Mohon tunggu...
Maz Joyo
Maz Joyo Mohon Tunggu... -

Pecinta Giok Aceh

Selanjutnya

Tutup

Politik

Konspirasi Jahat Ganti Rugi Lahan Pasar Tradisional Minuran Aceh Tamiang

15 Juni 2015   08:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:02 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kasus dugaan korupsi sejumlah proyek bermasalah masih saja terjadi. Hal ini dikarenakan adanya indikasi penyalahgunaan wewenang serta adanya dugaan mark up anggaran diawali adanya konspirasi kepentingan oknum-oknum di jajaran eksekutif maupun legislatif yang ada di Kabupaten Aceh Tamiang. 

Kemudian, tidak adanya perencanaan yang matang dalam pembangunan dan terkesan asal-asalan serta tidak transparansinya asal anggaran, justru besar potensi timbulnya kerugian keuangan negara. Dengan adanya keanehan dan kejanggalan terutama di proses penganggaran, maka ini harus diusut tuntas. 

Dari hasil pengumpulan data di lapangan, LembAHtari menemukan bahwasanya Badan Anggaran DPRK Aceh Tamiang Tahun 2014 tidak pernah membahas usulan ganti rugi lahan untuk pusat pasar tradisional di Desa Minuran, Kec. Kejuruan Muda, Kab. Aceh Tamiang.

Hal tersebut dikatakan Direktur Eksekutif LembAHtari, Sayed Zainal M, SH, saat dikonfirmasi terkait indikasi tindak pidana korupsi ganti rugi lahan untuk pusat pasar tradisional di Desa Minuran, Sabtu (6/6/2015), di Kuala Simpang.

Lebih lanjut, Sayed Zainal mengungkapkan bahwa pada tanggal 8 Agustus 2014, ada rapat terakhir Badan Anggaran DPRK yang dipimpin Wakil Ketua DPRK H. Arman Muis. Namun berdasarkan resume dan hasil rapat tersebut, Banggar tidak membahas tentang persoalan ganti rugi lahan untuk pusat pasar tradisional itu.

Tapi anehnya, pada tanggal 5 September 2014, muncul anggaran ganti rugi lahan untuk pusat pasar tradisional tersebut, di APBK Perubahan 2014 dengan anggaran sebesar RP 2,5 Milyar dan ditetapkan dalam Qanun APBK P No.5 Tahun 2014.

"Kalau kita usut ke belakang. Pada awalnya pihak terkait, dalam hal ini Disperindagkop Aceh Tamiang di bulan 4, 5, 6 dan bulan 7 tahun 2014, tidak pernah ada usulan program itu. Ini suatu keanehan, kok tiba-tiba diplotkan di APBK P, darimana sumber dananya?" tanya Sayed heran.

Masih kata Sayed, kita minta Kejaksaan Negeri Kuala Simpang bisa mengungkap awal mata rantai kasus ini. Sehingga akan terungkap pihak-pihak yang terlibat, karena ada indikasi mark up dan menurut kita berpotensi merugikan keuangan negara.

"Namun ini perlu pembuktian, dan kita sudah ada data penunjang. Karena soal ganti rugi lahan tersebut di akhir Tahun 2012, tidak mencapai Rp 800 juta, tapi kok Tahun 2014 bisa di angka Rp 2,5 Milyar. Meski ada pemotongan di BPHTB, namun apabila berpatokan NJOB, tidak sampai di angka itu. Seharusnya, dalam menentukan harga ganti rugi lahan memakai nilai kepatutan," terangnya.

Menurutnya, ini tidak ada perencanaan dalam dokumen mengenai pusat pasar tradisional di Minuran. Kalau di daerah Kejuruan Muda, tidak dipakai dan dikembangkan saja Pasar Sungai Liput.

"Butuh dana besar lagi untuk membangun lokasi itu. Karena lokasinya tidak layak (berada di pengkolan), selain itu lokasi juga harus ditimbun yang tentunya butuh biaya besar," kritiknya.

Ternyata, lanjutnya, tidak ada estimasi anggaran lagi dari Disperindagkop untuk pembangunan lokasi itu kedepan. "Sudah perencanaan asal-asalan, kemudian tidak ada pengembangan lanjutan. Jelas, ada indikasi mark up, ada potensi korupsi," imbuh Sayed Zaenal.

Katanya lagi, padahal sudah ada contoh pembangunan tanpa perencanaan dan akhirnya tidak bermanfaat justru merugikan keuangan negara. Kejadian seperti ini, sudah seringkali terjadi di Aceh Tamiang.

"Seperti pembangunan pasar di perbatasan Aceh Tamiang, yang bersumber APBN. Itu saja dibangun dengan penuh perencanaan, tapi hingga saat ini juga tidak bisa digunakan," katanya.

Kemudian, pembangunan Pajak Hongkong, sudah beberapa tahun dibangun sejak Tahun 2010. Sudah milyaran anggaran yang digunakan, tapi hingga hari ini, juga tidak bisa digunakan.

Padahal daripada proses ganti rugi lahan tersebut, meski beda dinasnya (dalam hal ini Dinas Perhubungan), seharusnya lebih penting usulan pembangunan gudang bongkar muat di Kuala Simpang.

"Itu sudah lama diusulkan, 2012 dan 2013 diusulkan, tapi dengan alasan tidak ada anggaran," ungkap Sayed Zaenal seraya menyarankan agar Bupati dan DPRK harus melakukan evaluasi dengan banyaknya program yang tidak bermanfaat dan justru menghabiskan uang negara saja.

"Sekali lagi, Kejaksaan Negeri Kuala Simpang harus mengusut tuntas kasus ini. Secara institusi ada Disperindagkop, eksekutif dan legislatif, kemudian ada pemilik lahan dan pengusaha yang bisa dijadikan saksi untuk mendapatkan bukti-bukti dugaan mark up dan indikasi tindak pidana korupsi ganti rugi lahan pusat pasar tradisional di Minuran. Selain itu, asal anggaran juga harus diungkap," demikian Direktur Eksekutif LembAHtari, Sayed Zainal M, SH.

Mantan Kadisperindagkop Aceh Tamiang Bungkam

Terkait indikasi tindak pidana korupsi ganti rugi lahan untuk pusat pasar tradisional di Desa Minuran, mantan Kadisperindagkop, Abdul Hadi, mulai berani menyampaikan kejujurannya.

Mantan Kadisperindagkop, Abdul Hadi, menyampaikan permohonan ma'afnya karena tidak sempat mengangkat panggilan telepon dan tidak membalas sms dari wartawan, terkait adanya indikasi mark up ganti rugi tanah untuk pusat pasar tradisional di Desa Minuran, Minggu (7/6/2015), sekira pukul 08.52 WIB.

Abdul Hadi mengaku bahwa kemarin dirinya dalam keadaan sibuk, dan dia juga mengatakan kebetulan telepon selulernya juga lagi tidak ada pulsa, sehingga tidak bisa membalas beberapa sms terkait konfirmasi tentang indikasi mark up ganti rugi tanah yang saat ini sedang tersandung masalah.

Abdul Hadi juga mengakui bahwa berita yang dikabarkan adalah berita yang mengandung unsur kebenaran. Cuma menurutnya, terkait permasalahan indikasi mark up yang harus diklarifikasi balik.

Pengakuan mantan Kadisperindagkop tersebut, proses ganti rugi lahan untuk lokasi pusat pasar tradisional Minuran sudah sesuai dengan standar perbandingan harga. Dengan sertifikat pembanding dan juga telah sesuai dengan surat keterangan harga dari datok desa setempat.

Dirinya juga menyampaikan bahwa selama ini telah bekerja sesuai dengan mekanisme tupoksi, sesuai dengan perintah tugas, dan juga telah berupaya membuat usulan sesuai dengan perintah agar tidak mati anggaran serta sesuai pula dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Abdul Hadi mengaku ingin berbuat untuk Tamiang, namun dia menyayangkan bahwa belum sempat harapan tersebut diwujudkan, dirinya sudah keburu dilengserkan. Apakah permasalahan ini ada indikasi penyetelan atau tidak oleh pihak pimpinan terhadap dirinya, Abdul Hadi mengaku tidak tahu.

Selama ini dirinya hanya menyadari bahwa pelengseran tersebut terkesan sangat aneh. Pasalnya, setelah sepuluh hari dicairkan anggaran ganti rugi tanah, barulah dirinya dilengserkan dari jabatan Kadisperindagkop Kabupaten Aceh Tamiang (anggaran ganti rugi cair pada pertengahan bulan Desember 2014, dan dirinya dilengserkan pada akhir bulan tersebut_red).

"Memang, pada prinsipnya pelengseran saya adalah sepenuhnya hak prerogatif dari seorang bupati. Tapi ada kesan bahwa pelaksanaan hak prerogatif tersebut tidak sesuai dengan etika yang berlaku," terangnya.

"Jujur saya katakan bahwa pekerjaan tentang pembangunan pusat pasar tradisional di Minuran tersebut bukanlah usulan dari saya. Dan saya hanya menjalankan perintah dari pimpinan," ungkapnya.

"Dan saat itu saya hanya menjalankan perintah dari pimpinan untuk membuat usulan karena dikabarkan ada anggaran di bagian keuangan dan rancangannya pun sudah disiapkkan oleh pihak Bapeda Kabupaten Aceh Tamiang," bebernya secara blak-blakkan.

"Oleh karenanya semua data untuk pekerjaan yang saya usulkan tersebut, langsung di drop out dari pihak badan anggaran ke pihak petugas anggaran di Disperindagkop Aceh Tamiang," bebernya lagi.

"Ironisnya, usulan tersebut sudah ada dokumennya dan ada kesan bahwa seolah-olah dokumen yang sudah dipersiapkan itu, sebagai alat pembuktian bahwa jauh-jauh hari saya sudah membuat usulan tentang pekerjaan yang sedang didera masalah besar ini" ungkapnya sedih.

Abdul Hadi melihat bahwa ada indikasi ada orang yang memakan nangka tapi dirinya yang akan terkena getah nantinya.

"Saya membuat usulan setelah dinyatakan adanya anggaran oleh bagian keuangan serta pihak Bapeda Aceh Tamiang. Ketentuannya, jauh-jauh hari saya harus membuat usulan terlebih dahulu, barulah nantinya akan muncul anggaran untuk usulan tersebut. Bukankan pekerjaan ini sangat rancu?" tanyanya dengan nada serius.

Masih menurut Abdul Hadi, biasanya untuk mengusulkan anggaran berupa pengecatan kantor ataupun untuk perbaikan komputer rusak, sangatlah sulit prosesnya. Tapi entah kenapa untuk anggaran yang jumlahnya sangat besar tersebut, yakni sejumlah Rp. 2,5 Milyar, sangat mudah sekali pencairannya?

"Siapa sesungguhnya yang telah nekad bermain curang dalam permasalahan ini?" tanya Abdul Hadi serius.

Kita harus menganalisa tentang kapasitas dan sistem kerja pihak Panitia Anggaran Kabupaten Aceh Tamiang. Apakah panitia anggaran yang terdiri dari A, B, C dan seterusnya merupakan panitia beneran, top down, ataukah hanya panitia titipan?

"Saya sangat bingung bahkan tidak tahu untuk memberikan jawaban tentang hal itu," jelasnya secara terbuka.

Adapun keanehan lainnya yang dia lihat adalah usulan tentang permasalahan pusat pasar tradisional di Minuran tidak pernah dibahas dalam sidang-sidang saat menuju pencairan anggaran.

Abdul Hadi turut menjelaskan bahwa Jum'at (5/6/15) kemarin, dirinya menghadap Bupati Aceh Tamiang. Saat itu dirinya mengaku bahwa tidak dapat menyampaikan perihal apapun dan hanya berani mengiyakan saja 'apa' yang diutarakan oleh sang pimpinan.

"Sebenarnya saat itu, saya ingin melihat tentang sejauh mana upaya bagi seorang pimpinan untuk melindungi saya selaku anak buahnya. Namun, saat saya menghadap, saya hanya mendapatkan ungkapan-ungkapan bahasa yang terkesan sudah distel oleh pihak pimpinan" jelas Abdul Hadi.

"Selaku anak buah, saya hanya mampu mengiya-iyakan saja. Karena kita paham bahwa sang pimpinan tidak akan mau disalahkan," tambahnya lagi.

Mantan Kadisperindagkop turut menyampaikan bahwa dirinya merasa curiga terhadap sikap kepedulian yang terkesan berlebihan dari seorang Ketua DPRK Aceh Tamiang terhadap kasus ganti rugi tanah untuk pusat pasar tradisional di Minuran.

Abdul Hadi mengungkapkan bahwa selama ganti rugi tanah untuk pusat pasar tradisional di Minuran tersandung masalah, Ketua DPRK Aceh Tamiang sangat sering menelpon dirinya, dan selalu menanyakan tentang kabar permasalahan tersebut.

Abdul Hadi juga menambahkan bahwa saat sekda menggelar rapat terkait permasalahan tersebut, Ketua DPRK Aceh Tamiang berupaya hadir walaupun tanpa ada undangan.

"Dia berupaya untuk terus memantau (memonitor_red), tentang permasalahan ganti rugi tanah untuk pusat pasar tradisional di Desa Minuran, Kec. Kejuruan Muda. Apa maksud dan tujuan atas perilaku aneh Ketua DPRK Aceh Tamiang tersebut?" tanya Abdul Hadi dengan perasaan aneh.

"Terkait permasalahan ini, saya sangat berharap sekali semoga tidak ada upaya pendzaliman untuk seseorang dalam permasalahan ganti rugi lahan untuk lokasi pusat pasar tradisional di Desa Minuran, Kecamatan Kejuruan Muda," demikian pinta mantan Kadisperindagkop Kabupaten Aceh Tamiang, Abdul Hadi.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun