Lalu, bagaimana nilai adat bisa mengalir dan diteruskan ke anak cucu?
Dalam kultur masyarakat desa, nilai-nilai adat mudah saja diwarisi dari komunikasi yang terus terhubung dari satu tetangga ke tetangga lainnya.
Hal ini tentu sulit terjadi di kota mandiri. Selain karena faktor penghuni yang multikultur, penghambat utama adalah faktor pekerjaan yang mempersempit kemungkinan tatap muka.Â
Makanya, kesenjangan sosial lebih mudah tercipta. Nilai-nilai adat tidak lagi menjadi pegangan untuk membangun kebersamaan antar tetangga. Jika semuanya tersedia, untuk apa harus merepotkan orang lain di sebelah?Â
Integrasi Nilai AdatÂ
Mungkinkah nilai adat dipertimbangkan dalam pembangunan kota mandiri?
Di balik megahnya bangunan dan konsep kota mandiri, ada satu kekhawatiran akan lenyapnya nilai-nilai adat dalam diri penghuni. Jika itu terjadi, bukan mustahil 10 tahun ke depan nilai ramah tamah tidak lagi dipegang oleh generasi selanjutnya.Â
Minimnya fasilitas di pedesaan mendorong kaum muda untuk mengganti haluan. Diprediksi kedepannya, arus urbanisasi semakin tajam dan sulit dibendung.Â
Kehadiran kota mandiri bak pedang bermata dua. Di satu sisi membantu ketersediaan hunian yang layak, di sisi lain memperburuk kualitas manusia dalam konteks sosial masyarakat.
Kaum muda akan lebih banyak menetap di kota, sebaliknya generasi tua lebih memilih untuk menetap di di desa. 10-20 tahun ke depan, gap antar generasi akan diikuti dengan meleburnya nilai adat istiadat.
Kota dan desa bakal menjadi tolak ukur kesenangan untuk penghuninya. Secara materi, kota memungkinkan orang untuk menimbun uang sebanyak mungkin dan menghabiskannya dalam waktu sekejap.
Desa hanya dipandang sebagai tempat healing yang boleh jadi tidak memberi bekas kenangan akan masa kecil. Konsep kota mandiri akan lebih baik dengan mengintegrasikan nilai-nilai adat di dalamnya.
Misalnya, konsep bangunan yang tidak membuat sekat dan ruang hijau terbuka untuk keluarga agar lebih banyak menghabiskan waktu bersama.