Ditinggalkannya rumah di tengah malam buta menuju jalan raya untuk kemudian menumpang bus antarprovinsi. Dia pergi seorang diri. Dua jam lebih awal dari kesepakatan waktu yang dia buat dengan seorang gadis yang ingin turut serta sebagai pelarian.
Badrun mendatangi seorang kenalan yang sebelumnya telah berjanji akan memberinya tumpangan hunian dan pekerjaan. Amran, seorang pemborong bangunan yang pernah membeli batu gunung dari Kerayan yang diangkut menggunakan kapal menyusuri Sungai Telake, lalu menyeberangi lautan untuk sampai ke Balikpapan. Amran mempekerjakan Badrun sebagai seorang pengawas pekerjaan konstruksi yang dia peroleh dari pemilik proyek. Ditekuninya pekerjaan dengan penuh dedikasi sebagai bentuk terima kasihnya kepada Amran yang telah berkenan menampungnya.
Pada tahun ketiga, Badrun berubah pikiran untuk meninggalkan pekerjaannya. Hal itu bermula ketika dia mengerjakan pembuatan komplek perumahan di kawasan permukiman baru di perbukitan Salok Cinta. Salah seorang warga setempat yang bekerja padanya menawarkan tanahnya.
"Sebenarnya bapak tidak pernah berkeinginan menjual tanah warisan satu-satunya yang tersisa dari leluhur kami, namun saat ini anakku yang baru saja masuk SMA terus merengek minta dibelikan sepeda motor. Meskipun dia bisa memakai sepeda motor kami satu-satunya, tetapi sepertinya dia malu menunjukkan sepeda motor tua kami ke sekolahnya yang berada di tengah kota," ujar pekerjanya itu sambil menyodorkan surat keterangan kepemilikan tanah.
"Tampaknya kau tidak cocok tinggal di tengah keramaian dan lebih memilih kawasan perbukitan yang terpencil, belum lagi ada orang bermukim di sana dan lebih sunyi dibanding kampung halamanmu nun jauh di seberang teluk sana?" Demikian tanggapan Amran mendengar penuturan Badrun yag pamit berhenti bekerja dan memilih berkebun.
Badrun seorang diri mengerjakan membuka lahan dengan menebang pepohonan sungkai dan bambu, menebas semak belukar dan padang rumput, mencangkul permukaan tanah guna memperbaiki strukturnya untuk selanjutnya ditanami dengan tanaman jeruk, jambu, jagung, pepaya dan salak. Dibangunnya sebuah rumah kecil terbuat dari kayu sungkai  bertiang tinggi di pintu gerbang jalan masuk kebun seluas dua hektar persegi berpagarkan kayu sungkai dan bambu. Hasil panen dari kebun buahnya dia pasok kepada pedagang buah di Pasar Manggar dan kawasan wisata Pantai Manggar. Begitulah Badrun melakoni hidupnya selama belasan tahun, terasing sendiri hidup di atas perbukitan yang di malam hari dia akan duduk termenung seorang diri berjam-jam lamanya menatap cahaya lampu jalan raya dan kendaraan yang melintas, cahaya dari lampu rumah penduduk serta kerlap-kerlip lampu dari perahu nelayan, baik yang tengah berlayar maupun sedang bersandar di sepanjang garis pantai tepi laut nun jauh di bawah sana. Berkilo-kilometer jaraknya.
Ketenangan dari pilihan hidupnya itu serta-merta terusik dengan pertemuannya dengan Haris. Karenanya, dia tidak sekalipun menghiraukan panggilan telpon atau membalas pesan singkat dari Haris yang bercerita banyak hal dan kejadian terkini di kampung halaman. Sampai akhirnya Haris lelah dan menyerah merasa diperlakuan sedemikian buruk oleh seorang teman karib. Berbulan-bulan lamanya Badrun terbebas dari dering telpon dari Haris, hingga pada suatu hari pesan singkat dari Haris kembali masuk ke telpon genggamnya.
Mat Asap telah berpulang mendahului kita tadi pagi setelah lebih dua minggu dirawat di rumah sakit kabupaten karena komplikasi sakit jantung dan paru-paru.
Badrun bergeming membaca berita duka dari Haris. Tidak juga tergerak hatinya mengirimkan ucapan belasungkawa untuk disampaikan kepada keluarga yang tengah berduka atas meninggal dunianya Mat Asap akibat dampak buruk jangka panjang dari kerakusannya menghisap rokok.
Cuaca tidak menentu menjelang masuknya musim kemarau. Matahari tengah hari menggantung di atas kepala. Panasnya udara dalam rumah membuat rasa gerah, tidak nyaman, dan malas bergerak. Badrun berbaring di serambi depan demi mencari hembusan angin sepoi-sepoi. Sesekali tampak ranting rapuh dan daun-daun kering gugur dari pohon yang tumbuh di halaman depan. Badrun baru saja akan terlelap ketika telepon genggamnya berdering. Diraihnya telepon genggam dengan malas-malasan. Sebuah pesan WhatsApp dari nomor telepon tidak dikenal masuk. Foto profilnya hanya berupa sekuntum bunga mawar jingga. Dengan rasa penuh penasaran Badrun membaca pesan asing itu.
Assalamualaikum.