Mohon tunggu...
Muhammad Dahlan
Muhammad Dahlan Mohon Tunggu... Petani -

I am just another guy with an average story

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hilang

9 Maret 2017   22:08 Diperbarui: 11 Maret 2017   22:00 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Tapi jarak dari sini ke gunung itu cukup jauh, belum lagi mendaki gunungnya.”

“Tidak sampai satu kilometer dari sini. Aku pernah ikut kakek pergi memancing sepat dan puyu di sawah-sawah di bawah pegunungan itu. Asal kau tahu saja, menurut cerita kakek, di lereng gunung itu terdapat banyak pohon durian, lai, lahung,cempedak, asam putar, wanyi, rambutan dan langsat yang buah-buahnya akan menjadi tanah jika tidak ada orang yang pergi ke sana memungut buah yang jatuh. Saat ini sedang musim buah, makanya kuajak kau ke sana sekarang.”

Aku mulai tertarik pada cerita Mahmud. Harus kuakui kawanku satu ini memang pandai bicara dalam memikat lawan bicaranya sekalipun dia belum lancar membaca dan masih lambat dalam berhitung. Aku dan Mahmud bertetangga. Dia tinggal dengan kakek Yunus di rumah kayu kecil bercat kapur putih yang terletak di gerbang jalan tanah menuju jalan raya yang beraspal. Kakek Yunus adalah ayah dari pihak ibunya. Mereka hanya tinggal berdua. Istri kakek Yunus telah lama meninggal, bahkan ketika aku belum lahir. Kedua orangtua Mahmud tinggal di hilir sungai. Mereka bertani menanam padi dan berkebun pisang. Saat musim kemarau mereka juga menanam jagung, labu dan semangka.

Setiap hari Sabtu seusai jam sekolah Mahmud pulang ke rumah orangtuanya melewati jalan setapak membelah hutan belantara seorang diri. Dan pada hari Senin, di pagi buta selepas subuh, saat rumput belukar dan pepohonan masih bermandikan embun malam, dia kembali pergi menuju Long Kali untuk bersekolah. Menurut cerita Mahmud, pada suatu kesempatan padaku, dalam perjalan pergi-pulang melintasi hutan dan jalan setapak itu dia terus berlari tanpa henti hingga tiba di tangga rumah.

“Itulah sebabnya, karena aku seorang pelari ulung makanya tubuhku lebih besar dari tubuh kalian,” begitu jawab Mahmud ketika kutanyakan kenapa dia jadi murid paling besar badannya di kelas.

Aku tak bisa memahami penjelasan hubungan antara kemampuan berlari cepat dengan tubuh cepat besar yang dikemukakan Mahmud.

“Oh begitu. Kupikir kau masuk sekolah pada usia sembilan tahun,” selorohk umenggodanya. Tak mau kalah.

Aku tak tahu persis berapa kilometer jarak dari Long Kali yang merupakan ibu kota kecamatan ke Dusun Lebbu, kampungnya Mahmud. Aku hanya satu kali pernah pergi ke sana ikut dengan kakek Yunus menengok Mahmud yang tak kunjung datang dan empat hari tidak masuk sekolah. Dua setengah jam kami berjalan kaki untuk sampai kerumahnya. Rumah Mahmud berbentuk rumah panggung dengan tiang-tiang yang tinggi. Tinggi kolong rumahnya lebih tinggi dari tinggi tubuh orang dewasa. Kampung mereka sangat sepi. Jarak rumah penduduk puluhan atau bahkan bisa ratusan meterjauhnya. Tetangga terdekatnya hanyalah kera dan tupai.

Ternyata Mahmud terkena penyakit campak. Dia tidak dibawa ke puskesmas, atau diberi minum obat. Hanya pengobatan tradisional, disembur pakai daun sirih oleh seorang dukun kampung.

Kakek Yunus adalah tukang cukur paling terkenal di desa kami. Dia bekerja dengan cekatan dan hasil potongannya rapi. Tempat dan peralatan kerjanya selalu bersih dan tidak berantakan. Pelanggannya bahkan datang dari berbagai desa tetangga. Hari Selasa yang merupakan hari pasar sekali dalam seminggu menjadi hari paling sibuk baginya karena banyak pengunjung pasar yang datang dari hulu dan hilir sungai singgah untuk memotong rambut padanya.

Setiap bulan aku potong rambut padanya juga. Ongkosnya Rp 350. Setiap kali kusodorkan uang pas pemberian ibu, kakek Yunus mengembalikan uang logam Rp 50 kepadaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun