ini pengurus BPI berteriak-teriak soal dana, apakah penerapan Pasal 70 itu sudah berjalan dengan baik? Bagaimana dengan peran para pemangku kepentingan (stake holder) BPI dalam memberdayakan badan yang menaungi mereka (atau yang mereka bentuk)? Apakah sudah ada hibah dari APBN?
Kalau mendengar teriakan pengurus (Ketua) BPI selama ini, rasanya Pasal 70 itu tidak berjalan, karena memang belum pernah terdengar, negara melalui kementerian memberikan hibah dana kepada BPI. Dan bisa dipastikan, banyak para pemangku kepentingan (stake holder) yang berada di bawah BPI juga tidak mengucurkan dana sepicis pun buat BPI. Yang terjadi justru pemangku kepentingan itu berharap banyak dengan keberadaan BPI.
Ada puluhan stake holder BPI, namun tidak termasuk stake holder semua perfilman lama yang dulu berada di bawah BP2N. Banyak stake holder yang hanya berupa komunitas penggemar / pengamat film yang tidak terkait langsung dengan urusan produksi atau pemasaran film. Ada pula yang dibentuk secara mendadak menjelas musyawarah pembentukan BPI.
Pembentukan BPI itu sendiri terkesan dipaksakan. Seolah hanya sekedar untuk menjalankan undang-undang. Sekian lama rencana pembantukan BPI terkatung-katung, karena kalangan insan film yang telah makan asam garam dunia perfilman melihat, ada masalah serius dalam pasal-pasal tentang BPI dalam UU Perfilman.
Aktor kawakan Slamet Rahardo dalam diskusi di Gedung Film tanggal 24 Juli 2015 lalu mengatakan, konsep pembentukan BPI yang dimunculkan dalam UU Perfilman adalah rancangan Menbudpar Jero Wacik. Pembentukan BPI sendiri menurut Slamet, merupakan upaya untuk melemahkan posisi insan perfilman Indonesia. Tidak mengherankan jika Slamet dalam diskusi di Gedung Film beberapa waktu lalu mengatakan, BPI seperti yayasan tuna rungu.
Ketika wadah insan film masih bernama BP2N, menurut Slamet, menteri bisa dipanggil untuk menjelaskan kebijakannya tentang perfilman. “Sekarang ini BPI ada di bawah Endang Caturwati!” kata Slamet. Yang dimaksud Slamet Rahardjo adalah Prof. Dr. Endang Caturwati (Direktur Pembinaan Kesenian dan Perfilman Kemanterian Kebudayaan). Jadi BPI hanya berada di bawah direktorat sebuah kementerian.
Pembentukan BPI sendiri berlangsung di masa Menteri Parekraf Marie Elka Pangestu. Pembentukan itu terkesan tergesa-gesa. Kementerian sudah mengalokasikan anggaran miliaran rupiah, sebelum konsepnya digodok matang. Sang Menteri yang sedang gumun dengan insan muda perfilman, menginginkan agar BPI segera dibentuk.
Seorang pengusaha yang bisa mengerjakan proyek di kementerian mengaku pernah ditawari menjalankan anggaran miliaran itu untuk mengadakan beberapa Focus Group Discussion (FGD) yang ujungnya lahir kesimpulan tentang pentingnya pembentukan BPI. Karena ia melihat sulit mempertanggungjawabkan penggunaan uang itu, sang pengusaha menolak.
Tetapi di Indonesia banyak orang sakti, yang bisa membuat sesuatu yang tak mungkin menjadi mungkin. Berbagai kegiatan dijalankan, dan berujung pada penyelenggaraan musyawarah besar di Hotel Borobudur dan Hotel Balairung Jakarta, tanggal 15 – 17 Januari 2014, sehingga terbentuklah BPI. Menurut sebuah tabloid, kegiatan itu menghabiskan anggaran sebesar Rp.10 milyar!
Lepas dari bagaimana caranya BPI itu lahir, konsep pembentukan BPI adalah upaya untuk melemahkan posisi tawar insan film Indonesia. Jika masih bernama Dewan Film atau BP2N, insan film masih punya posisi tawar kuat. Sayang dalam dunia pergilman Indonesia yang banyak kubu, keberadaan BP2N diprotes, terutama oleh kelompok yang menamakan diri Masyarakat Film Indonesia (MFI). Kemudian BP2N dibubarkan.
Sekarang ini BPI nyaris tidak bisa apa-apa. Bahkan untuk kantor sekretariat saja, menurut Slamet Rahardjo, hanya menempati ruangan yang dulu berfungsi sebagai dapur – walau sebenarnya Kantor BPI saat ini yang terletak di Gedung Film, pernah juga beberapa kali dijadikan Sekretariat FFI. Dulunya pernah jadi arena bilyar. Cuma setelah BPI masuk, ruangan luas itu disekat-sekat untuk ruang kantor para pengurusnya, walau mereka juga hampir tidak pernah memanfaatkan ruang itu.
Pembentukan BPI merupakan pemberian cek kosong oleh pemerintah kepada insan film. Pemerintah seolah-olah berbaik hati dengan memberikan sesuatu yang bernilai, padahal tidak bisa digunakan. Penerima cek kosong seharusnya menuntut pemberinya, bukan bangga memegang cek kosong itu. Pemberi cek kosong bisa dipidana.
Jika sebelumnya mempelajari dengan seksama seluruh pasal dalam UU Perfilman yang terkait dengan BPI, tentu insan film tidak begitu saja mau menerima cek kosong yang diberikan. Pasal-pasal dalam UU Perfilman itu tidak ada satu pun yang mengikat pemerintah untuk membiayai BPI.
Memang ada pasal 68 (2) menyebutkan Bantuan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah bersifat hibah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Menurut Kamus Hukum, hibah adalah pemberian suatu barang tertentu dengan sukarela dengan mengalihkan hak atas sesuatu barang kepada orang lain. Apa yang terjadi jika calon pemberi hibah tidak rela?
Dalam hal anggaran ini BPI memang tidak dijamin oleh pemerintah. Berbeda dengan BP2N yang kebutuhan anggarannya dibebankan kepada pemerintah melalui DIPA Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Kemenbudpar). Posisi BP2N kuat. Tidak mengherankan jika kemudian posisi tawar dan vitalitas BPI menjadi lemah. Intinya, pembentukan BPI adalah cara pemerintah melemahkan insan film. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H