Per juni 2024, tercatat empat juta orang terlibat judi online di Indonesia. Pasar judi terbesar dengan pendapatan luar biasa kini telah bergeser. Lupakan Las Vegas dengan sederat fasilitas judi berkelas.Â
Jumlah penduduk Indonesia kian meningkat. Saat ini ada 275 juta jiwa tersebar di seluruh provinsi Indonesia. Secara kalkulasi statistik, ini bermakna bonus demografi yang patut disyukuri.Â
Negara maju seperti Jepang malah mengalami defisit populasi yang berakibat pada kemerosotan ekonomi di masa depan. Jepang memiliki populasi 127 juta jiwa dengan peringkat ke 9 di dunia.Â
Indonesia berada di peringkat ke empat dunia setelah Tiongkok, India, dan Amerika. Ketiga negara di atas Indonesia memiliki populasi 1,4 milyar (India dan Tiongkok), sementara Amerika 333 juta jiwa.Â
Secara demografi, Tiongkok dan India menang telak. Amerika mustahil menyalip kedua negara ini dalam hal jumlah penduduk. Pun demikian, secara ekonomi Amerika mulai melemah.Â
Ke depan, negara dengan populasi terbesar bakal memimpin dunia, sebagaimana diprediksi para pakar. Amerika harus rela berada di bawah. Apalagi, utang Amerika masuk katagori tertinggi di dunia.Â
Fenomena Judi Online di Indonesia
Dengan populasi keempat terbesar dunia, Indonesia seharusnya sudah layak mandiri dalam segala hal. Tanah yang subur, alam yang kaya, diikuti dengan jumlah penduduk besar, kenapa masih bergantung pada luar?
Perputaran uang hasil judi di Indonesia mencapai angka 327 trilyun rupiah. Iya, Benar 327 TRILYUN. Itu baru hasil prediksi dari 2.7 juta pemain judi. Anda bisa bayangkan sendiri angka dari empat juta pemain aktif.Â
Kenapa Indonesia bisa menjadi lahan basah judi online?
Padahal, judi termasuk illegal di Indonesia. Kenapa malah lebih subur dari negara yang sistem perjudian legal secara hukum?
Aneh tapi nyata adanya! Fenomena judi selama beberapa tahun ke belakang cukup meresahkan masyarakat. Banyak keluarga yang hancur, suami-istri cerai, kasuk pembunuhan, dan tidak sedikit terjerat hutang karena efek kecanduan judi online.
Judi bukan hanya menghancurkan keluarga, namun melemahkan perekonomian masyarakat. Bonus demografi yang seharusnya dimanfaatkan untuk pertumbuhan ekonomi, malah memperparah keadaan.Â
Makanya, di media sosial orang-orang mulai memplesetkan frasa Indonesia emas menjadi Indonesia (c)emas. Cukup beralasan, bukan? Betapa tidak, efek perjudian sungguh fatal dan kejam.
Income trap
Negara maju dan negara berkembang berkompetesi di jalur berbeda. Sekilas, kita bisa melihat mana negara produsen dan mana negara konsumen. Negara maju umumnya mengandalkan sumber daya manusia, sementara negara berkembang berkutik pada sumber daya alam.Â
Hasil alam negara berkembang dikuras, lalu dikemas di negara maju untuk kemudian dijual kembali di negara berkembang. Ya, begitu yang memang telah terjadi puluhan tahun lamanya. Seharusnya, negara berkembang berada di posisi produsen dan konsumen sekaligus.Â
Jika itu terjadi, negara-negara maju bersiap menelan ludah sendiri. Tapi, lagi-lagi, hipotesa seperti ini terbantahkan dengan teori-teori ekonomi yang menguntungkan negara maju tentunya. Negara berkembang selalu 'dibuat' tergantung pada negara maju. Lebh tepatnya, hukum sebab-akibat berlaku di sini.
Income trap banyak dibahas di buku-buku yang penulisnya berasal dari negara maju. Menurut mereka, bonus demografis di berbagai negara berkembang harus diimbangi dengan income trap.Â
Kaum menengah ke bawah dan menengah (lower dan middle class family) harus rela berbahagia dengan jumlah gaji yang ditetapkan. Berbeda dengan negara maju yang gaji kaum bawah setingkat dengan pekerjaan profesional di negara berkembang.Â
Untuk itu, keluarga miskin selamanya akan terjebak dengan pendapatan minim dan keluarga kelas menengah harus selalu berhubungan dengan kredit pinjaman guna memenuhi kebutuhan primer dan sekunder. Income trap adalah makhlus halus yang tidak bisa dilihat tapi merasuki hampir mayoritas kelas menengah ke bawah.Â
Kehidupan di negara berkembang jauh dari fasilitas memadai. Eksploitasi sumber daya alam terjadi di mana-mana. Hasil alam berupa emas, timah, nikel dinikmati negara maju. Jangan tanya berapa keuntungan yang didapat. Negara penghasil hasil alam mendapatkan sisanya.Â
Jadi, bonus demografi tadi dimanfaatkan oleh tangan-tangan nakal. Berapa populasi Indonesia yang mampu berpikir kritis? Kenapa sampai empat juta yang masuk ke pusaran judi?
Ini membuktikan betapa perkara literasi rendah merugikan sebuah negara. Populasi yang besar dengan tingkat membaca rendah menciptakan musibah terbesar, yakni judi online.
Kita tidak sedang merasakan arah Indonesia emas yang digambarkan, melainkan Indonesia (c)emas. Populasi besar gagal diarahkan ke hal positif yang menguntungkan bangsa. Akhirnya, eksploitasi sumber alam meningkat ke eksploitasi manusia. Negara maju tertawa riang melihat ini dari gedung pencakar langit sambil membahas green energi.Â
Lalu, hasil alam dikeruk lagi untuk menghasilkan baterai yang katanya mengurangi emisi. Kemudian, baterai yang dirakit di negara maju dijual kembali ke negara berkembang. Amazing, right?
Engines of Prosperity
Dalam sebuah buku berjudul why nations fail, saya mendapatkan istilah engines of prosperity. Istilah ini merujuk pada inclusive markets, di mana kebebasan individu memilih pekerjaan yang sesuai dengan bakat mereka.Â
Kelebihan sistem pasar ini terfokus pada jenis aktivitas yang sesuai dengan kelebihan seseorang. Produktivitas terjaga dan keuntungan lebih baik.Â
Berbeda dengan sistem pasar yang menyaring tenaga kerja berdasarkan kecocokan. Antara jurusan kuliah dan pilihan pekerjaan tidak saling terkait. Akibatnya, terjadilah income trap yang membatasi gaji seseorang di angka tertentu.Â
Misalnya, gaji buruh kasar tidak pernah bisa menyaingi harga kebutuhan harian. Belum lagi harga pajak, biaya sewa rumah, dan kebutuhan yang terus meroket setiap tahunnya.
Engines of prosperity diibaratkan sebagai lokomotif penggerak ekonomi. Sistem pasar dibentuk untuk mengakomodir keahlian dan jenis pekerjaan. Sehingga, target akhir adalah menfasilitasi terciptanya sumber daya manusia berkeadilan dengan gaji yang manusiawi.Â
Tidak seperti sistem ekonomi yang merusak pasar, gap antara keahlian dan pekerjaan cukup kentara. Orang berlomba-lomba meraih pendidikan tinggi dengan harapan memperoleh pekerjaan layak, namun jumlah pendapatan berbanding terbalik dengan harga kebutuhan dasar.Â
Sejak akhir perang dunia kedua, ekonomi dunia mulai terbelah kedalam blok-blok baru. Amerika dan Rusia tergolong dua negara pemegang kendali saat itu. Di bawah kendali kedua negara ini, kita bisa melihat paradigma engines of prosperity dimainkan.
Contoh kecil, lihatlah perbedaan Korea Selatan dan Utara setelah masing-masing di pegang oleh kedua negara ini. Satu maju melesat secara ekonomi, satunya lagi "tertindas" dengan kekangan di bawah kontrol.Â
Jika Korea Selatan memiliki standar hidup layaknya penduduk Portugal dan Spanyol, Korea Utara sedikit tidak disejajarkan dengan beberapa negara di benua Afrika. Kedua negara ini dulunya hidup akur dan standar ekonomi mereka tidak pernah dibandingkan.
Lantas, bonus demografi yang sedang dinikmati Indonesia saat ini tidak mustahil membawa ke arah negatif, alias bencana. Layaknya bumerang, jika salah melempar kemungkinan akan kembali dan melukai.
Judi online adalah buah dari buruknya sistem pendidikan, tata kelola negara, dan manajemen sumber daya manusia. Kemampuan bernalar yang rendah menyebabkan rakyat miskin terjebak dalam perjudian.
Mungkin kita sedang tidak menyadari betapa kemampuan bernalar membentuk pola pikir. Literasi yang rendah dan ekonomi yang buruk saling terkait satu sama lain. Untuk itu, banyak orang yang 'terpaksa' bekerja untuk gaji yang kecil asal mampu bertahan hidup.
Faktanya, mereka adalah orang-orang pintar yang terjebak dalam sistem. Judi online bukan hanya merusak keluarga, tapi generasi baru Indonesia. Jika tidak diberantas dengan tepat, mereka akan menjadi sekam panas yang siap membakar suatu ketika.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H