Mohon tunggu...
Muhammad Dahlan
Muhammad Dahlan Mohon Tunggu... Petani -

I am just another guy with an average story

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tontu

21 Juni 2017   21:54 Diperbarui: 22 Juni 2017   09:23 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hawa dingin menusuk tulang menyambut Badrun ketika turun dari angkutan umum. Dihisapnya dalam-dalam nafas udara kampungnya sehingga terasa lapang dadanya. Dikenakannya penutup kepala jaketnya guna menghindari buliran gerimis lembut membasuh wajahnya. Diraihnya telepon genggam dari kantung jaket, sempat dia lihat jam pada layar telepon genggam menunjukkan pukul 20.30. Dengan cahaya kecil dari senter telepon genggam Badrun melangkah menelusuri titian kayu ulin di antara Gedung Serba Guna dan Penginapan Faridah menuju jalan Pasar Lama. Di bagian belakang terdapat Madrasah Ibtidaiyah tempat dia dulu menimba ilmu. Badrun ingat pada masa kecilnya dia sering melompat dari bangunan sekolah berupa gedung kayu berkolong tinggi ke titian ulin saat bermain kejar-kejaran dengan teman-teman sekelasnya pada jam istirahat.

Selepas turun dari titian ulin dia memasuki jalan beraspal menuju kawasan Pasar Lama. Dari cahaya samar-samar senter telepon genggam dan penerangan redup dari pelita dan lilin di depan rumah warga, Badrun bisa mengetahui bahwa bentuk permukiman warga masih tetap sama seperti dulu, namun bangunan pasar telah berganti. Saat tiba di depan jalan masuk pasar, Badrun heran menatap mesjid di kawasan pasar itu tampak sepi dan tidak terdengar lantunan takbir malam lebaran atau orang yang keluar masuk mesjid untuk membayar zakat. Mungkin kegiatan tersebut telah lebih awal dilaksanakan lantaran gelap gulita karena mati lampu. Badrun menerka dalam hati.

Dipalingkannya pandangan ke arah bekas dermaga ponton penyeberangan di tepi sungai di belakang mesjid, tampak banyak kelebatan cahaya senter dan suara gaduh orang-orang. Untuk beberapa saat Badrun hanya diam termangu di persimpangan jalan tanpa melanjutkan perjalanan menuju rumahnya di perumahan dalam pasar.

Seorang anak menjelang remaja dengan senter kepala yang dililitkan pada dahinya muncul dari arah tepi sungai. Badrun bergegas menghentikan langkah anak tersebut untuk bertanya, "Apakah tontu telah tiba?"

Anak remaja tanggung itu mengarahkan senternya ke wajah Badrun untuk mengetahui siapa orang yang menghentikan dirinya, "Tontu tidak sempat terjadi lantaran hujan deras tiba-tiba turun di sekitar desa Tualan hulu sana dan tak lama kemudian terjadi banjir," anak remaja itu menerangjelaskan.

"Lantas suara gaduh orang-orang di bekas dermaga itu apa?"

"Rumah rakit hanyut dan kemudian tenggelam akibat ditubruk dan terseret beberapa pohon besar yang tumbang dan hanyut terbawa arus deras banjir kira-kira beberapa saat setelah waktu berbuka puasa tadi. Tidak ada warga yang mengetahui kejadian tersebut atau mendengar suara minta tolong penghuni rumah rakit karena terjadi saat turun hujan deras," lanjut anak remaja itu seraya bergegas melanjutkan perjalanannya menuju ke dalam pasar.

Badrun merasakan degup jantungnya berdetak lebih kencang dan sejurus kemudian dengan setengah berlari, dia menghambur ke sungai. Badrun menyaksikan sangat banyak warga dari berbagai usia, pria dan perempuan, berkumpul di sekitar bekas dermaga ponton penyeberangan yang nyaris tenggelam terendam banjir. Suara mereka sangat gaduh dan sebagian tampak beteriak-teriak histeris bersaing dengan suara gemuruh arus banjir. Badrun menoleh ke arah kiri dan kanan, berharap menemukan warga yang dikenalnya guna mendapatkan penjelasan yang lebih rinci. Seketika pandangannya terhenti pada sosok seorang pria tua yang duduk di teras rumah di belakang mesjid di bawah penerangan lampu emergency yang cukup terang. Badrun segera berlari menghampiri pria tua yang seharusnya tengah memimpin takbiran malam lebaran.

"Bapak..." hanya satu kata itu dengan suara serak menahan tangis yang bisa terlontar dari mulut Badrun, untuk selanjutnya dia memeluk bapaknya, menjatuhkan lutut untuk meraih tangan bapaknya serta menciumnya. Bapaknya dengan wajah kuyu dan tatapan mata rapuh memandang sang anak hilang yang pulang menjelang hari kemenangan.

"Ibumu turut hanyut dan tenggelam, Nak." Lirih ucap bapaknya, nyaris tidak terdengar.

Hujan deras kembali mencurah membasuh bumi laksana langit meneteskan simpati pada lara tiada tara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun