Jelas saja, Apple mampu menekan biaya produksi karena letak Shenzhen yang terhubung dengan pelabuhan, sehingga Apple sangat mudah untuk mengekspor produknya ke luar Tiongkok.Â
Berbeda jika pabriknya berdiri di Amerika. Tahun 1980 Amerika masih anak bawang dengan jaringan yang boleh dikatakan minim. Apple keluar ke publik juga di tahun yang sama.Â
Biaya produksi di Amerika jelas mahal. Apalagi ditinjau dari sumber daya manusia dan ketersediaan pasokan barang dalam jumlah besar. Keputusan Steve Jobs bekerjasama dengan Tiongkok sangat masuk akal secara ekonomi.
Kekhawatiran Amerika
Sejak Covid melanda dunia, Apple merasa dirugikan. Produksi Apple terhenti karena regulasi Tiongkok yang wajib dipatuhi oleh pihak Apple.
Ditambah lagi adanya trade war atau perang dagang antara Amerika dan Tiongkok ketika Trump memimpin Amerika, lengkap sudah kekhawatiran Amerika.
Amerika terlambat sadar. Ketergantungan pada Tiongkok membuat mereka lupa untuk memprediksi masa depan. Kini, Tiongkok tidak sama seperti dulu. Mereka sudah bangkit jauh melesat kedepan meninggalkan Amerika.Â
Teknologi Tiongkok dalam satu dekade ke belakang mampu menyaingi Amerika dalam banyak hal. Sebut saja kemampuan membangun pabrik semikonduktor yang bisa menghasilkan chip dengan kualitas menyamai produksi negara lain.Â
Hal ini bukan hanya menjadi kekhawatiran Amerika, namun juga banyak negara lain. Tiongkok sedang menggelontorkan uang sebanyak mungkin pada bidang penelitian untuk menghasilkan teknologi terdepan.
Alhasil, Tongkok bahkan sudah berhasil menciptakan mesin Litography yang mampu menghasilkan chip tipis dengan kemampuan menyimpan data lebih banyak.Â
Media South China Morning Post membuat satu headline berjudul "Tech war: China quietly making progress on new techniques to cut reliance on advanced ASML lithography machines"Â
Nah, hanya sedikit orang yang tahu bahwa Belanda adalah negara satu-satunya yang memasok mesin semikonduktor termahal di dunia untuk memproduksi chip terbaik, namanya Advanced Semiconductor Materials Lithography (ASML).