Pemenuhan syarat minimun tatap muka ini membawa dampak negatif bagi guru. Guru terpaksa harus bersaing dengan guru lain yang juga kekurangan jam mengajar, guru harus menyesuaikan dengan perbedaan latar belakang anak didik di sekolah berbeda, dan efesiensi waktu mengajar berkurang.Â
Alangkah lebih baik jika hal seperti ini tidak lagi dipikirkan oleh guru. Ketika seorang guru sudah diterima untuk menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) atau guru berstatus PPPK, seharusnya jam mengajar tetap berada di lingkup sekolah tempat guru ditempatkan.
Kalaupun nantinya guru tidak mendapatkan JTM yang mencukupi, arahkan mereka untuk mengembangkan kompetensi mengajar dan pengembangan bahan ajar.
Terlebih, di era digital dewasa ini, guru lebih bermanfaat jika dilatih untuk memahami proses transfer ilmu dengan penggunaan teknologi. Output yang dihasilkan bisa berupa bahan ajar berbentuk video yang nantinya dipakai di ruang kelas.Â
Oleh karena itu, di tiap sekolah sebaiknya ada alokasi untuk jurusan teknologi pendidikan atau desain grafis. Guru yang berlatar belakang teknologi pendidikan/desain grafis diarahkan untuk membantu para guru mata pelajaran mengembangkan bahan ajar dengan melibatkan teknologi.
Daripada guru dipusingkan untuk mencari jam tatap muka yang masih kurang, bukankah jauh lebih bermanfaat jika skil mengajar dan mengembangkan materi ajar diasah melalui pelatihan terstruktur?
Beban administrasi seorang guru secara otomatis berkurang dan kompetensi mengajar dapat ditingkatkan secara berkala. Tentu saja kebijakan pemerintah dalam hal penetapan JTM terlebih dahulu direvisi dan disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan.Â
Pemerintah pusat, kementerian pendidikan, para ahli kurikulum perlu berembuk memikirkan sistem pendidikan yang terintegrasi dan terpusat pada aspek perbaikan output anak didik berkualitas.
Guru jangan lagi dibebankan dengan rangkaian administrasi sekolah yang menghabiskan waktu. Pemenuhan jam mengajar bisa dialihkan pada sebuah produk materi ajar atau pola project-based berupa tugas kolaboratif membimbing siswa dalam grup untuk menghasilkan sebuah output dari hasil belajar.
Contoh sederhana, siswa dibentuk dalam kelompok untuk melakukan sebuah eksperimen dalam pelajaran Kimia, Biologi, atau Fisika dengan konteks sebuah proyek yang dibimbing oleh guru.
Hasil eksperimen ini dijadikan sebuah video atau tulisan yang sangat mungkin dibukukan atau dipresentasikan di acara perpisahan. Tujuannya adalah membimbing siswa untuk lebih kreatif dalam memahami materi ajar dan mengaplikasikan ilmu pada ranah kontekstual.Â