Tugas utama guru adalah mengajar, namun fakta di lapangan guru masih terus berjibaku dengan tumpukan kertas yang lebih banyak menguras pikiran.
Menjadi guru di Indonesia tidaklah mudah. Rangkaian kewajiban administrasi kerapkali memangkas energi dan waktu. Akibatnya, kualitas pengajaran menjadi tidak optimal.
Bayangkan saja jika seorang guru masih terus disibukkan dengan administrasi sekolah, berapa banyak waktu tersisa untuk benar-benar mempersiapkan materi ajar?
Sementara, proses belajar mengajar di sekolah sangat terbatas dari segi alokasi waktu. Lucunya lagi, pelatihan, rapat, atau pertemuan tertentu kadang malah diadakan di sela-sela jam mengajar.Â
Bukankah ini menunjukkan manajemen pendidikan yang buruk?
Efeknya, guru dengan alokasi jam mengajar 'terpaksa' menghadiri sesuatu yang boleh jadi tidak membawa dampak positif pada skil mengajar, sebaliknya mengurangi esensi proses transfer ilmu di dalam kelas yang sudah dijadwalkan.
Tidak heran, guru piket kadangkala harus siap menggantikan guru yang secara tiba-tiba diminta menghadiri rapat, pertemuan, atau pelatihan. Keadaan seperti ini membuat proses pembelajaran terhambat atau malah terhenti di jalan.
Apakah guru pengganti yang dimintakan untuk mengajar memiliki kualitas mengajar yang sama? seringnya tidak! Hal ini tidak lepas dari kurangnya perencanaan bagian manajemen pendidikan berkaitan dengan proses belajar mengajar.
Peran Human Resource Development di Sekolah
Jika sebuah perusahaan memiliki bagian Human Resource Development (HRD), semestinya sekolah juga setidaknya memiliki satu posisi HRD yang bertugas memetakan skil guru, mengatur dan merencanakan pelatihan berkala, serta menempatkan guru sesuai bidang kompetensi mereka pada posisi yang sepatutnya.
Dengan cara ini, guru-guru tidak lagi kalang kabut menguras pikiran pada ranah yang memang bukan keahlian mereka. Bukankah guru bisa lebih lega untuk bernafas ketika beban administrasi berkurang dan diarahkan untuk fokus mengasah skil mengajar?
Selain itu, jenis dan mekanisme pelatihan sangat mungkin untuk dipetakan dan diagendakan sesuai kebutuhan sekolah. Jadi, HRD memiliki database akan keahlian guru yang kemudian dicocokkan dengan tugas pokok di sekolah. Sehingga, proses belajar mengajar tetap berjalan dalam keadaan apapun.
Pola ini juga memudahkan proses transfer ilmu dari guru senior ke guru junior. Maknanya, guru-guru yang memiliki pengalaman mengajar lebih banyak secara otomatis menjadi sumber ilmu bagi guru baru atau mereka yang masih membutuhkan pendampingan dalam aspek mengajar.
HRD juga nantinya bisa memetakan skil yang diperlukan di sekolah guna memperbaiki kualitas manajemen. Misalnya, aktivitas laboratorium, akuntabilitas keuangan, dan administrasi sekolah dipegang oleh tangan terampil tanpa melibatkan guru.Â
Artinya, visi dan misi sebuah sekolah akan lebih mudah disingkronisasi dengan skil perorangan, baik dalam konteks administrasi, manajemen keuangan, atau pengajaran.
Sebagaimana yang dibahas oleh salah satu Kompasiner, yakni pak Junjung. Bagian keuangan di sekolah sepatutnya diduduki oleh orang dengan latar belakang pendidikan bagian keuangan, semisal Akuntansi.Â
Intinya, setiap posisi strategis di sekolah wajib ditempati oleh orang dengan latar belakang yang sesuai. Jika tidak, anggaran besar dari dana BOS akan terserap pada hal-hal yang tidak membawa dampak pada peningkatan kualitas pendidikan itu sendiri.
Administrasi Sekolah Dialihkan ke Manajemen Pendidikan
Bagaimana jika beban administrasi sekolah dipegang oleh bagian manajemen pendidikan? guru hanya diwajibkan menyiapkan materi ajar dan perencanaan pengajaran, sedangkan indikator dan kompetensi dasar disiapkan oleh mereka dari bidang manajemen pendidikan.
Selama ini beban mengajar seorang guru minimal harus mencukupi Jam Tatap Muka (JTM) 24 jam per minggu atau 40 JTM maksimum. Apa yang terjadi Jika seorang guru kekurangan jam mengajar di sekolah ?Â
Nah, guru dibolehkan mencari jam tambahan di sekolah lain untuk mengkonversi kebutuhan JTM. Data dari https://repositori.kemdikbud.go.id/ menyebutkan bahwa lebih dari 64 ribu guru PNS mengajar lebih dari satu sekolah.
Disatu sisi guru terbantu dalam hal mencukupi JTM, namun disisi lain mekanisme seperti ini membawa dampak psikologis pada guru. Bukan mustahil, kualitas pengajaran condong hanya dilakukan untuk pemenuhan jam mengajar saja demi mencukup syarat.
Data ini juga menunjukkan bahwa masih banyak guru yang kesulitan untuk memenuhi beban kerja minimal sebagaimana diwajibkan untuk mencukupi syarat mendapatkan Tunjangan Profesi Guru (TPG).Â
Pemenuhan syarat minimun tatap muka ini membawa dampak negatif bagi guru. Guru terpaksa harus bersaing dengan guru lain yang juga kekurangan jam mengajar, guru harus menyesuaikan dengan perbedaan latar belakang anak didik di sekolah berbeda, dan efesiensi waktu mengajar berkurang.Â
Alangkah lebih baik jika hal seperti ini tidak lagi dipikirkan oleh guru. Ketika seorang guru sudah diterima untuk menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) atau guru berstatus PPPK, seharusnya jam mengajar tetap berada di lingkup sekolah tempat guru ditempatkan.
Kalaupun nantinya guru tidak mendapatkan JTM yang mencukupi, arahkan mereka untuk mengembangkan kompetensi mengajar dan pengembangan bahan ajar.
Terlebih, di era digital dewasa ini, guru lebih bermanfaat jika dilatih untuk memahami proses transfer ilmu dengan penggunaan teknologi. Output yang dihasilkan bisa berupa bahan ajar berbentuk video yang nantinya dipakai di ruang kelas.Â
Oleh karena itu, di tiap sekolah sebaiknya ada alokasi untuk jurusan teknologi pendidikan atau desain grafis. Guru yang berlatar belakang teknologi pendidikan/desain grafis diarahkan untuk membantu para guru mata pelajaran mengembangkan bahan ajar dengan melibatkan teknologi.
Daripada guru dipusingkan untuk mencari jam tatap muka yang masih kurang, bukankah jauh lebih bermanfaat jika skil mengajar dan mengembangkan materi ajar diasah melalui pelatihan terstruktur?
Beban administrasi seorang guru secara otomatis berkurang dan kompetensi mengajar dapat ditingkatkan secara berkala. Tentu saja kebijakan pemerintah dalam hal penetapan JTM terlebih dahulu direvisi dan disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan.Â
Pemerintah pusat, kementerian pendidikan, para ahli kurikulum perlu berembuk memikirkan sistem pendidikan yang terintegrasi dan terpusat pada aspek perbaikan output anak didik berkualitas.
Guru jangan lagi dibebankan dengan rangkaian administrasi sekolah yang menghabiskan waktu. Pemenuhan jam mengajar bisa dialihkan pada sebuah produk materi ajar atau pola project-based berupa tugas kolaboratif membimbing siswa dalam grup untuk menghasilkan sebuah output dari hasil belajar.
Contoh sederhana, siswa dibentuk dalam kelompok untuk melakukan sebuah eksperimen dalam pelajaran Kimia, Biologi, atau Fisika dengan konteks sebuah proyek yang dibimbing oleh guru.
Hasil eksperimen ini dijadikan sebuah video atau tulisan yang sangat mungkin dibukukan atau dipresentasikan di acara perpisahan. Tujuannya adalah membimbing siswa untuk lebih kreatif dalam memahami materi ajar dan mengaplikasikan ilmu pada ranah kontekstual.Â
Ya, tugas seorang guru bukanlah sekedar memindahkan isi buku ke otak siswa. Lebih dari itu, guru harus mampu menghidupkan daya kreatifitas siswa dengan pola ajar yang menyenangkan.
Kalau saja guru masih harus berpikir keras untuk mencukupi jam tatap muka di sekolah, bagaimana mereka bisa berpikir kreatif mengembangkan materi ajar?
Idealnya, seorang guru tidak dipaksa menyibukkan diri dengan tumpukan kertas melainkan diarahkan untuk memikirkan kualitas output anak didik yang diasuhnya.
Memangkas beban kerja guru dalam hal administrasi dapat membantu guru fokus pada perbaikan kualitas mengajar dan mengembangkan aspek krusial seperti pengembangan bahan ajar dan penggunaan teknologi dalam kelas sebagai media mengajar.
Semua ini sulit diterapkan jika sekolah masih menjalankan asas saling bantu yang mengharuskan guru nyambi pada hal yang bukan keahliannya.
Bagi saya pribadi, sebuah sekolah sebaiknya memiliki minimal satu ahli di bidang HRD, Akuntan, Teknologi Pendidikan, Manajemen Pendidikan.
Guru hanya diwajibkan mengajar dan memikirkan kualitas bahan ajar dan output mengajar. Sedangkan pengembangan karir, keuangan sekolah, perawatan gedung, pemanfaatan teknologi, dan penjadwalan jam mengajar semua dibebankan pada tenaga ahli yang sudah jelas tugas pokoknya.Â
Mekanisme seperti ini akan jauh lebih terarah, terfokus dan terintegrasi dengan efektif. Efisiensi waktu terjaga dan kualitas pendidikan mudah diukur. Siswa tidak lagi kehilagan jam belajar disebabkan rapat mendadak atau seminar yang tidak dibutuhkan guru.Â
Yang paling penting lagi, Mindset atau pola pikir guru tidak lagi bertitik pada pemenuhan Jam Tatap Muka (TPM), tapi lebih pada bagaimana menghasilkan kualitas pengajaran berbobot.Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H