Dari pengalaman di Taiwan, saya melihat calon guru disana diwajibkan mengikuti pelatihan pedagogi dan penguatan bidang keahlian. Baru setelah itu calon guru diminta mengikuti ujian standarisasi.Â
Jika memilih mengajar di Sekolah Dasar (SD), maka ujian disesuaikan untuk memperoleh Surat Ijin Mengajar (SIM) yang dikeluarkan hanya berlaku untuk mengajar di SD.Â
Sama halnya ketika berniat untuk jadi guru di Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Sekolah Menengah Atas (SMA), ujian standarisasi menentukan jenis SIM apa yang didapat.
Makanya, guru di Taiwan memiliki kualitas yang sama karena diwajibkan mengambil ujian yang sama. Setiap guru diklasifikasikan dan diuji berdasarkan keilmuan mereka. Gaji yang ditetapkan pemerintah pun besar, setingkat PAUD saja digaji belasan juta.
Makanya, guru-guru unggul di Indonesia semestinya dipetakan dari awal dengan uji kompetensi pada semester akhir fakultas keguruan. Dengan demikian, calon guru memiliki standar yang sama, baik itu secara kemampuan mengajar atau penguasaan materi.Â
Jangan lagi program upgrading guru difokuskan pada saat guru telah diberi jam mengajar. Calon guru harus berkualitas tinggi jauh sebelum mereka ditetapkan menjadi guru di sekolah.
Dalam arti lain, jangan menyibukkan guru mengikuti pelatihan ini dan itu saat mereka sudah menjadi guru. Seleksi bibit calon guru sejak mereka masuk ke fakultas keguruan.Â
Calon guru berkualitas diasah, dibina, dan dilatih menjadi guru terbaik ketika masa kuliah. Intinya, guru-guru di Indonesia adalah generasi terbaik dengan kemampuan teruji dan terukur.Â
Sanggupkah Indonesia? ya, tergantung niat pemimpin dan kemana generasi Indonesia akan dibawa di masa depan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H