Mohon tunggu...
Masykur Mahmud
Masykur Mahmud Mohon Tunggu... Freelancer - A runner, an avid reader and a writer.

Harta Warisan Terbaik adalah Tulisan yang Bermanfaat. Contact: masykurten05@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kompleksitas PPDB dan Rendahnya Mutu Sekolah Negeri

2 Juli 2024   13:04 Diperbarui: 2 Juli 2024   13:08 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi fasilitas sekolah buruk|https://rm.id

Begitu banyak masalah berkenaan dengan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di Indonesia. Indikasi akar masalah berawal dari minimnya daya tampung sekolah dan rendahnya kualitas sekolah negeri.

Kualitas atau Kuantitas

Coba perhatikan berapa jumlah siswa per kelas di sekolah negeri di Indonesia? lalu, bandingkan dengan daya tampung sekolah. Maka, naluri akan menuntun kita untuk melihat apakah sekolah fokus pada kualitas atau kuantitas. 

Jika ingin mengandai-andai dan berkata jujur, kualitas sekolah negeri di Indonesia masih sangat rendah. Kalaupun ada sekolah yang dibanggakan, kebanyakan adalah sekolah dengan lebel 'unggul'atau 'model'.

Sebuah artikel yang ditulis oleh profesor Andrew Rosser  asal Australia berjudul "Beyond access: Making Indonesia's education system work" cukup memberi jawaban mengenai akar masalah pendidikan di Indonesia. 

Menurutnya, dua alasan utama kualitas pendidikan Indonesia rendah adalah politik dan kekuasaan. Sekilas, kita berasumsi bahwa kekurangan alokasi dana pendidikan dan kualitas guru lebih masuk akal jika harus dikaitkan dengan rendahnya mutu pendidikan Indonesia.

Namun, kepentingan politik dan kekuasaan menjadi dua faktor penentu kualitas pendidikan. Terciptanya regulasi, kebijakan, dan perubahan kurikulum selalu berkaitan erat dengan siapa yang memegang kekuasaan dan dominasi politik di dalamnya. 

Perubahan kurikulum oleh pemimpin berbeda terbukti tidak membawa pendidikan ke arah yang lebih baik. Setiap pergantian pemimpin, ada unsur kepentingan dari setiap kebijakan dan perubahan peraturan. 

Apakah ini sebuah kebutulan?

Jelas tidak!. 

Merubah wajah pendidikan idealnya bertitik pada kualitas. Gedung-gedung sekolah yang terlihat 'wah' dan megah belum mampu. merubah perilaku dan daya pikir siswa. 

Kualitas sekolah yang tidak merata membuat jurang tersendiri. Orang tua mana yang tidak ingin anaknya diterima di sekolah dengan kualitas baik.

Sayangnya, kualitas sekolah sering diterjemahkan dari hasil akreditasi sekolah. Tiga akreditasi yang melekat pada sebuah sekolah :

1. Akreditasi A (Amat Baik) nilai 86-100

2. Akreditas B (Baik)71-85

3. Akreditasi C (cukup) 56-70

Lantas, sejauh mana sekolah dengan akreditasi A terjamin kualitasnya?

Tiga fungsi akreditasi meliputi (1).pembuktian kinerja sekolah berhubungan dengan mutu pendidikan, (2).Jaminan pendidikan sesuai standar, (3). Penyediaan layanan pendidikan sesuai standar nasional.

Nah, umumnya sekolah dengan lebel "A" atau "B" sudah melewati tahapan/proses akreditasi. Benarkah standar akreditasi setiap sekolah benar-benar dilakukan mengikuti standar kualitas? atau, adakah tim yang diutus untuk memberi adalah mereka yang kompeten untuk menilai?

Setiap sekolah memiliki gedung dengan kualitas berbeda. Dalam hal ini, kebanyakan sekolah favorit lokasinya mudah diakses dan bangunannya bagus. 

Sementara, sekolah dengan bangunan seadanya dan lokasi yang tidak beruntung seringkali mengalami kekurangan murid. Guru yang mengajar di sekolah ini pun tidak sama kualitasnya dengan guru-guru di sekolah berlebel A dan B.

Siapa yang membuat kebijakan tentang penempatan guru dan pergantian kepala sekolah? bukankah regulasi dan kekuasaan menentukan siapa berada dimana?

Jika memang negara menginginkan sekolah dengan kualitas yang sama, kenapa tidak menyamaratakan kualitas guru dan standarisasi bangunan serta fasilitas sekolah?

Pada kenyataannya, kita melihat sampai hari ini kualitas antar sekolah jauh berbeda, baik itu ditinjau dari kualitas guru, kemampuan mengajar dan fasilitas tiap sekolah. 

"Change in the quality of Indonesia's education system thus depends on a shift in the balance of power between competing coalitions that have a stake in the nature of education policy and its implementation"

Andrew berpendapat jika kualitas sistem pendidikan Indonesia bergantung pada pergantian kekuasaan antara koalisi yang saling berkompetisi. Dengan kata lain, kebijakan pendidikan dan implementasinya berjalan lurus dengan kepentingan pemegang kekuasaan.

Frasa "internationally competitive" yang digaungkan oleh pemerintah seakan bertolak belakang dengan kondisi lapangan yang sebenarnya. Kualitas sekolah di Indonesia belum sepenuhnya mampu menfasilitasi pendidikan berstandar nasional, apalagi internasional.

Anak-anak di seluruh Indonesia mungkin sudah lebih gampang mengakses pendidikan, namun menjamin mutu pendidikan sesuai standar nasional masih jauh panggang dari api. 

Hanya anak-anak yang 'beruntung' bisa sekolah dengan standar mutu baik. Buruknya lagi, sistem PPDB sejatinya berfungsi sebagai saringan murid-murid berkualitas untuk mengenyam pendidikan di sekolah berkualitas. 

Bagaimana dengan calon siswa yang  biasa-biasa saja?

Pilihannya cukup memilih sekolah yang kualitasnya berada di bawah sekolah favorit. Lalu, berdo'a agar guru-guru mengajar dengan baik untuk mengimbangi kualitas pengajaran sekolah favorit.

Indonesia tidak sedang kekurangan dana untuk membangun sekolah dengan standar yang sama. Hanya saja, fokus anggaran tidak pada menyetarakan kualitas dan fasilitas sekolah di seluruh provinsi. 

Yakinlah bahwa Indonesia cukup mampu membangun sekolah bermutu dan menyediakan anggaran untuk menyamaratakan kualitas guru. Lalu, kenapa ini tidak dilakukan? kembali kepada dua hal tadi, pemegang kekuasaan menentukan kemana anggaran berakhir.

Tidak berlebihan jika kualitas pendidikan di seluruh Indonesia sulit untuk disamaratakan. Toh, setiap kekuasaan berganti, berubahlah kurikulum. Seterusnya, puluhan sampai ratusan pelatihan untuk guru dihadirkan bak pahlawan di siang bolong. 

Guru terus dilatih, bahan ajar terus dirubah, fokus pengajaran pun diganti. Tidak terhitung berapa anggaran pendidikan yang sudah dikeluarkan. Apa tujuan dari semua ini? apakah sekedar melakukan kelinci percobaan?

Sampai tahun 2011, Indonesia setidaknya memiliki lebih dari 200 ribu sekolah dan tiga juta guru (baca disini). Saat ini, jumlah sekolah sudah menyentuh angka 300 ribu dengan 50 juta siswa. 

Akses sekolah jauh lebih terbuka, tapi kualitas lulusan tidak lebih baik. Kemampuan membaca, matematik, dan sains siswa Indonesia masih sangat rendah dibandingkan negara-negara di Asia. 

Selama kualitas sekolah belum disamaratakan, sejatinya kualitas murid berputar pada angka yang sama. Tidak perduli seberapa besar anggaran pendidikan yang dialokasikan, outcome pendidikan hanya melahirkan generasi yang fokus pada kompetisi dan gagal membentuk pola pikir berorientasi pada kontribusi. 

Fungsi pendidikan bukan untuk melahirkan generasi yang cerdas untuk bersaing sesama, tapi mewujudkan generasi yang saling berkontribusi untuk membenah masalah dalam negeri dengan solusi terkini yang aplikatif. 

Jika tujuan pendidikan sekedar menghasilkan banyak lulusan, artinya visi pendidikan berada di jalur yang salah. Seberapa besar lulusan sekolah Indonesia yang berpikir untuk berkontribusi ketimbang berkompetisi?

Di banyak sekolah, kita lumrah melihat piagam dan piala yang dipajang di ruangan kepala sekolah dan ruang guru. Sekolah begitu bangga untuk memuji kualitas murid mereka. 

Setiap tahunnya, calon siswa baru berebutan untuk bisa masuk ke sekolah yang murid-muridnya dianggap cerdas karena guru-guru berkualitas. Tapi, calon siswa baru luput untuk melihat sejauh mana piagam dan piala yang dipajang membantu kualitas masyarakat.

Ya, arah pendidikan Indonesia sungguh berkelok. Ibarat jalan, sebagian berkualitas baik dengan aspal mulus. Tentu jalan-jalan ini dibangun di area tertentu. Berbading terbalik dengan kualitas jalan pedesaan dengan lubang besar yang sering menelan korban kecelakaan. 

Pun demikian dengan kualitas sekolah di Indonesia. Tidak sedikit anak-anak Indonesia yang menjadi korban pendidikan. Terutama bagi mereka yang bertahan hidup di area pedesaan atau pinggiran kota.

PPDB adalah pintu dengan kualitas berbeda. Ada siswa yang beruntung bisa masuk melalui pintu yang mudah dibuka, sebagian lainnnya harus berjuang untuk mendorong agar bisa masuk ke dalam karena banyaknya penghalang. 

Boleh jadi pintu itu terkunci otomatis atau memang sengaja dikunci dari dalam. Ah sudahlah!

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun