Makanya, di media sosial orang-orang mulai memplesetkan frasa Indonesia emas menjadi Indonesia (c)emas. Cukup beralasan, bukan? Betapa tidak, efek perjudian sungguh fatal dan kejam.
Income trap
Negara maju dan negara berkembang berkompetesi di jalur berbeda. Sekilas, kita bisa melihat mana negara produsen dan mana negara konsumen. Negara maju umumnya mengandalkan sumber daya manusia, sementara negara berkembang berkutik pada sumber daya alam.Â
Hasil alam negara berkembang dikuras, lalu dikemas di negara maju untuk kemudian dijual kembali di negara berkembang. Ya, begitu yang memang telah terjadi puluhan tahun lamanya. Seharusnya, negara berkembang berada di posisi produsen dan konsumen sekaligus.Â
Jika itu terjadi, negara-negara maju bersiap menelan ludah sendiri. Tapi, lagi-lagi, hipotesa seperti ini terbantahkan dengan teori-teori ekonomi yang menguntungkan negara maju tentunya. Negara berkembang selalu 'dibuat' tergantung pada negara maju. Lebh tepatnya, hukum sebab-akibat berlaku di sini.
Income trap banyak dibahas di buku-buku yang penulisnya berasal dari negara maju. Menurut mereka, bonus demografis di berbagai negara berkembang harus diimbangi dengan income trap.Â
Kaum menengah ke bawah dan menengah (lower dan middle class family) harus rela berbahagia dengan jumlah gaji yang ditetapkan. Berbeda dengan negara maju yang gaji kaum bawah setingkat dengan pekerjaan profesional di negara berkembang.Â
Untuk itu, keluarga miskin selamanya akan terjebak dengan pendapatan minim dan keluarga kelas menengah harus selalu berhubungan dengan kredit pinjaman guna memenuhi kebutuhan primer dan sekunder. Income trap adalah makhlus halus yang tidak bisa dilihat tapi merasuki hampir mayoritas kelas menengah ke bawah.Â
Kehidupan di negara berkembang jauh dari fasilitas memadai. Eksploitasi sumber daya alam terjadi di mana-mana. Hasil alam berupa emas, timah, nikel dinikmati negara maju. Jangan tanya berapa keuntungan yang didapat. Negara penghasil hasil alam mendapatkan sisanya.Â
Jadi, bonus demografi tadi dimanfaatkan oleh tangan-tangan nakal. Berapa populasi Indonesia yang mampu berpikir kritis? Kenapa sampai empat juta yang masuk ke pusaran judi?
Ini membuktikan betapa perkara literasi rendah merugikan sebuah negara. Populasi yang besar dengan tingkat membaca rendah menciptakan musibah terbesar, yakni judi online.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!