Sepulang sekolah tadi, anak saya tiba-tiba berkata "ayah, guru adek di les ramah kali, beda sama guru adek di sekolah"
Sontak, kalimat tersebut membuat saya berhenti bernafas sesaat dan seketika berpikir,Â
" ternyata anak-anak sangat jujur dengan perasaannya".Â
Hanya saja, orang dewasa sering tidak peka dengan perasaan anak kecil.
Saya sendiri sebagai orang tua kerapkali gagal mengontrol emosi, sehingga terkadang berbicara ke anak dengan suara keras dan lupa akan apa yang kemudian menjadi memori yang membekas di otaknya.
Pun demikian, dalam ranah pendidikan banyak sekali guru yang gagal membaca perasaan anak didik. Lalu, dengan tanpa bersalah, guru 'menghukumi' murid dengan standar mereka.
Bersikap ramah pada murid bukan bermakna memanjakan atau menjadikan mereka raja.Â
Ramah disini lebih kepada menghormati murid sebagai individu, sehingga perasaan mereka dihargai, dipahami, dan dihormati.
Dua hari yang lalu ketika duduk bersama teman sambil menikmati segelas kopi, kami membahas permasalahan dalam lingkup institusi pendidikan.
Hingga, timbul sebuah pertanyaan, kenapa murid sekarang tidak lagi sopan dan mau menghargai guru?
Seorang teman yang duduk berseblahan menjelaskan bahwa keadaan di lapangan jauh lebih kompleks dari teori-teori di bangku kuliah.Â
Apa yang dipelajari oleh calon guru di fakultas keguruan tidak selamanya menggambarkan keadaan asli di lapangan.
Di lain waktu, saya membaca status seorang teman yang sedang mengambil program Doktor di salah satu kampus di Amerika.Â
Teman ini curhat jika kebanyakan mahasiswa Amerika yang mengambil program doktor di bidang pendidikan adalah para guru yang mampu menyelaraskan antara teori pendidikan dan masalah yang dihadapi.
Jadinya, permasalahan di bidang pendidikan sangat mudah diselesaikan dengan teori yang relevan karena guru-guru meneliti tentang masalah yang memang mereka pahami dan geluti.
Sangat berbeda dengan kultur di Indonesia, kebanyakan yang mengambil program Doktor bukanlah guru.Â
Makanya, teori yang dihasilkan tidak sepenuhnya kontekstual dan setelah menyelesaikan S3 sangat sedikit dari mereka yang tertarik kembali untuk mengabdi sebagai guru.
Nah, kembali ke topik tulisan di atas. Pengtingkah guru bersikap ramah pada murid?
Bagi saya pribadi sebagai seorang ayah dan juga pendidik, bersikap ramah adalah sebuah nilai yang diwariskan.Â
Seorang ayah memberi contoh dari cara berkomunikasi kepada anak, sama halnya seorang guru kepada muridnya.Â
Ketika dulu mengajar di kampus, saya sering memberi pesan kepada mahasiswa bahwa adab jauh lebih penting dari ilmu. Artinya, sepintar apapun dirimu, hormati orang yang lebih tua.
Seorang guru yang bersikap ramah jauh lebih disegani oleh murid. Jangan salah memahami, ramah bukan berarti tunduk pada kemauan murid.
Bersikap ramah adalah jembatan yang berfungsi untuk membangun koneksi dengan murid. Senakal apapun murid, ia akan lebih cepat tunduk pada guru yang diseganinya.Â
Seorang teman yang bertugas pada sebuah kantor sering bertukar pikiran dan memberi gambaran akan kompleksitas masalah di sekolah.Â
Guru-guru lebih takut dipindahtugaskan dan menghabiskan waktu lebih banyak pada hal bersifat administratif ketimbang berusaha membangun komunikasi dengan banyak siswa.
Tidak heran, kalau ada 20 guru di sebuah sekolah, yang disegani murid hanya 2-5 saja.Â
Nasehat yang keluar dari mulut guru minoritas ini lebih membekas pada benak siswa ketimbang mereka yang acuh tak acuh pada murid.Â
Maka, kenakalan anak-anak atau murid di sekolah secara tidak langsung juga boleh dikaitkan dengan pola interaksi dan komunikasi guru dengan murid.
Saya merasakan hal yang sama ketika menjadi murid dan membandingkanya ketika menjadi seorang pendidik.Â
Pengalaman mengajarkan banyak hal dari sekedar rentetan teori pendidikan tentang manajemen kelas dan lainnya.
Latar belakang siswa yang hadir disekolah jelas berbeda. Ada yang datang dari keluarga berada, ada yang secara finansial terkendala, dan ada juga yang orang tuanya bermasalah, alias broken home.Â
Saat sedang mengajar, saya sesekali bertanya pada murid tentang keadaan mereka. Sebagai contoh nyata, ada seorang murid yang saat ini sedang saya asuh berlatar belakang broken home.Â
Murid ini duduk di bangku terakhir Sekolah Menengah Atas (SMA). Pada awalnya, saya melebel ia tidak disiplin karena sangat jarang datang ke kelas.Â
Sampai suatu ketika, saya melatih ia berbicara bahasa Inggris dan bertanya tentang keluarga.Â
Eh, disana saya baru tahu jika ibu dan ayahnya telah berpisah dan lebih dari lima kali ia pindah rumah.
Tentu saja ada beban psikologis yang menetap dalam jiwanya. Untuk mau datang saja belajar ke kelas sudah cukup baik bagi siswa seperti ini.
Sebagai seorang guru, saya tidak bisa menyamakan ia dan murid yang datang dari keluarga baik-baik saja.
Nah, disinilah peran guru untuk bersikap ramah menanggapi siswa yang terkendala ketika belajar.
Ketika seorang guru mau menggali lebih dalam, banyak hal yang bisa diperoleh dari jiwa seorang murid.Â
Bayangkan ketika guru acuh tak acuh dan tidak mau memikirkan nasib siswanya. Asalkan sudah megajar dan gaji di awal bulan lancar, selesai sudah tanggung jawab.
 Ini yang sering terjadi di lapangan!
Di kesempatan berbeda pada kelas lain, saya mendapati dua mahasiswa yang sedang belajar di fakultas keguruan namun tidak berniat menjadi guru.
Mereka tidak tahu pasti karir apa yang hendak dipilih, walaupun sudah berada di fakultas keguruan. Itu wajar dan sangat sering terjadi di fakultas keguruan!
Profesi guru yang identik kurang dihargai dengan gaji kecil tidak cukup menjanjikan untuk dijadikan sebuah pekerjaan bergengsi.
Masalahnya adalah, jika calon guru yang tidak berniat menjadi guru dipaksakan untuk mengajar di dalam kelas, maka mereka tidak akan mengajar untuk mendidik.Â
Kenapa saya berkata demikian?
Karena saya sudah melihatnya langsung bagaimana kualitas mengajar calon guru yang tidak sepenuhnya ingin menjadi guru, melainkan sekedar pelarian atau paksaan orang tua untuk menjadi guru.
Seorang guru sepatutnya memiliki niat tulus mengajar karena keinginan dan motivasi yang tinggi untuk mendidik.
Baru kemudian ia mampu menjadi tipikal guru yang disegani murid atau role model yang nasehatnya didengarkan tanpa harus memasang muka menakutkan di depan siswa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H