Pada kurikulum KTSP, aspek penilaian ada pada standar kompetensi. Guru lebih terarah untuk menentukan apakah seorang murid telah memahami sebuah materi atau belum dengan memastikan kompetensi dasar tercapai.Â
Transisi pada Kurikulum Merdeka telah merubah persepsi guru tentang penilaian. Guru tidak lagi melihat perkembangan siswa pada angka, namun ditentukan oleh prinsip pembelajaran dengan memperhatikan tingkat pencapaian peserta didik.Â
Uniknya lagi, Kurikulum Merdeka berpatokan pada kesiapan pendidik merancang pembelajaran yang menyenangkan. Tentu saja makna 'menyenangkan' belum tentu mudah dipahami oleh semua guru.Â
Standar penilaian yang terlalu rancu menyebabkan tolak ukur pencapaian pembelajaran melebar. Artinya, guru bisa saja sepihak mengklaim jika sudah berhasil membuat siswa senang belajar, sementara output dari proses pembelajaran belum tentu baik.Â
Kurikulum Merdeka terkesan membebaskan guru untuk merekayasa proses pembelajaran. Alur pembelajaran dibuat fleksibel mengikuti tahap perkembangan peserta didik.Â
Sekilas, proses pembelajaran memang mengasikkan. Pertanyaannya, sejauh mana guru paham tentang perkembangan peserta didik jika mereka tidak memahami teori psikologi atau pedagogi?
Yang terjadi di sekolah tidak sebagaimana yang digambarkan kurikulum. Guru meraba-raba dan menerka tentang arah perkembangan peserta didik. Sebagian ada yang bingung tipe materi apa yang cocok untuk siswa dengan pemahaman rendah.
Contoh lainnya, Kurikulum Merdeka meminta guru mendorong peserta didik untuk melakukanrefleksi untuk memahami kekuatan diri dan area yang perludikembangkan.
Bukankah tugas ini terlalu berat untuk dilakukan oleh guru?
Dengan pemahaman yang belum merata, setiap guru tidak tertutup kemungkinan mengaplikasikan metode pembelajaran berbeda. Terlebih dengan prinsip belajar Kurikulum Merdeka yang menurut saya pribadi terlalu ambigu.Â