Mohon tunggu...
Muhammad Dahlan
Muhammad Dahlan Mohon Tunggu... Petani -

I am just another guy with an average story

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hilang

9 Maret 2017   22:08 Diperbarui: 11 Maret 2017   22:00 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Hei,kawan. Sudah satu jam kita berada di ketinggian sini. Ini sudah lewat tengah hari. Aku sudah lapar. Ayo kita turun ke hutan buah-buahan di bawah sana mencari pengganjal perut,” Mahmud mulai berdiri dan beranjak pergi dengan langkah-langkah panjang.

Aku segera berdiri juga dan mengikutinya. “Di mana letaknya? Aku tak melihat nyatadi waktu kita naik ke sini.”

“Kaulihat ke arah Utara sana, itu agak di kiri selepas hutan sungkai,” jawab Mahmud tanpa menoleh ke arahku.

Kami mulai menapaki jalan turun berupa bongkahan bebatuan. Aku harus mengakui Mahmud memang memiliki sepasang kaki yang kuat buat dipakai berjalan cepat. Sebentar saja dia mulai jauh meninggalkanku. Sementara aku berjalan perlahan, memastikan setiap bebatuan yang akan kulalui tidak bergoyang atau terjatuh saat kuinjak dan tanganku mencari-cari apa saja yang bisa kupegang untuk dijadikan penopang bila aku terpeleset. Perutku yang lapar membuat gerakan kaki terasa berat.

Akumenoleh mencari Mahmud. Ternyata dia sudah jauh di bawah sana. Dia macam bebatuan yang jatuh menggelinding dan menjauh dalam waktu sekejap. Sempat kulihat di kejauhan bawah sana dia berhenti dan menoleh ke arahku, tangannya menunjuk ke arah kiri. Mungkin itu isyarat agar aku menyusulnya ke arah sana. Sebentar kemudian dia lenyap memasuki semak belukar di ambang hutan sungkai.

Setelah entah berapa lamanya, aku yang terus beringsut menuruni lereng gunung akhirnya tiba jua di semak belukar tempat Mahmud berdiri terakhir kalinya tadi. Tubuhku basah bemandikan keringat. Baju seragam sekolah yang kupakai turut basah pula dan kotor. Entah di mana Mahmud kini. Mungkin tengah makan durian di hutan buah sana. Aku menerobos semak belukar. Adakalanya aku harus berjalan sambil merunduk agar kepala dan tubuhku tidak tergores duri belukar. Aku tak tahu arah mana yang harus kutuju. Kuikuti saja bekas rintisan yang mungkin juga dilalui Mahmud tadi.

Selepas melalui semak belukar, di depanku terpampang deretan pohon-pohon yang batangnyadiselimuti bekas pelepah yang telah dipotong. Pelepahnya berwarna hijau muda dengan daun tersusun majemuk menyirip berwarna hijau tua. Di atas pelepah-pelepahnya itu tampak tandan yang menampung gerombolan buah yang berwarna merah kehitam-hitaman. Pohon-pohon dengan jarak tanam yang teratur, kira-kira 7 atau 8 meter, besar dan tingginya hampir sama semua dan sangat banyak jumlahnya. Sejauh mata memandang, yang tampak hanyalah hamparan barisan pohon yang sama. Tidak ada tanaman lain. Aku tak tahu pohon apa ini karena aku tidak pernah melihatnya sebelumnya. Tanah tempat tumbuh pepohonan ini tampak bersih dari rerumputan dan belukar. Sepertinya belum lama disemprot dengan cairan pembasmi rumput. Tentu saja ini bukan hutan buah-buahan seperti yang diceritakan Mahmud. Ini lebih pantas disebut perkebunan karena pohon-pohon ini ditanam secara teratur dan terawat dengan baik.

Aku lanjutkan berjalan mengikuti jalan setapak di antara deretan pohon-pohon yang tidak kutahu namanya. Di kejauhan sana kudengar suara menderu panjang kemudian melemah dan hilang. Berulang kali suara-suara itu datang untuk kemudian menghilang. Aku bergegas dengan setengah memaksakan diri berlari memburu ke arah datangnya suara-suara itu. Dengan nafas yang tersisa satu-dua aku sampai ke ujung perkebunan ini yang ternyata berbatasan dengan jalan aspal. Tak lama kemudian tampak iring-iringan kendaraan yang semakin mendekatiku ternyata adalah truk tangki. Iring-iringan truk tangki inilah rupanya yang mengirimkan suara deru sampai jauh yang kudengar di dalam perkebunan tadi. Truk-truk tangki itu bermacam-macam warnanya. Ada biru, hijau, kuning, putih serta coklat. Semua truk itu tangkinya bertuliskan CPO. Aku tak tahu apa arti tulisan itu. Selama ini truk tangki yang pernah kulihat semuanya berwarna merah yang bertuliskan Pertamina.

Tak lama kemudian dari arah berlawanan datangnya truk-truk tangki tadi, tampak pula iring-iringan panjang truk dengan bak kayu tinggi dan mobil pick up bermuatan buah-buah yang bergerombol dalam tandan berukuran besar yang baru untuk pertama kalinya kulihat di perkebunan tadi.

Aku tidak pernah mendengar cerita ada kampung dengan jalan beraspal di sekitar kaki gunung ini. Setahuku hanyalah hamparan sawah dan hutan belantara tempat orang mencari rotan, getah damar dan kayu gaharu yang disebut-sebut menjadi kerajaan orang bunian, makhluk gaib penghuni rimba raya. Aku pernah mendengar cerita dari beberapa tetangga kami yang sering masuk-keluar hutan mencari rotan, getah damar dan kayu gaharu, mereka selalu membawa cermin kecil. Bila mereka merasa telah jauh masuk ke dalam hutan, sebentar-sebentar mereka akan menatap cermin. Jika melihat bayangan mereka di depan cermin tampak mulai kabur, itu pertanda mereka sudah mendekati pintu gerbang kerajaan orang bunian. Mereka segera berpatah balik. Pulang. Tidak lagi berani melanjutkan pencarian.

“Sekali seseorang melanggar masuk batas negeri makhluk gaib itu, pasukan penjaga perbatasan kerajaan orang bunian langsung menangkap dan memaksanya menetap bersama mereka di sana. Kalaupun berhasil melarikan diri, maka dia akan menjadi bisu seumur hidup sehingga tidak bisa menceritakan tentang keberadaan dan kehidupa norang bunian!” begitu kisah para pencari rotan itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun