Mohon tunggu...
Herman Wijaya
Herman Wijaya Mohon Tunggu... profesional -

Penulis Lepas.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Pembentukan BPI, Cek Kosong Dari Pemerintah untuk Insan Film

26 Juli 2015   12:41 Diperbarui: 26 Juli 2015   12:44 909
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Aktor kawakan Slamet Rahardo dalam diskusi di Gedung Film tanggal 24 Juli 2015 lalu mengatakan, konsep pembentukan BPI yang dimunculkan dalam UU Perfilman adalah rancangan Menbudpar Jero Wacik. Pembentukan BPI sendiri menurut Slamet, merupakan upaya untuk melemahkan posisi insan perfilman Indonesia. Tidak mengherankan jika Slamet dalam diskusi di Gedung Film beberapa waktu lalu mengatakan, BPI seperti yayasan tuna rungu.

Ketika wadah insan film masih bernama BP2N, menurut Slamet, menteri bisa dipanggil untuk menjelaskan kebijakannya tentang perfilman. “Sekarang ini BPI ada di bawah Endang Caturwati!” kata Slamet. Yang dimaksud Slamet Rahardjo adalah Prof. Dr. Endang Caturwati (Direktur Pembinaan Kesenian dan Perfilman Kemanterian Kebudayaan). Jadi BPI hanya berada di bawah direktorat sebuah kementerian.

Pembentukan BPI sendiri berlangsung di masa Menteri Parekraf Marie Elka Pangestu. Pembentukan itu terkesan tergesa-gesa. Kementerian sudah mengalokasikan anggaran miliaran rupiah, sebelum konsepnya digodok matang. Sang Menteri yang sedang gumun dengan insan muda perfilman, menginginkan agar BPI segera dibentuk.

Seorang pengusaha yang bisa mengerjakan proyek di kementerian mengaku pernah ditawari menjalankan anggaran miliaran itu untuk mengadakan beberapa Focus Group Discussion (FGD) yang ujungnya lahir kesimpulan tentang pentingnya pembentukan BPI. Karena ia melihat sulit mempertanggungjawabkan penggunaan uang itu, sang pengusaha menolak.

Tetapi di Indonesia banyak orang sakti, yang bisa membuat sesuatu yang tak mungkin menjadi mungkin. Berbagai kegiatan dijalankan, dan berujung pada penyelenggaraan musyawarah besar di Hotel Borobudur dan Hotel Balairung Jakarta, tanggal 15 – 17 Januari 2014, sehingga terbentuklah BPI. Menurut sebuah tabloid, kegiatan itu menghabiskan anggaran sebesar Rp.10 milyar!

Lepas dari bagaimana caranya BPI itu lahir, konsep pembentukan BPI adalah upaya untuk melemahkan posisi tawar insan film Indonesia. Jika masih bernama Dewan Film atau BP2N, insan film masih punya posisi tawar kuat. Sayang dalam dunia pergilman Indonesia yang banyak kubu, keberadaan BP2N diprotes, terutama oleh kelompok yang menamakan diri Masyarakat Film Indonesia (MFI). Kemudian BP2N dibubarkan.

Sekarang ini BPI nyaris tidak bisa apa-apa. Bahkan untuk kantor sekretariat saja, menurut Slamet Rahardjo, hanya menempati ruangan yang dulu berfungsi sebagai dapur – walau sebenarnya Kantor BPI saat ini yang terletak di Gedung Film, pernah juga beberapa kali dijadikan Sekretariat FFI. Dulunya pernah jadi arena bilyar. Cuma setelah BPI masuk, ruangan luas itu disekat-sekat untuk ruang kantor para pengurusnya, walau mereka juga hampir tidak pernah memanfaatkan ruang itu. 

Pembentukan BPI merupakan pemberian cek kosong oleh pemerintah kepada insan film. Pemerintah seolah-olah berbaik hati dengan memberikan sesuatu yang bernilai, padahal tidak bisa digunakan. Penerima cek kosong seharusnya menuntut pemberinya, bukan bangga memegang cek kosong itu. Pemberi cek kosong bisa dipidana.

Jika sebelumnya mempelajari dengan seksama seluruh pasal dalam UU Perfilman yang terkait dengan BPI, tentu insan film tidak begitu saja mau menerima cek kosong yang diberikan. Pasal-pasal dalam UU Perfilman itu tidak ada satu pun yang mengikat pemerintah untuk membiayai BPI.

Memang ada pasal 68 (2) menyebutkan Bantuan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah bersifat hibah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Menurut Kamus Hukum, hibah adalah pemberian suatu barang tertentu dengan sukarela dengan mengalihkan hak atas sesuatu barang kepada orang lain. Apa yang terjadi jika calon pemberi hibah tidak rela?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun