Mohon tunggu...
Masykur Mahmud
Masykur Mahmud Mohon Tunggu... Freelancer - A runner, an avid reader and a writer.

Harta Warisan Terbaik adalah Tulisan yang Bermanfaat. Contact: masykurten05@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Jangan Sembarangan Menyerahkan HP ke Anak

27 April 2023   12:59 Diperbarui: 27 April 2023   13:01 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi.Dokpri

Anak di bawah 7 tahun belum mampu menyeleksi informasi yang diserap dari apa yang dilihat. Membiarkan anak untuk memegang HP tanpa pengawasan bukanlah pilihan bijak.

Di banyak tempat, orang tua condong membiarkan anak menggunakan smartphone tanpa panduan yang jelas.

Umumnya, ada dua tipe orang tua yang tidak ambil pusing ketika anak terlelap dengan HP: pertama, mereka yang sibuk bekerja. Kedua, mereka yang tidak terlalu terlibat dalam mendidik anak.

Di umur yang masih kecil, anak menyerap segala macam informasi dan menyimpannya di otak bawah sadar. 

Informasi yang tersimpan di otak lambat laun menjadi pusat data. Uniknya, umur 1-7 anak membutuhkan figur yang bisa memandu untuk menyeleksi informasi dan memilahnya.

Saat orang tua tidak berada di samping dan mudah menyerahkan HP ke anak, maka konsekuensinya adalah anak bisa saja menyerap informasi bersifat buruk bagi otak.

Hal-hal dasar seperti konsep waktu, aturan hidup, disiplin diri, kebersihan, dan tata krama tentu saja butuh dicontohkan dan diarahkan oleh orang tua.

Jika anak gagal melihat nilai-nilai ini dari orang tua saat berinteraksi, besar kemungkinan anak akan mengalami kesulitan untuk membentuk nilai penting sebagai norma kehidupan.

Intensitas paparan HP pada anak secara tidak disadari membentuk pusat informasi yang bersebrangan dengan kepercayaan dan nilai tata krama yang berlaku dalam masyarakat.

Anak-anak yang kebanyakan menghabiskan waktu di depan layar HP bukan hanya mengalami masalah kepercayaan diri, namun juga masalah mental saat dewasa.

Apa yang dilihat anak, baik itu tontonan anak atau permainan, pada dasarnya bertolak belakang dari proses input informasi secara alamiah.

Proses motorik yang seharusnya bermanfaat untuk melatih sel saraf otak tidak sepenuhnya terlibat. Bahkan, pada banyak kasus, anak malah duduk dan berdiam lama di kursi dan kasur.

Lama kelamaan, sistem kerja saraf bisa berdampak buruk pada kesehatan mental. Kemampuan dasar untuk berhitung sampai bernalar sangat mungkin melemah seiring waktu.

Sesuatu yang mudah didapat akan mudah dilupakan. Cara instan memang menggiurkan di awal dan terlihat meyakinkan. Padahal, konsep belajar yang baik sesuai kerja otak adalah adanya pengulangan yang cukup.

Ya, perpindahan informasi dari bawah sadar ke otak sadar tidak semudah yang dibayangkan orang dewasa. Sesuatu yang sudah melekat tajam di otak bawah sadar akan selamanya seperti itu, sangat sulit dirubah.

Anak-anak yang bermasalah di umur 1-7 tahun, baik karena faktor kebiasaan buruk orang tua atau pembiaran menonton HP berlebihan, akan menyimpan banyak informasi di otak bawah sadar.

Ketika menuju fase remaja, filter informasi mulai terbentuk. Akan tetapi, pada tahap ini tanpa bimbingan orang tua, informasi yang sudah tersusun di otak anak bisa berantakan.

Tidak heran, fase remaja membuat anak mulai tidak begitu dekat dengan orang tua. Apalagi jika sedari kecil orang tua tidak membersamai anak dengan kasih sayang.

Menuju fase kedewasaan, informasi yang dulunya tersimpan di otak bawah sadar perlahan menjadi dasar berpikir anak.

Nilai dan kepercayaan banyak yang berasal dari tontonan masa kecil. Bahkan, ada yang memahami konsep hidup dari apa yang sering dilihatnya dari HP. terlebih, bagi mereka yang Jarang berbaur dan hidup terkekang dalam rumah.

Akhirnya, orang tua malah kewalahan ketika anak dewasa. Ada yang menyalahkan anak karena pilihan hidup yang tidak sejalan dengan prinsip keluarga.

Banyak juga yang memutuskan hubungan dengan anak kandungnya karena bersebab tindakan memalukan keluarga.

Siapa sangka, hasil tontotan masa kecil membentuk kepribadian anak. Kebiasaan yang dianggap biasa saja berakhir buruk.

Perilaku anak adalah refleksi dari apa yang dilihatnya. Jika dominasi informasi buruk menghiasai otak bawah sadar, maka kepribadian buruk mendominasi anak saat dewasa.

Ibarat pohon bambu, ketika baru tumbuh sangat mudah dibentuk sesuai keinginan. Tapi tidak ketika sudah tumbuh besar, pohon bambu sudah mengeras dan mudah patah jika dibengkokkan.

Dalam konteks mendidik anak, hadirlah dan berikan contoh terbaik di usia 1-7 tahun. Jangan sampai smartphone membentuk kepribadian anak.

Usia dewasa bukanlah waktu yang tepat untuk mendidik anak. Bahkan, jika dipaksakan, efeknya lebih buruk. 

Selagi anak masih kecil, berikan contoh, dampingi, dan bimbing mereka sebaik mungkin. Waktu kecil tidak bisa diulang untuk kedua kalinya, sebagaimana batang bambu yang sudah mengeras mustahil untuk dibengkokkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun