Mohon tunggu...
Muhammad Dahlan
Muhammad Dahlan Mohon Tunggu... Petani -

I am just another guy with an average story

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hilang

9 Maret 2017   22:08 Diperbarui: 11 Maret 2017   22:00 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Matahari di langit cerah menyengat tepat di atas ubun-ubun. Aku, dengan nafas tersengal-sengal dan sisa-sisa tenaga yang masih ada merangkak dalam menapaki bebatuan terakhir sampai jua di samping Mahmud yang sekitar lima menit lebih dulu tiba di puncak gunung.

“Kita berhasil, Adnan! Kita berhasil!” teriak Mahmud ke arahku sambil merentangkan kedua belah tangannya seperti burung membentangkan sayap. “Kau lihatlah ke bawah sana. Seperti apa kubilang saat kuajak kau kemari tadi, desa kita terlihat sangat indah dari ketinggian sini,” sambungnya lagi kini dengan gerakan badan berputar-putar. Ekpresi khasnya bila dia merasa gembira.

Aku melongok ke bawah. Tampak gugusan hutan sungkai menghijau di sepanjang lereng gunung, hamparan sawah dengan padi menguning keemasan di kaki gunung, sungguh pemandangan yang menyejukan mata. Bukit-bukit dan lembah-lembah hijau berbaris saling silang secara berurutan seperti sengaja disusun. Nun jauh di sana tampak Sungai Telake yang berkelok-kelok laksana ular raksasa meliuk-liuk menjaga rumah-rumah kayu milik penghuni desa Long Kali di sepanjang kedua sisinya. Kendaraan yang melintas di jalan raya tampak hanya sebesar mobil mainan kanak-kanak. Orang-orang yang sedang beraktivitasdi luar rumah terlihat mungil dengan gerakan dan cara berjalan yang terlihat lucu. Semua tampak kecil dan terlihat jelas apa yang ada di bawah sana, tidak ada yang bisa disembunyikan dari penglihatan.

Kelelahan melewati rintangan akar pohon yang saling melintang, hadangan pohon besar yang tumbang dan menaklukan jalan bebatuan yang membuat langkah menjadi berat dalam menerobos semak belukar yang penuh duri dalam pendakian ini diganjar setimpa ldengan panorama alam yang memukau. Ingin kuteriak pada dinding tebing agar terbawa oleh angin untuk menyampaikan begitu indahnya alam desa ini kepada seluruh manusia yang berada di bawah sana.

“Adnan,kau lihat truk tangki minyak Pertamina yang baru turun dari ponton penyeberangan itu. lihatlah truk yang suka meraung pongah di jalan tanah depan rumah kita, dari sini tampak kecil dan tak sanggup mengirim raungannya kepadakita di ketinggian sini,” kata Mahmud seraya tertawa terbahak-bahak.

Mahmud benar. Saat hari panas jalan tanah yang sebagian dilapisi bebatuan kerikil di depan rumah kami selalu berdebu, terlebih setiap kali dilalui truk-truk tangki bermuatan minyak yang tidak tahu berjalan perlahan walaupun masuk-keluar kampung. Apabila hujan lebat, jalan jadi sangat becek dengan cepat mengirim bau aroma masam mencuka menusuk ke hidung sampai ke malam.

Aku tidak pernah merencakan saat ini aku akan ada di puncak gunung tertinggi di antara beberapa gunung yang mengitari desa kami. Ini adalah ide Mahmud. Hari ini merupakan hari pertama kami masuk sekolah setelah libur panjang selama sebulan. Sekarang kami duduk di kelas dua. Aku dan Mahmud sepakat untuk duduk sebangku, sama seperti sejak kami mulai masuk di sekolah dasar ini setahun yang lalu. Tadi ibu Bertha masuk memperkenalkan diri sebagai wali kelas kami. Aku bertanya dalam hati kenapa kami tidak mendapatkan guru lain karena dia telah menjadi wali kelas kami saat di kelas satu lalu. Kemudian ibu Bertha meminta kami keluar dari ruangan kelas untuk bergabung dengan semua murid dari kelas lain berkerja bakti membersihkan halaman sekolah yang menjadi sangat kotor karena kurang terurus selama libur panjang.

“Kegiatan belajar belum akan dimulai hari ini. Daripada kita menghabiskan waktu hanya untuk menunggu waktu pulang sekolah, lebih baik kita pergi ke puncak gunung itu,” ajak Mahmud kepadaku sambil menunjuk ke arah barisan pegunungan di belakang sekolah kami.

Saat itu aku sedang memungut sampah yang berserakan di pekarangan sekolah dan memasukannya ke keranjang yang dipegang Mahmud.

“Untuk apa kita pergi ke sana?” sergahku cepat karena kaget dengan ajakan Mahmud.

“Dari atas ketinggian sana kita bisa melihat pemandangan desa dengan segala seluk-beluk di sekelilingnya. Apa kau tidak tertarik?”

“Tapi jarak dari sini ke gunung itu cukup jauh, belum lagi mendaki gunungnya.”

“Tidak sampai satu kilometer dari sini. Aku pernah ikut kakek pergi memancing sepat dan puyu di sawah-sawah di bawah pegunungan itu. Asal kau tahu saja, menurut cerita kakek, di lereng gunung itu terdapat banyak pohon durian, lai, lahung,cempedak, asam putar, wanyi, rambutan dan langsat yang buah-buahnya akan menjadi tanah jika tidak ada orang yang pergi ke sana memungut buah yang jatuh. Saat ini sedang musim buah, makanya kuajak kau ke sana sekarang.”

Aku mulai tertarik pada cerita Mahmud. Harus kuakui kawanku satu ini memang pandai bicara dalam memikat lawan bicaranya sekalipun dia belum lancar membaca dan masih lambat dalam berhitung. Aku dan Mahmud bertetangga. Dia tinggal dengan kakek Yunus di rumah kayu kecil bercat kapur putih yang terletak di gerbang jalan tanah menuju jalan raya yang beraspal. Kakek Yunus adalah ayah dari pihak ibunya. Mereka hanya tinggal berdua. Istri kakek Yunus telah lama meninggal, bahkan ketika aku belum lahir. Kedua orangtua Mahmud tinggal di hilir sungai. Mereka bertani menanam padi dan berkebun pisang. Saat musim kemarau mereka juga menanam jagung, labu dan semangka.

Setiap hari Sabtu seusai jam sekolah Mahmud pulang ke rumah orangtuanya melewati jalan setapak membelah hutan belantara seorang diri. Dan pada hari Senin, di pagi buta selepas subuh, saat rumput belukar dan pepohonan masih bermandikan embun malam, dia kembali pergi menuju Long Kali untuk bersekolah. Menurut cerita Mahmud, pada suatu kesempatan padaku, dalam perjalan pergi-pulang melintasi hutan dan jalan setapak itu dia terus berlari tanpa henti hingga tiba di tangga rumah.

“Itulah sebabnya, karena aku seorang pelari ulung makanya tubuhku lebih besar dari tubuh kalian,” begitu jawab Mahmud ketika kutanyakan kenapa dia jadi murid paling besar badannya di kelas.

Aku tak bisa memahami penjelasan hubungan antara kemampuan berlari cepat dengan tubuh cepat besar yang dikemukakan Mahmud.

“Oh begitu. Kupikir kau masuk sekolah pada usia sembilan tahun,” selorohk umenggodanya. Tak mau kalah.

Aku tak tahu persis berapa kilometer jarak dari Long Kali yang merupakan ibu kota kecamatan ke Dusun Lebbu, kampungnya Mahmud. Aku hanya satu kali pernah pergi ke sana ikut dengan kakek Yunus menengok Mahmud yang tak kunjung datang dan empat hari tidak masuk sekolah. Dua setengah jam kami berjalan kaki untuk sampai kerumahnya. Rumah Mahmud berbentuk rumah panggung dengan tiang-tiang yang tinggi. Tinggi kolong rumahnya lebih tinggi dari tinggi tubuh orang dewasa. Kampung mereka sangat sepi. Jarak rumah penduduk puluhan atau bahkan bisa ratusan meterjauhnya. Tetangga terdekatnya hanyalah kera dan tupai.

Ternyata Mahmud terkena penyakit campak. Dia tidak dibawa ke puskesmas, atau diberi minum obat. Hanya pengobatan tradisional, disembur pakai daun sirih oleh seorang dukun kampung.

Kakek Yunus adalah tukang cukur paling terkenal di desa kami. Dia bekerja dengan cekatan dan hasil potongannya rapi. Tempat dan peralatan kerjanya selalu bersih dan tidak berantakan. Pelanggannya bahkan datang dari berbagai desa tetangga. Hari Selasa yang merupakan hari pasar sekali dalam seminggu menjadi hari paling sibuk baginya karena banyak pengunjung pasar yang datang dari hulu dan hilir sungai singgah untuk memotong rambut padanya.

Setiap bulan aku potong rambut padanya juga. Ongkosnya Rp 350. Setiap kali kusodorkan uang pas pemberian ibu, kakek Yunus mengembalikan uang logam Rp 50 kepadaku.

“Kaupakailah untuk membeli permen telur cicak kesukaanmu,” selalu begitu katanya.

Akut ak tahu kenapa kakek Yunus selalu memberiku potongan harga. Mungkin karena aku berkawan karib dengan Mahmud. Aku hanya menduga saja.

Lelaki usia paruh baya yang rambutnya sebagian telah memutih dan selalu memakai peci ini telah menjadi tukang cukur sejak puluhan tahun lalu. Dari cerita yang sangat terkenal di desa kami yang pernah kudengar, dia pernah jadi tukang cukur tentara Jepang. Kakek Yunus bekerja mengurus beberapa keperluan tentara Jepang dan tenaga ahli perminyakan dalam pemasangan dan perawatan pipa minyak dari Tanjung menuju kilang penyulingan minyak di kota Balikpapan. Dia menjadi tukang masak, mencuci pakaian, menyiapkan air mandi, juru dayung perahu penyeberangan sampai mencukur rambut tentara Jepang.

Padasuatu senja yang malang, perahu yang dipakai kakek Yunus menyeberangkan tentara Jepang dan pekerja pemasangan pipa minyak yang baru pulang dari lokasi kerja tenggelam karena kelebihan muatan. Lusinan penumpang perahu tewas terseret derasnya arus Sungai Telake yang tengah banjir besar. Komandan tentaraJ epang sangat marah. Kakek Yunus ditangkap, disiksa dan diikat di pohon kelapa selama dua hari dua malam. Tidak diberi makan dan minum serta dibiarkan terpanggang panas matahari di siang hari dan menjadi santapan nyamuk dan gigitan dinginnya angin di malam hari. Beruntunglah kakek Yunus tidak dibunuh. Mungkin karena komandan Jepang berubah pikiran dengan menganggap kejadian itu merupakan kecelakaan murni atau atas pertimbangan jasa kakek Yunus kepada orang Jepang selama ini.

Sampai Jepang kalah perang, menyerah dan dipulangkan, mereka tidak pernah tahu bahwa sebenarnya kakek Yunus adalah seorang pejuang yang berhasil menyusup ke markas Jepang untuk memata-matai kekuatan dan rencana kegiatan mereka. Informasi yang didapat kakek Yunus dikirim ke teman-teman pejuang yang bergerilya di dalam hutan dan dipakai sebagai petunjuk dalam menyerang kepentingan Jepang.

Setelah perang selesai, teman-teman seperjuangan kakek Yunus pergi ke kota Balikpapan untuk bergabung menjadi tentara guna menghadapi Belanda yang datang ingin menjajah Indonesia lagi. Kakek Yunus tidak bisa ikut serta. Bekas hantaman popor senjata tentara Jepang di paha dan tulang kering kakinya membuat jalannya menjadi timpang. Derita cacat seumur hidup itu membuatnya tak mepunyai pilihan selain terus tetap tinggal di Long Kali menjadi petani dan tukang cukur.

Kakek Yunus tidak pernah terdaftar sebagai veteran perang yang berhak mendapat santunan uang pensiun setiap bulan dan diundang ke ibu kota kabupaten saat resepsi hari kemerdekaan. Pun tidak pernah mau menceritakan masa perjuangannya kepada siapapun jua. Termasuk kepada Mahmud dan aku.

“Jika kau ingin tahu tentang kisah heroik, kau bacalah buku pelajaran sejarah sekolahmu. Di sana terdapat kisah perjuangan kemerdekaan yang melahirkan banyak pahlawan. Merekalah pahlawan yang diakui negara,” begitu jawab kakek Yunus ketika aku memintanya bercerita, saat aku bercukur padanya.

Rupanya dia telah mengunci gudang yang berisi timbunan kenangan masa perjuangannya, lalu anak kuncinya dibuang sejauh mungkin.

“Ayo kita pulang,” ajak Mahmud memecah lamunanku yang masih terus mengedarkan pandangan dari satu arah ke arah lain di bawah sana.

“Tunggulah sebentar lagi. Belum surut benar lelahku serta belum puas mataku menyaksikan pemandangan di bawah sana.”

“Hei,kawan. Sudah satu jam kita berada di ketinggian sini. Ini sudah lewat tengah hari. Aku sudah lapar. Ayo kita turun ke hutan buah-buahan di bawah sana mencari pengganjal perut,” Mahmud mulai berdiri dan beranjak pergi dengan langkah-langkah panjang.

Aku segera berdiri juga dan mengikutinya. “Di mana letaknya? Aku tak melihat nyatadi waktu kita naik ke sini.”

“Kaulihat ke arah Utara sana, itu agak di kiri selepas hutan sungkai,” jawab Mahmud tanpa menoleh ke arahku.

Kami mulai menapaki jalan turun berupa bongkahan bebatuan. Aku harus mengakui Mahmud memang memiliki sepasang kaki yang kuat buat dipakai berjalan cepat. Sebentar saja dia mulai jauh meninggalkanku. Sementara aku berjalan perlahan, memastikan setiap bebatuan yang akan kulalui tidak bergoyang atau terjatuh saat kuinjak dan tanganku mencari-cari apa saja yang bisa kupegang untuk dijadikan penopang bila aku terpeleset. Perutku yang lapar membuat gerakan kaki terasa berat.

Akumenoleh mencari Mahmud. Ternyata dia sudah jauh di bawah sana. Dia macam bebatuan yang jatuh menggelinding dan menjauh dalam waktu sekejap. Sempat kulihat di kejauhan bawah sana dia berhenti dan menoleh ke arahku, tangannya menunjuk ke arah kiri. Mungkin itu isyarat agar aku menyusulnya ke arah sana. Sebentar kemudian dia lenyap memasuki semak belukar di ambang hutan sungkai.

Setelah entah berapa lamanya, aku yang terus beringsut menuruni lereng gunung akhirnya tiba jua di semak belukar tempat Mahmud berdiri terakhir kalinya tadi. Tubuhku basah bemandikan keringat. Baju seragam sekolah yang kupakai turut basah pula dan kotor. Entah di mana Mahmud kini. Mungkin tengah makan durian di hutan buah sana. Aku menerobos semak belukar. Adakalanya aku harus berjalan sambil merunduk agar kepala dan tubuhku tidak tergores duri belukar. Aku tak tahu arah mana yang harus kutuju. Kuikuti saja bekas rintisan yang mungkin juga dilalui Mahmud tadi.

Selepas melalui semak belukar, di depanku terpampang deretan pohon-pohon yang batangnyadiselimuti bekas pelepah yang telah dipotong. Pelepahnya berwarna hijau muda dengan daun tersusun majemuk menyirip berwarna hijau tua. Di atas pelepah-pelepahnya itu tampak tandan yang menampung gerombolan buah yang berwarna merah kehitam-hitaman. Pohon-pohon dengan jarak tanam yang teratur, kira-kira 7 atau 8 meter, besar dan tingginya hampir sama semua dan sangat banyak jumlahnya. Sejauh mata memandang, yang tampak hanyalah hamparan barisan pohon yang sama. Tidak ada tanaman lain. Aku tak tahu pohon apa ini karena aku tidak pernah melihatnya sebelumnya. Tanah tempat tumbuh pepohonan ini tampak bersih dari rerumputan dan belukar. Sepertinya belum lama disemprot dengan cairan pembasmi rumput. Tentu saja ini bukan hutan buah-buahan seperti yang diceritakan Mahmud. Ini lebih pantas disebut perkebunan karena pohon-pohon ini ditanam secara teratur dan terawat dengan baik.

Aku lanjutkan berjalan mengikuti jalan setapak di antara deretan pohon-pohon yang tidak kutahu namanya. Di kejauhan sana kudengar suara menderu panjang kemudian melemah dan hilang. Berulang kali suara-suara itu datang untuk kemudian menghilang. Aku bergegas dengan setengah memaksakan diri berlari memburu ke arah datangnya suara-suara itu. Dengan nafas yang tersisa satu-dua aku sampai ke ujung perkebunan ini yang ternyata berbatasan dengan jalan aspal. Tak lama kemudian tampak iring-iringan kendaraan yang semakin mendekatiku ternyata adalah truk tangki. Iring-iringan truk tangki inilah rupanya yang mengirimkan suara deru sampai jauh yang kudengar di dalam perkebunan tadi. Truk-truk tangki itu bermacam-macam warnanya. Ada biru, hijau, kuning, putih serta coklat. Semua truk itu tangkinya bertuliskan CPO. Aku tak tahu apa arti tulisan itu. Selama ini truk tangki yang pernah kulihat semuanya berwarna merah yang bertuliskan Pertamina.

Tak lama kemudian dari arah berlawanan datangnya truk-truk tangki tadi, tampak pula iring-iringan panjang truk dengan bak kayu tinggi dan mobil pick up bermuatan buah-buah yang bergerombol dalam tandan berukuran besar yang baru untuk pertama kalinya kulihat di perkebunan tadi.

Aku tidak pernah mendengar cerita ada kampung dengan jalan beraspal di sekitar kaki gunung ini. Setahuku hanyalah hamparan sawah dan hutan belantara tempat orang mencari rotan, getah damar dan kayu gaharu yang disebut-sebut menjadi kerajaan orang bunian, makhluk gaib penghuni rimba raya. Aku pernah mendengar cerita dari beberapa tetangga kami yang sering masuk-keluar hutan mencari rotan, getah damar dan kayu gaharu, mereka selalu membawa cermin kecil. Bila mereka merasa telah jauh masuk ke dalam hutan, sebentar-sebentar mereka akan menatap cermin. Jika melihat bayangan mereka di depan cermin tampak mulai kabur, itu pertanda mereka sudah mendekati pintu gerbang kerajaan orang bunian. Mereka segera berpatah balik. Pulang. Tidak lagi berani melanjutkan pencarian.

“Sekali seseorang melanggar masuk batas negeri makhluk gaib itu, pasukan penjaga perbatasan kerajaan orang bunian langsung menangkap dan memaksanya menetap bersama mereka di sana. Kalaupun berhasil melarikan diri, maka dia akan menjadi bisu seumur hidup sehingga tidak bisa menceritakan tentang keberadaan dan kehidupa norang bunian!” begitu kisah para pencari rotan itu.

Mengingat cerita seram demikian membuatku jadi bergidik ngeri membayangkan andai aku tersesat ke negeri orang bunian. Aku berharap itu tidak terjadi padaku sekarang ini. Aku sangat ketakutan dan mungkin saja aku telah menangis tanpa kusadari.

Aku putuskan menelusuri jalan aspal mengikuti arah tujuan truk pengangkut buah itu.Aku berpikir mungkin saja iring-iringan truk pergi menuju tempat penampungan atau pabrik pengolahan buah yang entah untuk dijadikan apa. Tentulah ada erkampungan penduduk di sana. Setelah sekian lama berjalan, mulai tampak olehku beberapa rumah-rumah penduduk, di depan pekarangan tiap-tiap rumah terdapat timbunan bertandan-tandan buah yang sama dengan muatan truk. Semakin jauh maka semakin banyak pula rumah di kedua sisi jalan dan semakin menggunung pula buah-buah itu. Di salah satu sudut pemukiman yang menjorok kedalam terlihat banyak orang berkumpul dan lalu lalang.

Aku menuju ke sana. Ternyata itu pasar. Aku kembali tersentak kaget dan sekali lagi rasa takut membuat jantungku berdegup lebih kencang karena setahuku lokasi pasar berada di seberang sungai. Ada di mana aku sekarang ini sebenarnya? Begitu banyak orang di pasar ini, namun tidak seorangpun yang aku kenal dan tak ada yang peduli atau menoleh ke arahku. Semua orang berjalan tergesa-gesa dan berdesak-desakan di lorong-lorong pasar yang sempit. Ada penjual obat sedang melakukanpertunjukan sulap. Suaranya lantang melolong melalui pengeras suara, membujuk pengunjung pasar untuk mendekat. Biasanya aku sangat tertarik menonton atraksi penjual obat. Tetapi tidak untuk saat sekarang ini.

Aku terus berpikir keras bagaimana caranya mencari jalan pulang ke rumahku yangterletak di tepi Sungai Telake. Aku ikuti rombongan pengunjung pasar yang tasnya penuh berisi barang belanjaan yang mengambil jalan ke arah Timur. Itu juga arah ke Sungai Telake. Tentulah mereka akan pulang ke rumahnya, pikirku. Aku membuntuti mereka namun tak berani menyapa atau bertanya. Ternyata jalan ini tidak terlalu panjang, tembus ke jalan raya dua jalur yang lebar. Di seberang jalan tampak bangunan beton bertuliskan Kantor Kelurahan. Sejak kapan kantor ini berubah dari bangunan kayu berbentuk huruf L menjadi bangunan batu atau beton yang besar dan megah? Demikian pula mushalla di sebelahnya serta rumah-rumah lain di sepanjang tepi jalan. Bukankah tadi pagi bangunan-bangunan itu masih terbuat dari kayu semua? Setahuku hanya bangunan kantor polisi dan kantor PLN yang terbuat dari beton. Kantor camat, kantor lurah, balai desa,mesjid, sekolah dan rumah penduduk semuanya merupakan bangunan kayu.

Aku bergerak ke arah kiri jalan, arah seharusnya letak Sungai Telake dari depan kantor lurah ini. Aku lihat lapangan sepakbola yang seharusnya hanya ada beberapa rumah di setiap sisi lapangan kini penuh dengan banyak rumah, diantaranya rumah beton pula. Di depan lapangan terdapat pangkalan yang bertuliskan Pos Ojek. Banyak sepeda motor dan orang berkumpul dan mengobrol disana. Ada yang bermain catur sambil minum kopi. Sama seperti di pasar tadi, tak seorangpun di antara mereka yang kukenal dan menoleh kepadaku saat aku melintas di depan mereka.

Aku memandang ke seberang jalan raya mencari letak pintu gerbang menuju jalan tanah dengan lebar sekitar tiga meter, jalan menuju rumahku. Tetapi tidak tampak olehku. Yang ada justru jalan beton semen yang lebar. Setidaknya delapan meter lebarnya, taksirku. Rumah dan toko di sekitar gerbang jalan beton semen semuanya bangunan model baru yang belum pernah aku melihatnya. Namun aku mengenali satu rumah kecil bercat kapur putih yang letaknya tepat di depan gapura persimpangan jalan, terjepit di antara rumah dan ruko-ruko besar dan berloteng tinggi.

Itu rumah kakek Yunus!

Aku ingin segera menghambur keseberang sana, namun kendaraan yang melintas sangat padat dan tak putus-putus. Cukup lama aku menunggu untuk bisa menyeberang jalan.

Aku masuk ke rumah kakek Yunus yang pintunya berupa pintu-pintu bersambung seperti pintu toko yang selalu terbuka di siang hari. Kakek Yunus yang berdiri dengan posisi membelakangi pintu sedang menerima uang dari orang bertubuh tambun yang baru saja selesai dicukurnya. Ada dua laki-laki dewasa dan satu remaja yang sedang mengantri giliran mereka.

Aku maju beberapa langkah mendekati kakek Yunus sembari menarik perlahan bajunya dari belakang. “Mana Mahmud, Kek?” tanyaku.

Kakek dengan rambut penuh uban dan mengenakan peci itu berpaling, menoleh ke arahku. Dia membetulkan posisi kacamatanya yang tadi melorot di hidungnya. Dia menatapku dalam-dalam, dari kaki naik ke kepala. Aku berpikir mungkin saja dia kaget atau tidak senang melihat pakaian dan tubuhku yang kotor. Lama dia terdiam, namun terus menatapku tanpa berkedip. Tiga orang yang sedang antri dan seorang yang baru saja selesai potong rambut juga menatapku dengan pandangan yang tidak aku mengerti maksudnya. Aku menjadi kikuk.

“Akulah Mahmud,” akhirnya dia buka suara. Dia diam lagi sejenak, “Saudara siapa gerangan?” lanjutnya bertanya, tetap dengan tatapan yang asing bagiku. Begitu juga tatapan empat orang lainnya yang ada di ruangan ini. Sesekali mereka saling memandang satu sama lain untuk kemudian serentak memandang ke arahku lagi.

Pengakuandan pertanyaan yang baru saja diucapkan kakek tua itu tentu saja membuatku sangat kaget. Kenapa dia mengaku sebagai Mahmud dan berlagak tidak mengenalku?

Mungkin saja Mahmud sudah ada di dalam sana dan sebelumnya telah mengatur persekongkolan dengan kakeknya untuk membuatku kebingungan. Aku membayangkan wajah licik Mahmud tengah cekikin mengintip dari balik ruang tengah.

Aku menyapu pandangan ke seluruh arah ruangan yang aku kenal baik ini. Empat buah kursi tunggu yang terbuat dari rotan dan satu meja kayu masih ada di posisinya masing-masing. Di salah satu sudut terdapat lemari kayu berwarna coklat pudar tanpa kaca tempat menaruh radio transistor tua yang sedang menyiarkan warta berita. Pada dinding di atas radio, terdapat poster presiden Sukarno didampingi Muhammad Hatta tengah membacakan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Begitu juga sebuah meja kecil dari kayu tempat menaruh kotak perabotan yang berisi gunting,sisir dan peralatan cukur lainnya.

Namun sekonyong-konyong aku terperanjat kaget melihat di sebelah cermin besar yang digantung di dinding, tertempel selembar kertas karton warna putih kusam seukuran buku tulis yang belum pernah kulihat sebelumnya, bertuliskan:

Dewasa : Rp 15.000

Anak-anak : Rp 10.000

Aku beringsut maju ke depan cermin besar dan menatapnya lekat-lekat, tetapi bayangan yang muncul dari dalam cermin adalah sesosok lelaki paruh baya dengan bentuk wajah tirus, dahi penuh garis bekerut-kerut. Rambutnya tipis dan jarang-jarang terurai hingga ke bahu, lebih banyak rambut yang berwarna putih dibanding hitam. Demikian pula kumis dan jenggotnya, penuh uban.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun