Mohon tunggu...
Masykur Mahmud
Masykur Mahmud Mohon Tunggu... Freelancer - A runner, an avid reader and a writer.

Harta Warisan Terbaik adalah Tulisan yang Bermanfaat. Contact: masykurten05@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Ambiguitas Asesmen dalam Kurikulum Merdeka, Siapkah Guru Menyesuaikan Penilaian?

29 Oktober 2024   20:38 Diperbarui: 3 November 2024   10:01 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
siswa antusias belajar. | Sumber: freepik.com

Era pergantian menteri sering dikaitkan dengan pergantian kurikulum. Guru di sekolah mau tak mau atau rela tak rela harus siap mengikuti kebijakan baru pemerintah.

Setiap pergantian kurikulum di Indonesia menyisakan pertanyaan mendasar. Arah perubahan kurikulum hanya menyasar aspek umum, sementara dinamika masalah di lapangan yang dihadapi guru dalam kelas jarang dipertimbangkan.

Kehadiran Kurikulum Merdeka pada awalnya membawa angin segar bagi guru. Guru lebih bebas mengotak-atik bahan yang ingin diajarkan pada siswa dan lebih leluasa dalam hal penggabungan materi.

Namun, di balik semua kemudahan yang dibingkai dalam kata 'Merdeka', tidak sedikit guru di sekolah merasa tersiksa. Mereka kehilangan keseimbangan untuk menimbang materi apa yang kiranya sesuai dan menilai aspek perkembangan siswa.

Jangan samakan Indonesia dengan negara maju. Kesiapan guru mesti dijadikan tolak ukur keberhasilan sebuah kurikulum. Mengharuskan guru berpindah dari satu kurikulum ke kurikulum lain memberi dampak buruk terhadap kualitas pembelajaran.

Berapa persen guru di Indonesia yang benar-benar siap beralih ke kurikulum baru?

Pertanyaan ini sering diabaikan pemerintah. Padahal, permasalahan di lapangan cukup kompleks. Jangan bicara kesiapan guru dulu, kualitas guru saja masih belum merata antara kota dan desa.

Transisi kurikulum lama ke baru kiranya tidak dilakukan serta merta. Perbaiki terlebih dahulu kualitas guru dan analisa permasalahan yang sering terjadi dalam proses pembelajaran dalam kelas. 

Banyak sekolah yang tentunya masih kekurangan guru untuk mata pelajaran tertentu. Akibatnya, satu guru bisa mengajar beberapa pelajaran sekaligus. 

Yang lebih menyedihkan lagi, mata pelajaran (Mapel) diasuh oleh guru yang bertolak-belakang dengan bidang keahliannya. Misalnya, guru agama mengajar bahasa Inggris. 

Bayangkan bagaimana kualitas output pembelajaran jika guru 'dibiarkan' mengajar pelajaran yang tidak sepenuhnya dikuasai. Mereka kadangkala tidak punya pilihan karena ditunjuk untuk mengisi kekosongan guru di sekolah.

Jika guru-guru tidak terlebih dahulu disamakan persepsi, bagaimana mungkin mereka siap untuk menerapkan apa yang tidak dimengerti?

Asesmen Kurikulum Merdeka

Pada kurikulum KTSP, aspek penilaian ada pada standar kompetensi. Guru lebih terarah untuk menentukan apakah seorang murid telah memahami sebuah materi atau belum dengan memastikan kompetensi dasar tercapai. 

Transisi pada Kurikulum Merdeka telah merubah persepsi guru tentang penilaian. Guru tidak lagi melihat perkembangan siswa pada angka, namun ditentukan oleh prinsip pembelajaran dengan memperhatikan tingkat pencapaian peserta didik. 

Prinsip Pembelajaran Kurikulum Merdeka|https://kurikulum.kemdikbud.go.id
Prinsip Pembelajaran Kurikulum Merdeka|https://kurikulum.kemdikbud.go.id

Uniknya lagi, Kurikulum Merdeka berpatokan pada kesiapan pendidik merancang pembelajaran yang menyenangkan. Tentu saja makna 'menyenangkan' belum tentu mudah dipahami oleh semua guru. 

Standar penilaian yang terlalu rancu menyebabkan tolak ukur pencapaian pembelajaran melebar. Artinya, guru bisa saja sepihak mengklaim jika sudah berhasil membuat siswa senang belajar, sementara output dari proses pembelajaran belum tentu baik. 

Kurikulum Merdeka terkesan membebaskan guru untuk merekayasa proses pembelajaran. Alur pembelajaran dibuat fleksibel mengikuti tahap perkembangan peserta didik. 

Sekilas, proses pembelajaran memang mengasikkan. Pertanyaannya, sejauh mana guru paham tentang perkembangan peserta didik jika mereka tidak memahami teori psikologi atau pedagogi?

Yang terjadi di sekolah tidak sebagaimana yang digambarkan kurikulum. Guru meraba-raba dan menerka tentang arah perkembangan peserta didik. Sebagian ada yang bingung tipe materi apa yang cocok untuk siswa dengan pemahaman rendah.

Contoh lainnya, Kurikulum Merdeka meminta guru mendorong peserta didik untuk melakukanrefleksi untuk memahami kekuatan diri dan area yang perludikembangkan.

Bukankah tugas ini terlalu berat untuk dilakukan oleh guru?

Dengan pemahaman yang belum merata, setiap guru tidak tertutup kemungkinan mengaplikasikan metode pembelajaran berbeda. Terlebih dengan prinsip belajar Kurikulum Merdeka yang menurut saya pribadi terlalu ambigu. 

Lantas, bagaimana nasib Kurikulum Merdeka di era Prabowo?

Era kabinet Merah Putih dengan beberapa kementerian baru bersiap untuk mengeluarkan kebijakan berbeda. Kementerian Pendidikan berinisiatif memulangkan kembali Ujian Nasional (UN) dan mengevaluasi sistem zonasi.

Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti berusaha mendengar pendapat publik untuk kemudian menentukan arah kebijakan di masa depan.

Tidak berhenti disana, Mendikdasmen juga bakal mengkaji ulang format sekolah unggul terintegrasi. Maknanya, sekolah tipe ini akan menggabungkan aspek akademik, seni hingga olahraga. 

Salah satu poin penting yang diutaran Abdul Mu'ti adalah menghadirkan sekolah dengan prinsip adil berkenaan dengan biaya pendidikan. Apakah nantinya pemerintah menentukan klasifikasi iuran sekolah ditinjau dari label unggul? kita tunggu saja!

Menariknya lagi, di Era Prabowo guru ditekankan untuk menguasai teknologi dan sains. Boleh jadi arah pelatihan guru berubah. Pola upgrading nantinya mengharuskan guru menguasai numerasi dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA).

Tidak ketinggalan, kesejahteraan guru lebih ditingkatkan dengan kenaikan gaji. Jadi, sekilas melihat, arah kebijakan pendidikan pada era Prabowo-Gibran mengikuti poros negara maju. 

Apapun kebijakan yang akan dikeluarkan, semoga arah kurikulum berikutnya lebih terarah dan mudah untuk dijalankan.  Meningkatkan kualitas guru jelas penting, namun dari itu menyeleksi calon guru dengan kualitas terbaik jauh lebih baik. 

Program keguruan di bawah universitas mestinya memiliki standar mata kuliah yang relevan dengan arah kebijakan kurikulum. 

Selain itu, calon guru sebaiknya dibekali dengan program internship berupa magang di sekolah yang disupervisi langsung oleh guru senior dan akademisi. 

Pembekalan calon guru dengan program magang di sekolah sudah sewajarnya dijalankan dalam skema prioritas. Untuk itu, kurikulum wajib menfasilitasi program pengembangan diri calon guru dan melakukan sertifikasi baru kemudian diberikan surat ijin mengajar.

Dari pengalaman di Taiwan, saya melihat calon guru disana diwajibkan mengikuti pelatihan pedagogi dan penguatan bidang keahlian. Baru setelah itu calon guru diminta mengikuti ujian standarisasi. 

Jika memilih mengajar di Sekolah Dasar (SD), maka ujian disesuaikan untuk memperoleh Surat Ijin Mengajar (SIM) yang dikeluarkan hanya berlaku untuk mengajar di SD. 

Sama halnya ketika berniat untuk jadi guru di Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Sekolah Menengah Atas (SMA), ujian standarisasi menentukan jenis SIM apa yang didapat.

Makanya, guru di Taiwan memiliki kualitas yang sama karena diwajibkan mengambil ujian yang sama. Setiap guru diklasifikasikan dan diuji berdasarkan keilmuan mereka. Gaji yang ditetapkan pemerintah pun besar, setingkat PAUD saja digaji belasan juta.

Makanya, guru-guru unggul di Indonesia semestinya dipetakan dari awal dengan uji kompetensi pada semester akhir fakultas keguruan. Dengan demikian, calon guru memiliki standar yang sama, baik itu secara kemampuan mengajar atau penguasaan materi. 

Jangan lagi program upgrading guru difokuskan pada saat guru telah diberi jam mengajar. Calon guru harus berkualitas tinggi jauh sebelum mereka ditetapkan menjadi guru di sekolah.

Dalam arti lain, jangan menyibukkan guru mengikuti pelatihan ini dan itu saat mereka sudah menjadi guru. Seleksi bibit calon guru sejak mereka masuk ke fakultas keguruan. 

Calon guru berkualitas diasah, dibina, dan dilatih menjadi guru terbaik ketika masa kuliah. Intinya, guru-guru di Indonesia adalah generasi terbaik dengan kemampuan teruji dan terukur. 

Sanggupkah Indonesia? ya, tergantung niat pemimpin dan kemana generasi Indonesia akan dibawa di masa depan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun