Mohon tunggu...
Masykur Mahmud
Masykur Mahmud Mohon Tunggu... Freelancer - A runner, an avid reader and a writer.

Harta Warisan Terbaik adalah Tulisan yang Bermanfaat. Contact: masykurten05@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tantangan Membangun Kota Mandiri Berbasis Nilai Adat

15 Januari 2024   13:01 Diperbarui: 24 Januari 2024   16:00 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kota mandiri dan nilai adat istiadat. (Freepik.com)

Arus urbanisasi memaksa perubahan dalam lingkup sosial. Nilai-nilai adat istiadat terus bergeser dan bisa hilang dalam modernisasi. Keberadaan kota mandiri adalah jawaban atas kebutuhan primer untuk hidup, namun konsekuensi ke depan harus diperhitungkan dengan matang.

Dorongan pekerjaan diikuti oleh gaya hidup modern menciptakan pasar baru. Hunian yang adem ditambah jaminan keamanan membuka ruang terciptanya kota mandiri. 

Kota mandiri yang dulunya dianggap mahal, kini sudah semakin terjangkau bagi kaum muda. Terbukanya akses pekerjaan melalui peran teknologi memberi dampak sosial berbeda pada generasi saat ini.

Sebagai contoh, Bumi Serpong Damai (BSD) adalah satu dari pengembang ternama yang berhasil 'menjual' predikat kota mandiri ke publik. Kota Serpong berhasil disulap dalam waktu singkat menjadi kota elit.

Siapa yang tidak terpicut ketika ditawari hunian nyaman dan aman? 

Kaum muda yang berpenghasilan menengah ke atas jelas menjadi sasaran. Keberadaan pusat pembelanjaan, rumah sakit dan ragam fasilitas pendukung adalah keuntungan ketika berada sebagai penghuni.

Serpong yang kala itu dikenal sebagai kawasan karet, sejak 1980 berubah nama. 19 Januari 1984 Bumi Serpong Damai (BSD) didirikan, dengan target ribuan hektar lahan disulap dalam kurun waktu terukur. 

Jangan tanya berapa perputaran uang di sana, jumlahnya bisa menyentuh angka 6 triliun lebih dalam bentuk tanah dan aset bangunan.

Angka yang besar, bukan?

Kita masih berbicara satu pengembang. Jika Anda menuju ke Tangerang, di sana ada Karawaci dengan wilayah 16 ribu km persegi. PT. Lippo Karawaci Tbk (LPKR) menjadi pioner berdirinya kota mandiri yang kemudian disebut Lippo Village tahun 1990.

Fasilitas apa saja yang bisa diperoleh? Pusat bisnis, hotel, sekolah, termasuk lapangan golf. Tergoda tinggal di sana?

Siapa yang diuntungkan? Pasar saham LPKR naik drastis. Anda tentu tahu siapa yang memanen uang di tanah tersebut!

Dalam tulisan ini, saya tidak ingin membahas nilai saham dari kota mandiri, tapi lebih kepada dampak kota mandiri pada hilangnya nilai adat. 

Nilai Adat vs Kota Mandiri

Nilai-nilai sosial dalam kehidupan erat kaitannya dengan bagaimana sebuah komunitas dibangun. Tidak perlu melihat jauh, perhatikan saja perbedaan antara kehidupan kota dan desa. 

Di desa, masyarakat hidup dengan sebuah nilai. Nilai-nilai ini lahir dari adat istiadat yang terus dipertahankan. Nilai musyawarah dan kekeluargaan dipegang kuat, sehingga nilai kenyamanan dan keamanan hadir dalam kekompakan bersama. 

Berbeda dengan area perkotaan. Kesibukan dan pagar rumah menjadi sekat pemisah antar penghuni. Akibatnya, interaksi sosial hanya terjadi pada momen sakral saja, itupun tidak melibatkan setiap orang.

Gap pemasukan juga kerap kali menjadi sekat pemisah antar rumah. Mereka yang cukup secara finansial lebih memilih cara instan yang tidak merepotkan. Jelas saja, wedding organizer laku keras di area perkotaan. 

Komplek perumahan di kota-kota tanpa kita sadari mempersempit gerak antar penghuni. Walaupun secara fasilitas serba ada, tapi interaksi dan tatap muka semakin sedikit. 

Antar tetangga boleh jadi tidak saling mengenal dan kepedulian secara kolektif memudar. Lihat saja angka pembunuhan di kompleks-kompleks perumahan elit. Tingkat kepedulian antar sesama meredup, sebagaimana terkikisnya intensitas komunikasi bersama.

CCTV menjadi andalan untuk memastikan keamanan. Masing-masing condong bertanggung jawab akan diri sendiri. Teguran dan sapaan bukan lagi penguat nilai kebersamaan.

Kota mandiri memberi kebebasan dan kenyamanan. Semua tersedia dan mudah diakses, tapi tidak dengan nilai kekeluargaan. Walaupun masyarakat hidup dalam kompleks yang sama, kepedulian antar sesama nyaris pudar dengan kesibukan dan ketertutupan.

Lalu, bagaimana nilai adat bisa mengalir dan diteruskan ke anak cucu?

Dalam kultur masyarakat desa, nilai-nilai adat mudah saja diwarisi dari komunikasi yang terus terhubung dari satu tetangga ke tetangga lainnya.

Hal ini tentu sulit terjadi di kota mandiri. Selain karena faktor penghuni yang multikultur, penghambat utama adalah faktor pekerjaan yang mempersempit kemungkinan tatap muka. 

Makanya, kesenjangan sosial lebih mudah tercipta. Nilai-nilai adat tidak lagi menjadi pegangan untuk membangun kebersamaan antar tetangga. Jika semuanya tersedia, untuk apa harus merepotkan orang lain di sebelah? 

Integrasi Nilai Adat 

Mungkinkah nilai adat dipertimbangkan dalam pembangunan kota mandiri?

Di balik megahnya bangunan dan konsep kota mandiri, ada satu kekhawatiran akan lenyapnya nilai-nilai adat dalam diri penghuni. Jika itu terjadi, bukan mustahil 10 tahun ke depan nilai ramah tamah tidak lagi dipegang oleh generasi selanjutnya. 

Minimnya fasilitas di pedesaan mendorong kaum muda untuk mengganti haluan. Diprediksi kedepannya, arus urbanisasi semakin tajam dan sulit dibendung. 

Kehadiran kota mandiri bak pedang bermata dua. Di satu sisi membantu ketersediaan hunian yang layak, di sisi lain memperburuk kualitas manusia dalam konteks sosial masyarakat.

Kaum muda akan lebih banyak menetap di kota, sebaliknya generasi tua lebih memilih untuk menetap di di desa. 10-20 tahun ke depan, gap antar generasi akan diikuti dengan meleburnya nilai adat istiadat.

Kota dan desa bakal menjadi tolak ukur kesenangan untuk penghuninya. Secara materi, kota memungkinkan orang untuk menimbun uang sebanyak mungkin dan menghabiskannya dalam waktu sekejap.

Desa hanya dipandang sebagai tempat healing yang boleh jadi tidak memberi bekas kenangan akan masa kecil. Konsep kota mandiri akan lebih baik dengan mengintegrasikan nilai-nilai adat di dalamnya.

Misalnya, konsep bangunan yang tidak membuat sekat dan ruang hijau terbuka untuk keluarga agar lebih banyak menghabiskan waktu bersama.

Selain itu, fasilitas umum seperti rumah sakit dan pusat pembelanjaan perlu menitikberatkan nilai adat-istiadat dalam blue print sebelum dibangun. 

Dengan begitu, masyarakat masih diberi ruang untuk lebih banyak berinteraksi antar sesama dan mengenal nilai adat istiadat dari konsep bangunan dan fasilitas.

Penggunaan nama bangunan bertema daerah tentu membawa nilai tersendiri bagi penghuninya. Bangunan boleh saja keren, tapi jangan lupa mensinergikan dengan kultur setempat atau menghadirkan nilai budaya dari beragam daerah.

Kita tidak bisa menghentikan arus urbanisasi, tapi kita punya pilihan untuk membawa nilai adat istiadat dalam setiap ruang di kota mandiri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun