Badrun menepikan kendaraan ke bahu jalan ketika telepon genggam di saku depan bajunya dirasakannya bergetar. Sebenarnya dia baru saja pergi di bawah hujan rintik dan jika dia menoleh ke belakang, pintu gerbang pagar rumahnya masih bisa terlihat dengan jelas. Bergegas dia meraih telepon genggamnya, pada status bar tampak notifikasi sebuah pesan WhatsApp masuk dari Maizurah.
Assalamualaikum, Badrun.
Hari ini adalah hari terakhir puasa dan genap enam hari pesanku terdahulu belum juga kau balas. Aku tidak bermaksud menyeretmu kembali ke cerita silam yang mungkin kau tak sudi lagi mengingatnya. Sama sekali tidak.
Baru saja Haris datang lagi untuk menanyakan perkembangan berita tentang dirimu. Aku jawab bahwa aku telah berkirim pesan kepadamu dan kukatakan pula bahwa kau memperlakukan aku seperti dirinya. Tidak menghiraukan.
Aku dan Haris menjadi dua orang yang merasa paling bersalah karena menyembunyikan berita tentang keberadaanmu pada ibumu. Seperti yang Haris pernah ceritakan kepadamu pada pertemuan kalian, setiap menjelang hari lebaran, ibumu akan berkeliling kampung mencari informasi siapa saja perantau yang pulang berlebaran. Ibumu menanyai mereka kalau-kalau ada diantara mereka yang pernah bertemu atau tahu tentang keberadaanmu. Lihatlah kelakuan kami, membiarkan ibumu pergi berjalan jauh setiap hari mencari berita tentang anak semata wayangnya, padahal sesungguhnya hanya kami berdualah penduduk kampung ini yang mengetahui hal tersebut.
Ibumu mampir di rumahku kemarin meminta tolong turut dibuatkan buras, gulai ayam dan serundeng kelapa parut. Selepas sembahyang subuh, ibumu datang membantu aku dan kedua anak perempuanku menanak, membungkus dan mengikat buras. Setelahnya, ibumu pergi ke pangkalan ojek di kampung seberang sungai sana yang menjadi tempat turun dari perjalan pulang para perantau yang berasal dari kampung-kampung di sepanjang hulu dan hilir sungai. Teramat getir hati ini  menyaksikan kegigihan semangat dari kakak sepupu tiga kaliku itu dalam pencarian tak berujungnya.
Ibumu berjanji akan mengambil buras, gulai ayam dan serundeng menjelang waktu berbuka petang nanti. Aku bermaksud menahan dia untuk berbuka puasa bersama di rumah rakit kami karena bapakmu akan berbuka puasa hari terakhir di mesjid dan memimpin kegiatan takbir, penerimaan zakat serta mempersiapkan shalat ied esok. Aku berharap aku bisa tetap merahasiakan kebaradaanmu sambil berdoa semoga tergerak hatimu untuk pulang kampung berlebaran.
Pulanglah agar kita dapat bermaaf-maafan benar-benar dari hati ke hati secara berjabat tangan, bukan hanya dalam untaian kata-kata berupa pesan.
Bersama  ini aku kirimkan foto kami berempat ketika membungkus buras tadi pagi.
Tampaknya ada berita gembira buat warga kampung menjelang lebaran tahun ini. Baru saja Naila, anak sulungku, berteriak kegirangan karena memperkirakan akan terjadi tontu hari ini setelah dia menyaksikan tanda-tandanya berupa ikan tempakul dalam jumlah besar melompat-lompat jauh ke atas daratan serta banyak anak udang yang menempel di pelampung rumah rakit kami. Memang kabarnya dalam dua hari ini hujan turun terus menerus di tanah hulu sana. Semoga tontu kali ini memberi kami banyak udang galah untuk dicampur ke dalam serundeng kelapa parut sebagai hidangan lebaran besok. Sangat sulit mendapatkan udang galah dengan cara memancing dan menjala beberapa tahun belakangan ini.
Wassalamualaikum,